Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia Cinta Aileen

Rahasia Cinta Aileen

LazuardiBianca

5.0
Komentar
70
Penayangan
5
Bab

[Warning Adult 21+] Aileen seorang Indigo, sejak kecil ia menyadari itu. Namun sejak kematian Ayahnya, Aileen tidak ingin lagi terlibat dengan mahkluk kasat mata yang memiliki ribuan permintaan terakhir sebelum menuju akhirat. Saat Aileen berada di jurang putus asa, Aira-hantu cantik menariknya kembali, memberi Aileen sebuah penawaran yang sulit untuk di tolak. Selalu ada harga untuk sebuah pengorbanan. Untuk hidup yang lebih baik, Aileen mengadaikan kebahagiaannya dengan menjadi pengganti Aira disamping Bagas-suaminya. *** Follow me on IG @lazuardibianca

Bab 1 Chapter 1 - Saat Maut Merenggut

Prolog

"Bagas, Sayang."

Tangis Aira tidak mampu lagi terbendung saat melihat tubuh suaminya tergeletak lemah di aspal dingin, bersimbah darah.

"Kumohon, buka matamu!"

Aira mengerakkan tangannya ke sembarang arah untuk menjangkau tubuh suaminya. Namun yang ia dapatkan hanya kehampaan. Ketakutan memenuhi hati dan pikirannya, membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku?" Tubuh Aira bergetar. Ia menatap tangannya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi padanya.

Raungan sirine ambulan menyadarkan Aira. Ia segera beranjak, memberi ruang bagi para petugas untuk menolong suaminya.

"Selamatkan suamiku. Kumohon!" Pintanya di sela airmata.

Belasan personil gabungan antara polisi, pemadam kebakaran dan petugas medis turun dari mobil dan menuju pos kerja mereka masing-masing. Para polisi memasang garis pengaman di sekitar lokasi kecelakaan, menahan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi merengsek masuk dan merusak TKP.

Di lain sisi, para pemadam kebakaran berjibaku dengan api yang membumbung tinggi yang berasal dari mobil mewah akibat ledakan tangki bensin yang bocor saat mobil menghantam badan jalan. Di sudut lainnya, para petugas medis segera menghampiri sepasang suami istri yang terkapar di aspal keras, tidak sadarkan diri. Darah mengenang disekitar tubuh keduanya.

"Kondisinya kritis," ucap petugas medis yang memeriksa denyut nadi korban laki-laki.

Tak jauh dari sana, petugas medis lainnya yang tengah memeriksa korban wanita menggelengkan kepala. Mengirimkan pertanda bahwa korban telah menghembuskan nafas terakhirnya jauh sebelum mereka tiba.

Mendengar hal itu, sang kapten polisi segera bergerak mengamankan jalur evakuasi. "Bawa keduanya ke rumah sakit," serunya pada petugas ambulan yang telah bersiap di samping mobil dengan tandu.

"Hubungi rumah sakit. Minta mereka menyiapkan kantong jenazah." Lanjutnya memberi perintah.

*****

"Aileen, mulai besok kamu tidak perlu datang lagi."

Sepenggal kalimat singkat dari Manajer HRD terdengar bagai petir yang menyambar puncak kepala Aileen Andita. Wanita itu tidak pernah menyangka, perusahaan akan mendepaknya keluar setelah apa yang ia korbankan selama ini.

"Kenapa Bu? Saya tidak pernah melakukan kesalahan dan selama ini saya bekerja dengan baik bahkan setiap hari saya lembur," debat Aileen. Ia tidak ingin begitu saja menerima perlakuan tidak adil.

"Aileen, kamu tahu 'kan? Perusahaan ini sedang melakukan pemangkasan karyawan karena kondisi ekonomi yang tidak baik."

Aileen menyisir poninya kasar. "Aku tahu. Tapi harus ada alasan yang kongkrit. Kenapa harus aku yang di pecat?"

Manager HRD mengeser sebuah amplop ke hadapan Aileen. "Ai, ikan kecil tidak akan menang di sarang hiu," jelasnya dalam bentuk kiasan. "Terima ini dan beristirahatlah beberapa hari sebelum mencari pekerjaan baru."

Aileen mendesah dalam. 'Yah, benar. Seorang karyawan kontrak seperti ku tidak akan bisa melawan koneksi orang-orang berduit,' batinnya miris.

"Aku akan membuatkan surat rekomendasi. Dua hari lagi kamu bisa datang untuk mengambilnya." Manager HRD menepuk pelan tangan Aileen. "Semoga kamu bisa mendapatkan tempat yang lebih baik diluar sana."

Air mata mengenang di pelupuk mata Aileen. Butuh kekuatan besar baginya untuk bisa mengangkat kepala dan mengangguk pelan.

***

Aileen menyeret langkahnya keluar dari pagar utama yang selalu dilewatinya saat matahari terbit dan tenggelam. Aileen selalu berusaha menjadi karyawan terbaik. Dia selalu datang lebih pagi dan pulang paling akhir. Memastikan tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda. Jika perusahaan membutuhkannya, Aileen selalu siap untuk lembur meski uang yang didapatkannya terkadang tidak sesuai dengan jumlah yang dikeluarkannya untuk sekedar membeli obat pereda nyeri.

'Dunia ini memang terlalu kejam bagi ku yang hidup sebatang kara. Meski aku telah berjuang hingga kucuran darah dan keringat, mereka tetap tak mengindahkan ku,' desah Aileen pilu.

Bus berhenti tepat di depan halte, dimana Aileen biasanya menunggu. Aileen segera naik dan melempar senyum tipis untuk menyapa supir dan kondektur yang setiap hari dia temui.

"Tumben cepat, Neng?"

"Iya Pak," sahut Aileen singkat. Ia sedang tidak ingin bicara banyak dengan suasana hatinya yang buruk.

Aileen mengedarkan pandangan mencari posisi strategis, bangku panjang paling belakang. Ia menggeser kaca jendela disampingnya, menikmati hembusan angin yang sayup-sayup menerpa wajahnya.

'Lalu? Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Pikir Aileen.

'Mencari pekerjaan baru? Ah, tidak semudah itu. Di zaman serba sulit seperti saat ini, lapangan pekerjaan semakin sempit,' dialognya dalam hati.

Aileen menepuk tas nya pelan. 'Apa aku buka usaha saja dengan pesangon ini?' Pikirnya.

Getaran ponsel dari balik tas menyadarkan Aileen dari lamunannya. Ia melirik nama di layar ponsel.

IBU ...

"Apa lagi yang diinginkan wanita itu?" Desis Aileen.

"Ada apa?"

"A-aileen, kamu dimana?"

Aileen mendesah pelan. "Ada apa?" Ulangnya dengan pertanyaan yang sama. "Uang? Aku tidak punya uang sekarang." Tebaknya cepat karena wanita itu hanya menghubunginya setiap kali membutuhkan uang.

"Ta-tapi Aileen, mereka akan membunuh adik mu kalau-"

Aileen mematikan sambungan ponselnya dan beralih pada mode shutdown, membuat ponsel itu mati total. 'Kali ini dia tidak akan tertipu lagi. Cukup sudah!' batinnya.

"Pak, halte depan ya." Teriak Aileen.

"Siap, Neng."

Bus berhenti di depan halte terdekat menuju gang dimana Aileen menyewa sepetak ruangan atap di lantai dua. Ruangan yang awalnya digunakan sebagai gudang oleh pemilik rumah. Aileen tidak pernah mengeluh dengan kondisi ruangan yang kumuh dengan cat mengelupas dan lantai kasar tanpa keramik. Dia merasa itu cukup sepadan dengan harga sewa yang murah. Lagipula, Aileen hanya membutuhkan sebuah ruangan untuk sekedar tempatnya pulang beristirahat. Dengan gajinya yang kecil, Aileen tidak akan mampu membeli atau sekedar menyewa rumah layak huni di tengah kota.

"Mana putri yang kamu banggakan itu? Hah!"

Begitu menaiki tangga, perhatian Aileen teralih oleh suara yang berteriak kasar di depan rumahnya. Ia mempercepat langkahnya untuk sampai diatas, matanya terpaku pada dua pria yang duduk dengan kaki terangkat diatas bangku panjang dimana Aileen biasanya menjemur kaktus kesayangannya. Kening Aileen mengerut kesal begitu melihat puluhan pot kaktus yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang berserakan di lantai, hancur terinjak-injak.

Di lantai, Nani duduk dalam posisi memohon. Wajahnya basah oleh air mata, di pipinya tercetak bekas tangan yang meninggalkan ruam merah.

"Ai, tolong Ibu!" Serbu Nani begitu melihat putrinya.

Aileen menepis tangan yang berusaha menyentuh lengannya. Ia menggeser tubuhnya ke samping untuk menghindar. "Apa yang kalian lakukan di rumahku?"

"Oh, jadi ini anak yang kata mu punya banyak uang?" Desis pria bertato ular, melingkar disepanjang lengannya.

Aileen melirik Ibunya marah. Wanita itu selalu saja menjual nama Aileen sebagai jaminan utang judi dia dan suaminya. "Kali ini, apa lagi? Judi?!"

Nani menghindari tatapan Aileen. Dia sudah terbiasa dengan sikap kasar putrinya itu. "Hanya sedikit, Ai."

"Sedikit?!" Aileen membelalakkan matanya, kali ini ia kehabisan kata-kata hingga tidak bisa lagi mengontrol emosinya yang mencapai puncak. "Sampai kapan kalian akan hidup seperti ini?" Desisnya geram.

"Hei, cepat! Aku tidak punya waktu untuk mendengar masalah keluarga kalian. Cepat bayar utang Ibu mu," sentak pria yang berdiri disamping pria bertato.

"Be-berapa?" Tanya Aileen dengan suara bergetar.

"Dua puluh juta."

Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, dua puluh juta?! Ini gila.'

"Aku tidak punya uang," sergah Aileen tegas. "Silahkan pergi. Aku tidak punya utang pada kalian. Jadi aku tidak harus membayar apapun."

"APA!"

"Ai," cicit Nani. Dia takut dengan ekspresi para penagih utang. Kali ini mereka mengancam akan mencincangnya, bila tidak mendapatkan uang hari ini. "Ai, tolong Ibu."

"Pergilah, aku capek." Usir Aileen. Dia tidak peduli meskipun Nani menangis, memohon padanya.

"Sialan, Ibu dan anak sama saja," sentak pria bertato. Menarik rambut Aileen kasar lalu menghempaskannya ke dinding.

"Akh." Rintih Aileen kesakitan. Dia merasakan ada cairan hangat yang mengalir dari sudut pelipisnya.

"Ampun, ampuni aku. Ai!" Jerit Nani ketakutan karena pria lainnya mengayunkan pisau ke arahnya.

Aileen berlari cepat dan berdiri dihadapan Nani. Menghadang pria yang berencana menusukkan pisau yang di bawanya ke tubuh Nani. Meski Aileen membenci Nani dengan segenap hatinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita itu adalah Ibu yang telah melahirkannya.

"Hentikan! A-aku tidak punya dua puluh juta sekarang," ujar Aileen dengan suara bergetar. "Aku cuma punya setengahnya. Beri aku tempo beberapa hari untuk mencari sisanya."

Pria yang memegang pisau menghentikan langkahnya. "Baiklah. Mana?"

Aileen melirik tas nya yang tergeletak di sudut. Menyadari arah pandang Aileen, Nani segera bergerak untuk mengambil tas Aileen dan mengeluarkan amplop putih di dalamnya.

Hati Aileen teriris pilu. "Hilang sudah." Rintihnya.

Nani memberikan amplop itu kepada pria bertato dan berbalik untuk bersembunyi di balik tubuh Aileen. Mengengam erat lengan kurus itu.

Pria bertato menggeleng, jijik melihat tingkah licik Nani. "Nasib mu sangat buruk karena lahir dari wanita seperti itu," ejeknya pada Aileen.

Aileen membenarkan apa yang dikatakan pria bertato tapi ia hanya diam tidak berusaha membantah apapun. Kepalanya mulai berdenyut nyeri, ditambah benturan yang terjadi antara punggungnya dengan dinding cukup keras hingga membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Aileen yakin, akan ada ruam biru bila dia menyingkap kemejanya.

"Kalian sudah mendapatkan uang. Pergi dari sini!" Usir Aileen.

"Baiklah. Tapi kami kembali dua hari lagi untuk mengambil sisanya," ujar pria lain. Dia melambai pada pria bertato, mengajaknya pergi.

Begitu dua pria itu menghilang di balik tangga, tubuh Aileen luruh ke lantai. Ia meringis pelan saat mengeser tubuhnya untuk mencapai dinding terdekat.

"Ai, kamu baik-baik saja?" Nani mencoba menyentuh luka di pelipis Aileen tapi tangannya segera di tepis menjauh.

"Pergi," desis Aileen di sela sakit yang dirasakannya. "Pergi dan jangan pernah kembali."

"Ai, kenapa kamu kejam sekali pada Ibu kandungmu?" Keluh Nani dengan wajah cemberut. Terkadang dia tersinggung dengan cara Aileen mengusirnya.

"Ibu? Kamu cuma wanita yang melahirkan anak haram lalu membuangnya begitu saja," tuding Aileen kasar. Kesabarannya mulai mencapai ambang batas.

"Apa! Kalau aku tidak melahirkanmu, hidupku tidak akan seburuk ini."

"A-aku tidak pernah minta dilahirkan," sergah Aileen marah. "Dan, hidupmu hancur karena kamu selalu memilih laki-laki brengsek."

"Apa yang kamu tahu tentang hidup ku."

Aileen mendesah dalam. "Ya, aku tidak tahu apapun. Seperti kamu yang tidak tahu apapun tentang hidup ku. Jadi ..."

"Tolong, berhenti menemuiku dengan alasan apapun," mohon Aileen dengan suara teredam. "Aku tidak sanggup lagi." Air mata tidak lagi mampu terbendung. Tumpah bersama sesak yang selama ini memenuhi dadanya.

"Apa yang Ibu lakukan disini?" Tanya Denis, pemuda yang lebih muda dua tahun dari Aileen, menghampiri Ibunya.

Denis terkejut dengan kondisi wajah Ibu dan Kakak tirinya serta barang-barang yang hancur berserakan di lantai.

"Kak Ai, apa yang terjadi? Kamu terluka?"

Aileen menghapus air matanya. "Bawa dia pergi," ucapnya dingin mengabaikan pertanyaan adik tirinya.

Denis mengangguk maklum. Dia sudah terbiasa dengan sikap ketus dan dingin Aileen padanya. "Bu, Denis kan sudah bilang. Jangan menganggu Kak Ai lagi."

"Menganggu apanya? Kita ini kan keluarganya," sergah Nani.

Aileen melengos. Ia mengengam tiang disampingnya untuk menyanggah tubuhnya.

"Liat, liat. Dia selalu seperti itu. Kakak mu itu selalu meremehkan kita," keluh Nani.

"Sudah Bu. Kita pulang, ayo." Denis menggiring Ibunya untuk menuruni tangga terlebih dahulu lalu berpaling untuk melihat Aileen. "Kak Ai, lebih baik kita ke rumah sakit. Luka mu harus di obati."

"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Pastikan saja wanita itu tidak menemuiku lagi."

Denis mendesah pasrah. "Kak, tolong maklumi Ibu. Aku akan segera mencari pekerjaan dan mengembalikan semua uang yang Ibu ambil."

Aileen memilih diam. Tidak ingin menjawab ataupun mendengar apapun lagi. Dia berbalik masuk ke dalam kamar. Seluruh bagian tubuhnya sakit dan lelah hingga tidak punya sedikitpun kekuatan bahkan hanya untuk mengeluarkan suara. Sepertinya dia harus segera mencari es batu untuk meredakan rasa sakit di punggung dan pelipisnya.

*****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku