Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang

Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang

Mokaciinoo

5.0
Komentar
12
Penayangan
33
Bab

Jika bukan karena wajah sang suami yang begitu mirip dengan bapak mertua, Astri akan beranggapan bahwa suaminya itu adalah anak pungut. Sebab, begitu berbedanya perlakuan sang mertua pada suaminya. Hal ini kerap kali membuat Astri bertanya-tanya, ada apa gerangan? Apa kesalahan yang telah dilakukan suaminya hingga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang tuanya sendiri? Namun, melihat kesabaran sang suami menghadapi semua perlakuan tidak adil orang tuanya, Astri hanya bisa mengikuti. Untungnya sang suami bukanlah orang yang mudah putus asa hanya karena diperlakukan dengan tidak adil. Mas Ruslan selaku suaminya ternyata sudah sejak lama mulai mengumpulkan pundi-pundi uang di belakang punggung orang tua yang tidak pernah menghargainya itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Astri. Hingga di mata mertua, mereka hanyalah orang miskin yang tak berarti. Tetapi karena suatu peristiwa yang melanggar garis bawahnya, Astri mulai merasa muak menjadi orang yang selalu tertindas. Keinginan untuk memberontak pun perlahan muncul di dalam hatinya. "Lalu lakukan apa yang menurut kamu benar, Tri. Asal jangan sampai ibu sama bapak masuk rumah sakit aja," ujar Mas Ruslan memberi dukungan. "Jangan khawatir, Mas. Aku cuma mau kasih syok terapi sedikit aja!" jawab Astri dari balik senyum liciknya. Bagaimana lika-liku keluarga kecil Astri dalam menghadapi ketidakadilan yang diterima di dalam keluarga sang suami?

Bab 1 1.

"Nanti pas acara makan-makan, kalian bagian makan paru sama ampela aja ya. Jangan makan daging yang disajikan di atas meja!" ucap Ibu mertuaku ketika aku dan Mas Ruslan sedang sibuk memasak di dapur.

"Kenapa, Bu?" tanyaku memberanikan diri.

"Takutnya nanti keluarga Dina sama Dimas tidak kebagian!" sahut ibu mertuaku.

"Lalu Danis?" tanyaku lagi. Merujuk pada putraku yang baru berusia 4 tahun.

Ibu mertuaku itu langsung melemparkan delikan masam. "Dia makan sesuai dengan apa yang kamu makanlah, Tri. Begitu aja mesti banget ditanya!" seru mertuaku kesal.

"Sama satu lagi, kalian juga jangan ikut bergabung di meja makan bersama keluarga suami dan istrinya Dina dan Dimas. Jangan malu-maluin. Kalian makan aja di dapur!" perintah ibu mertua.

Selesai mengucapkan kalimat tidak menyenangkan itu, ibu mertua langsung berbalik pergi meninggalkan dapur. Menyisakan aku dan Mas Ruslan yang hanya bisa berdiri bengong.

"Mas, kok ibu bisa tega banget gini sama kita?" Aku bertanya retoris pada Mas Ruslan, suamiku.

Faktanya aku tahu dengan sangat jelas alasan dari sikap ibu mertua yang seperti ini. Tidak lain karena di mata ibu mertua, kami hanya orang miskin. Tidak seperti Mbak Dina yang menikah dengan anak pejabat. Atau seperti Dimas yang bisa menikahi anak pengusaha kaya raya.

"Udahlah, Tri. Kita ngalah aja sama ibu. Kita makan enaknya besok aja ya," hibur Mas Ruslan seraya mengelus bahuku pelan.

"Hm," Aku berguman pelan. "Tapi kamu baik-baik aja, Mas?" tanyaku lagi sambil terus melanjutkan mengaduk gulai sapi di atas kompor.

Mas Ruslan yang bertugas mencuci peralatan masak yang segunung itu menyunggingkan senyum simpul padaku. "Hal seperti ini sudah terjadi seumur hidupku, Tri. Hatiku sudah lama mati rasa," jawab Mas Ruslan acuh tak acuh.

" ... "

Aku otomatis terdiam mendengar jawaban dari Mas Ruslan ini. Tapi memang seperti inilah kehidupan Mas Ruslan di keluarga ini. Selalu diperlakukan dengan berbeda. Jerih payah Mas Ruslan tidak pernah dihargai.

Entah apa yang membuat perlakuan bapak dan ibu mertua begitu berbeda terhadap Mas Ruslan. Aku sampai sering sekali meragukan kalau Mas Ruslan adalah anak kandung dari keluarga ini. Akan tetapi, wajah Mas Ruslan yang terlalu mirip dengan seluruh anggota keluarga ini menghentikanku dari pikiran liar.

"Mas, kamu tahu 'kan kalau aku tuh nggak suka makan paru sama ampela. Nanti aku makan pakai lauk apa dong? Kuah gulai?" tanyaku pada Mas Ruslan dengan nada merajuk. Bibirku mencebik maju satu sentimeter.

Hanya dengan membayangkan makanan itu menyentuh ujung lidahku saja sudah membuat bulu romaku meremang. Aku memang paling anti memakan organ dalam hewan seperti itu.

"Gimana kalau kita sembunyikan aja ayam gorengnya tiga biji?" bisikku dengan suara lirih hingga hanya aku dan Mas Ruslan yang bisa mendengar.

Mas Ruslan terkekeh pelan. "Nanti ketahuan ibu loh," timpal suamiku itu.

"Kita pilihnya yang paling kecil," bisikku lagi. Tidak mau menyerah.

Mas Ruslan menggeleng. "Jangan! Ibu pasti tahu kalau lauknya kurang," ucap Mas Ruslan.

Mataku seketika membola kaget mendengar penuturan Mas Ruslan ini. "Nggak mungkinlah ibu sampai segitunya," ujarku sanksi.

Mas Ruslan lantas mengangguk pelan. "Percaya deh sama, Mas. Kita cukup bersabar untuk hari ini aja. Besok Mas bawa kamu sama Danis ke tempat makan dimanapun kamu mau," bisik Mas Ruslan berusaha untuk menghiburku.

"Besok ya besok, Mas. Sekarang beda lagi. Ya kali semua biaya perjamuan ini kamu yang keluar duit, tapi cuma kebagian paru sama ampela doang!" dumelku tidak senang.

Kalian salah jika memiliki pemikiran yang sama seperti mertuaku, bahwa aku dan Mas Ruslan adalah orang miskin. Faktanya, baik aku dan Mas Ruslan itu sangat berkecukup dari segi finansial.

Di luar pekerjaan Mas Ruslan sebagai pedagang sapi, dia juga diam-diam menjadi makelar tanah. Semenjak disuruh berhenti sekolah saat kelas 2 SMA, Mas Ruslan telah berkelana dari satu desa ke desa lain untuk bekerja serabutan. Entah itu menjadi buruh panggul di pasar, menjadi kenek angkot, menjadi pelayan cafe, menjadi kasir mini market dan lain sebagainya.

Kerja keras dan ketekunan Mas Ruslan sejak dirinya masih remaja membuat Mas Ruslan dikenal oleh banyak orang di desa-desa sekitar. Banyak pula dari mereka yang menaruh simpati pada Mas Ruslan, karena di usia yang masih begitu muda, dia sudah kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Karena kerja keras Mas Ruslan itu, dia seringkali diminta oleh para tetua kenalannya yang ingin menjual tanah untuk mencarikan mereka pembeli. Bonus pertama yang didapatkan setelah itulah yang membuat Mas Ruslan kemudian memiliki pemikiran menyimpang.

Dia yang juga sering kali didesak untuk membantu biaya pendidikan kakak dan adiknya, mulai berpikir untuk diam-diam menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Rupiah demi rupiah yang terkumpul kemudian diam-diam diputar dengan membuka toko grosir di kabupaten lain.

Belasan tahun kini telah berlalu sejak saat itu. Uang di dalam rekening Mas Ruslan juga semakin banyak. Sayang sekali, kami tidak bisa menggunakan uang itu dengan terang-terangan karena takut digerogoti oleh ibu dan saudara-saudaranya.

Apa Mas Ruslan pelit? Apa Mas Ruslan tidak berbakti?

Tidak juga!

Karena selain membantu biaya pendidikan kakak dan adiknya dari usaha jualan sapi yang diwariskan oleh bapak mertua, Mas Ruslan juga membantu mencukupi biaya harian di rumah ini. Bahkan rumah berlantai dua yang baru saja dibangun ini adalah hasil dari kontribusi Mas Ruslan.

"Terus maunya bagaimana, Astriku sayang?" tanya Mas Ruslan membuyarkan lamunanku. Ada binar jenaka di matanya tatkala sedang menatap wajah cantikku.

"Ya gimana kek? Nggak tahu!" Aku berseru tak berdaya.

"Gimana kalau besok Mas ajak kamu shopping?" bisik Mas Ruslan tepat di samping telingaku. "Atau bagaimana kalau kita buat adik untuk Danis?" sambung Mas Ruslan tanpa jeda.

Dengan telinga yang terasa panas karena hembusan nafasnya, aku mendorong rusuk Mas Ruslan agar memberi jarak pada tubuhku.

"Kan! Kan! Kita lagi ngomongin apa, larinya kemana!" dumelku.

Mas Ruslan hanya terkekeh pelan. Aku tahu dia berkata begitu karena ingin menceriakan suasana muram di antara kami.

"Kamu jangan khawatir, Astriku sayang. Mas udah siapin lauk istimewa buat kamu." Mas Ruslan kembali berbisik di samping telingaku.

Mataku membola lebar mendengar ucapannya. "Beneran? Apa? Dimana?" tanyaku dengan sedikit nada antusias.

"Ada di kamar. Tadi Mas diam-diam goreng udang sama nugget kesukaan kamu dan Danis!" ungkap Mas Ruslan.

"Mas! Kamu memang suami yang paling pengertian. Aku cinta kamu!" seruku sembari memberi kecupan ringan di pipi tirus Mas Ruslan.

"Dasar kamu!" Mas Ruslan menjawil hidungku dengan gemas. "Mas juga cinta sama kamu!" ucapnya.

"Ekhm!"

Di tengah kebahagiaan sederhana ini, suara deheman seseorang menginterupsi kami. Aku dan Mas Ruslan langsung memisahkan diri.

"Mesra banget pengantin lama!" sindir Mbak Dina yang entah sejak kapan memasuki dapur.

"Eh, Mbak Dina. Ada apa, Mbak?" tanyaku grogi setelah dipergoki sedang bermesraan dengan Mas Ruslan.

"Orang-orang udah dateng tuh. Pantes aja ditunggu-tunggu makanannya belum disiapin. Lagi bermesraan toh!" sindir Mbak Dina. Matanya menatap miring pada kami berdua.

"Oh ya, Mbak!" ucapku sembari diam-diam memutar mata.

"Nanti kamu jangan malu-maluin ya!" seru Mbak Dina kemudian berjalan pergi meninggalkan kami berdua, sama seperti yang dilakukan ibu mertua tadi.

"Huuu! Sok bossy!" cibirku.

Mas Ruslan menggelengkan kepala samar melihat sikap kekanakanku. "Ayo, cepat siapkan makanannya. Nanti kamu diomelin ibu lagi," ujar Mas Ruslan memperingatkan.

Kami pun bergegas menyiapkan makanan untuk para tamu. Tidak seperti Mbak Dina dan Dimas beserta ibu mertua yang telah berdandan rapi, penampilanku sendiri masih seperti pembantu dengan daster lusuh melekat di tubuh.

Aku dan Mas Ruslan sedang sibuk hilir mudik menyiapkan makanan ketika Danis bergegas menghampiri kami dengan air mata membanjir di pipinya. Anak manis itu masuk ke dapur melalui pintu belakang.

"Ibu!" panggil Danis dengan suara lirihnya yang menyedihkan.

Aku segera menghentikan pekerjaanku dan duduk berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan putra kecilku ini.

"Danis, sayang. Kenapa nangis, Nak?" tanyaku lembut seraya menghapus air mata di pipinya yang kemerahan.

"Ibu! Kak Aldi usir Danis. Kak Aldi bilang kalau Danis pengemis!" ujar Danis melapor dari balik suara sengguk-sengguk kecilnya.

Mendengar keluhan putraku ini membuat amarah yang tak tahu darimana datangnya perlahan bergejolak di dalam hati.

"Kak Aldi bilang Danis pengemis?" Aku bertanya ulang untuk memastikan aku tidak salah dengar.

"Iya. Tadi Danis mau masuk lewat pintu depan. Tapi diusir. Katanya Danis pengemis!" seru Danis sambil menangis kian kencang.

Mas Ruslan yang berdiri di sampingku segera menyambar Danis ke dalam gendongannya.

"Nggak bener ini, Mas. Aku nggak tahan lagi. Aku harus kasih tahu Mbak Dina. Mereka bisa berlaku tidak baik sama kita. Tapi mereka tidak bisa semena-mena pada Danis!" Aku menggeram kesal. Rasa ingin melabrak Mbak Dina berkobar di dalam diriku.

"Tri~" tegur Mas Ruslan dengan nada panjang. Sorot matanya memancarkan peringatan.

"Mas!" seruku.

"Setidaknya tidak sekarang. Di luar lagi banyak orang," ujar Mas Ruslan dengan lembut.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Nafasku memburu naik turun masih tidak ikhlas. Namun, aku juga mengerti apa maksud Mas Ruslan. Jangan sampai kami mempermalukan diri sendiri di hadapan orang banyak.

"Cup! Cup! Anak pinter udahan nangisnya ya," hibur Mas Ruslan sembari menepuk punggung Danis dengan lembut.

Danis pun perlahan berhenti menangis, tapi suara sesenggukannya masih terdengar sesekali. Hatiku sakit mendengarnya.

"Mas, aku nggak mau begini terus. Aku nggak mau diremehkan sama keluarga kamu, lagi dan lagi," ucapku lirih.

"Apa yang mau kamu lakukan, Tri?" tanya Mas Ruslan.

"Mau berontak! Kamu ini anaknya, dan aku ini menantunya bapak dan ibu juga. Kita bukan pembantu, Mas!" seruku dengan suara menggebu-gebu.

Mas Ruslan mengangguk. "Lalu lakukan apa yang menurut kamu benar, Tri. Asal jangan sampai ibu sama bapak masuk rumah sakit aja," ujar Mas Ruslan mengingatkan.

"Jangan khawatir, Mas. Aku cuma mau kasih syok terapi sedikit aja!" pungkasku dengan senyum licik di wajah.

* * *

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mokaciinoo

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku