Om Andi tampan, kaya, tapi misterius, ditambah lama menduda. Mampukah Indah menemukan jawaban atas semua pertanyaannya?
"Apa? Bang Angga meninggal!" Aku berdiri di depan meja kerja dengan kaki gemetar. Kabar yang sangat tidak bisa aku percaya. Namun, apa ada orang yang main-main memberikan kabar kematian tentang seseorang.
"Nggak mungkin. Empat hari yang lalu kami masih saling telepon." Aku duduk di lantai, mengabaikan rasa malu dan mulai ditatap oleh rekan-rekan kerjaku.
Air mataku mengalir deras. Rencana pernikaha kami nggak lama lagi akan digelar. Satu bulan kemudian dan Bang Angga ke kampung untuk meminta restu ayahnya supaya acara berjalan lancar.
Suara di seberang sana menandakan bahwa yang terjadi memang sudah terjadi. Aku menangis sesenggukan. Beberapa temanku datang mencoba menenangkan. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Semua persiapan, ini dan itu sudah disiapkan. Bahkan sudah hampir habis tabungan kami untuk acara pernikahan. Akan tetapi, semuanya terkalahkan oleh takdir. Aku pun tak kuat lagi, lalu tiba-tiba semua terasa gelap.
***
"In, kamu nggak apa-apa?" tanya temanku ketika sudah lima menit aku membuka mata. Aku ada di ruang kesehatan, tempat para karyawan sakit beristirahat.
"Nggak apa-apa. Aku cuman syok berat." Aku menjawab sambil melihat ke arah cincin tunangan kami. Aku masih tidak percaya dengan kepergian Bang Angga.
"Indah, aku pulang duluan, ya, entar lagi dijemput sama suami." Teman yang menjagaku dari tadi undur diri. Aku mempersilakan.
Dijemput suami, harusnya kata-kata itu bisa aku ucapkan setelah hubungan kami sah. Harusnya aku bisa menjadikan Bang Angga sebenar-benarnya tempat bersandar ketika lelah dan sedang banyak masalah.
Harusnya lagi aku bisa mencegah Bang Angga untuk tidak usah pulang kampung segala. Tempatnya terpencil dan jauh. Kata orang calon pengantin kalau pergi itu darahnya manis, dan bisa jadi ada kecelakaan di jalan. Lalu benar terjadi akhirnya, kareka aku terlalu sering memikirkan mitos itu.
Aku meraih ponselku di dalam tas. Jam di handphone menunjukkan waktu hampir maghrib. Biasanya Bang Angga sudah menjemputku di depan kantor. Aku sudah kehilangan momen itu selama beberapa hari dan sekarang aku akan kehilangan selama-lamanya.
Jangan dipikir aku tidak menangis. Aku menangis dan tisu sudah hampir habis satu bungkus. Hanya saja aku tidak mau memperlihatkan pada orang lain. Menjelang isya aku baru beranjak pulang dari kantor.
"Eh, calon pengantin. Tumben sendirian." Sapa salah satu satpam melihat aku jalan kaki.
Calon pengantin? Tepatnya aku batal nikah. Aku sedang malas menjelaskan pada siapa-siapa. Aku hanya tersenyum saja, lalu menunggu angkot untuk pulang ke kos-kosan.
Sampai di dalam ruangan dengan hanya aku sendiri saja tanpa ada teman, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Rasanya lelah luar biasa sekali. Sudah pekerjaan menumpuk, kabar buruk pula yang membuat tubuhku seperti tak bertulang.
Aku memandang fotoku bersama Bang Angga. Juga sample undangan pernikahan yang sudah jadi. Tertulis di sana Angga Pramudya dan Indah Nora Diana. Nama kami berdua yang telah berkomitmen selama hampir lima tahun. Dimulai sejak Bang Angga merantau ke kota.
Semua impian kami kini sudah terkubur dalam-dalam. Kemudian, aku teringat dengan sesuatu hal. Aku belum bertanya pada yang memberi kabar. Apa sebab kematian calon suamiku. Aku mencoba mendial nomor tadi siang, tapi di luar jangkauan. Baru ingat aku, Bang Angga pernah bilang kalau desanya sangat terpencil dan sinyal hanya ada di siang hari.
Aku mengubur sejenak rasa ingin tahuku. Besok pagi saja aku hubungi yang tadi memberikan kabar. Karena Bang Angga pergi dalam keadaan sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda andaikata dia menderita depresi atau semacam perasan tertekan.
Malam ini aku tidur dengan ragam perasaan yang bercampur aduk. Sedih karena ditinggalkan calon suami dan penasaran dengan apa sebab kematiannya.
***
Pagi hari aku masih pergi ke kantor seperti biasa, dengan mata sembab habis menangis semalaman. Terlalu banyak kenangan di antara kami yang harus dikubur begitu saja. Terlalu mendadak berita kematian Bang Angga.
"Halo," ucapku pada yang mengabarkanku kemarin. Suara agak putus-putus dan seperti ada angin lewat.
"Iya, Om, saya mau tanya apa sebab kemat-" Yah, panggilan terputus.
Aku ulang lagi tapi tidak tersambung. Aku coba kirim pesan biasa saja, karena aku takut kalau kirim wa susah sinyal. Aku menanyakan siapa pemilik nomor handphone ini dan apa sebab kematian Bang Angga. Cukup lama aku menunggu balasan, dari pagi sampai siang baru ada yang menjawab.
[Saya Andi, ayah Angga. Anak saya meninggal tanpa sebab dalam tidurnya, dan hari ini akan dimakamkan. Terima kasih, semoga kamu bahagia bersama lelaki lain. Mohon maaf kalau Angga ada berbuat salah, dan jika Angga ada meninggalkan hutang kamu boleh tagih sama saya.] Begitu pesan yang dikirim.
Andi Pramudya, nama yang juga tertera dalam undangan kami. Sedangkan mama calon suamiku sudah sejak Bang Angga kecil meninggal. Katanya lagi ayahnya tidak menikah sejak ditinggal istrinya. Begitu kisah singkat keluarga Bang Angga.
Ada satu orang adik laki-laki dan jadi polisi. Dia ditempatkan di kota yang berbeda dengan kami. Bang Angga tidak terlalu terbuka soal keluarganya. Dia cenderung menghindar kalau aku tanyakan ini dan itu. Katanya ada luka masa lalu yang belum sembuh.
Selesai makan siang aku memutuskan untuk menghadap HRD. Aku ingin meminta dan mengambil jatah cuti yang seharusnya aku gunakan setelah menikah untuk keperluan bulan madu. Cukup lama juga, mungkin sekitar dua belas hari.
"Mau ke mana, Indah? Yang saya dengar dari gosip di kantor, pernikahanmu batal karena calon suamimu meninggal," tanya staff HRD padaku.
"Saya mau ke kampung calon, Pak. Saya mau ziarah kuburan untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya."
"Sepenting itukah, Indah? Kita ada deadline loh, yang harus dikejar."
"Saya janji tiga hari ini jatah kerjaan saya akan saya selesaikan." Aku berusaha meyakinkan para staff.
Tidak etis rasanya sudah lima tahun pacaran terus aku menghilang begitu saja tanpa pamit pada makam Bang Angga juga pada calon mertuaku. Setidaknya ada basa basi sedikit.
"Okey, nanti kamu tunggu kabar, ya. Dan kamu bisa selesaikan pekerjaan kamu dimulai dari sekarang. Saya nggak peduli mau ada lembur atau nggak. Itu sudah konsekuensi dari kamu." Staff HRD memberikan angin segar tentang cutiku.
Sebelum aku mengerjakan semua tumpukan kejar tayang yang harus diselesaikan. Aku sempatkan mengirim pesan pada Om Andi sebelum hari sore dan sinyal akan semakin sulit.
[Om, saya boleh ke kampung untuk ziarah makam Bang Angga?] Aku langsung to the point saja. Lama sekali balasan aku dapatkan, sekitar 30 menit kemudian.
[Silakan, saya tidak pernah melarang. Saya ingatkan tempat ini benar-benar terpencil dan tidak seperti yang kamu bayangkan. Lebih baik bawa baju tebal, soal makanan tidak usah dipikirkan.] Balasan dari calon mertuaku.
[Baik, Om Andi, terima kasih. Saya akan datang mungkin empat hari lagi.]
Selesai sudah kami bertukar pesan dan tidak ada lagi jawaban dari Om Andi. Empat hari, iya, bisa saja. Mengingat perjalanan ke kampung Bang Angga harus pakai bus dulu selama delapan jam. Lalu harus menyeberang menggunakan speed boat selama empat jam lamanya. Bang Angga pernah menunjukkan rutenya padaku dan aku catat di dalam buku. Siapa tahu perlu. Nyatanya memang berguna.
Tiga hari lamanya aku mengerjakan semua tumpukan pekerjaanku, dengan hati kacau, mata sembab dan kurang makan. Ya, maklum tidak ada yang memberi perhatian lagi padaku. Aku seperti kehilangan separuh napasku.
Memasuki hari keempat, aku sudah berada di terminal bus dengan satu koper kecil baju saja. Lalu aku melihat ponselku. Ada pesan masuk berasal dari Om Andi.
[Kalau memang jadi kemari, hati-hati di jalan. Jangan ladeni orang tidak dikenal bicara, dan jangan terima makanan dari orang asing. Sampai di pelabuhan nanti saya yang akan jemput kamu.] Om Andi yang lebih dahulu mengirim pesan padaku.
[Terima kasih, Om.] Jawabanku singkat saja.
Kernet bus mulai meminta penumpang untuk naik. Aku duduk di dekat jendela, sambil melihat pemandangan yang kiri dan kanan yang isinya hutan lebat dan tanpa rumah sama sekali. Iseng-iseng aku buka ponsel.
Aku melihat foto Bang Angga saat dia baru dilepaskan ke kota oleh Om Andi. Terlihat kedua pria dalam foto ini tinggi badannya sama. Wajah juga mirip. Lalu dari pantulan kaca aku seperti melihat wajah Bang Angga. Refleks aku menoleh ke kursi sebelah, dan tidak ada siapa-siapa selain penumpang lain.
Yang tadi itu beneran Bang Angga? Atau hanya halusinasiku saja karena terlampau rindu? Jangan takut, Bang, Indah akan ke makam untuk mengujungi Abang. Indah janji nggak akan merepotkan ayah Abang, karena pasti beliau sudah tua juga. Usia juga sudah 60 tahun.
Aku memejamkan mata sejenak, ingin tidur. Lagi wajah Bang Angga seperti melintas dalam penglihatan. Wajahnya pucat dan sendu dan dia memintaku untuk kembali. Ada apa ini?
Bersambung ...
Bab 1 1. Meninggalnya Calon Suamiku
03/12/2023
Bab 2 2. Om Andi
03/12/2023
Bab 3 3. Pengakuan
03/12/2023
Bab 4 4. Ke Kuburan
03/12/2023
Bab 5 Peringatan Angga
03/12/2023
Bab 6 Detak Jantung
04/12/2023
Bab 7 Wewangian Memabukkan
04/12/2023
Bab 8 Keinginan Untuk Pulang
04/12/2023
Bab 9 Mimpi Berjalan
04/12/2023
Bab 10 Penghuni Cermin
04/12/2023
Bab 11 Terduga
04/12/2023
Bab 12 Kedatangan Anton
04/12/2023
Bab 13 Pergi atau Tinggal
04/12/2023
Bab 14 Setumpuk Uang
04/12/2023
Bab 15 Ilmu Pengasihan 1
24/02/2024
Bab 16 Ilmu Pengasihan 2
24/02/2024
Bab 17 Kedatangan
24/02/2024
Bab 18 Kegilaan 1
24/02/2024
Bab 19 Kegilaan 2
24/02/2024
Bab 20 Pil KB
24/02/2024
Bab 21 Bukhor dan Minuman
25/02/2024
Bab 22 Sensasi
25/02/2024
Bab 23 Tanda Biru
25/02/2024
Bab 24 Bersama Dia
26/02/2024
Bab 25 Penampakan
26/02/2024
Bab 26 Perempuan Lain
26/02/2024
Buku lain oleh Aini Dahlia
Selebihnya