Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya yang indah di ruang tamu rumah Mira dan Daniel. Dengan penuh semangat, Mira menyiapkan sarapan, menu kesukaan Daniel: roti panggang dengan selai stroberi dan segelas jus jeruk. Suara dering ponselnya memecah ketenangan pagi.
"Selamat pagi, sayang!" sapa Mira saat Daniel muncul dari kamar tidur, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap memikat.
"Pagi, Mira. Aroma sarapan ini bikin aku lapar!" Daniel menjawab sambil mencium pipi Mira.
Mira berusaha membalas senyum itu, meskipun hatinya bergetar. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya-perasaan yang sulit untuk dijelaskan. "Semoga kamu suka," jawabnya, menyajikan sarapan di meja.
Mereka duduk, dan Mira memperhatikan Daniel yang mulai melahap makanan. Setiap kali tatapannya tertuju pada suaminya, ingatan akan momen-momen indah bersama berkelebat di benaknya. Namun, belakangan ini, momen-momen itu terasa semakin samar. Ada jarak yang tidak bisa dijangkau, meskipun mereka berbagi satu meja.
"Jadi, rencana apa hari ini?" tanya Mira, berusaha menjaga percakapan tetap hidup.
Daniel mengunyah roti panggang, lalu menjawab, "Aku ada rapat siang ini. Mungkin pulang agak larut."
Mira menahan napas. "Larut? Bukannya biasanya kamu selesai lebih cepat?"
"Proyek ini penting. Aku harus fokus," jawab Daniel, matanya seakan menatap sesuatu yang jauh di luar jendela.
Mira merasakan jantungnya berdebar. Ia tahu bahwa proyek itu sering dijadikan alasan Daniel untuk pulang terlambat. "Baiklah, asal kamu tidak terlalu lelah. Kita harus mencari waktu untuk... bersantai bersama," ungkap Mira, berusaha menutupi kecemasannya.
Daniel mengangguk tanpa banyak bicara, dan Mira merasa seolah-olah ada dinding yang semakin tinggi antara mereka. Ketika mereka selesai sarapan, Daniel bangkit dan bersiap untuk berangkat.
"Mira, aku pergi dulu, ya. Jaga diri," ucapnya sambil meraih jaket.
Mira menatapnya, sebuah senyum dipaksakan menghiasi wajahnya. "Iya, hati-hati di jalan. Sampai jumpa nanti."
Begitu Daniel pergi, Mira merasakan kesepian menyelimuti rumah itu. Dia membersihkan meja makan, tetapi pikirannya melayang ke keraguan yang menggerogoti hatinya. Ia mengambil ponsel dan mulai melihat foto-foto mereka dari masa-masa bahagia. Tawa, cinta, dan kebahagiaan terekam dalam bingkai yang menghangatkan hatinya.
Namun, saat menelusuri foto-foto itu, satu gambar muncul yang membuatnya terhenyak: Daniel tersenyum lebar, dengan seorang wanita lain di sampingnya. Wanita itu memiliki senyum yang sama, dan dalam sekejap, rasa takut menggelayuti pikirannya. "Apa yang terjadi pada kita?" gumamnya pelan.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari sahabatnya, Rina, muncul di layar: "Ayo, kita jalan-jalan! Butuh refreshing."
Mira menjawab dengan cepat, meskipun hatinya masih terombang-ambing. "Ya, mungkin itu ide yang bagus."
Setelah berpikir sejenak, Mira merapikan rumah dan menyiapkan diri untuk bertemu Rina. Mungkin, untuk sesaat, dia bisa melupakan semua keraguan ini. Namun di dalam hatinya, dia tahu, kebenaran yang menunggu akan segera mengubah segalanya.
Ketika pergi, Mira melirik ke arah foto Daniel di meja. "Apa yang kau sembunyikan dariku?" bisiknya, seolah-olah foto itu bisa memberi jawaban.
Dengan langkah mantap, Mira melangkah keluar dari rumah, menyisakan semua pertanyaan yang tak terjawab di dalamnya. Dia berharap, di balik kebohongan yang menggelapkan pernikahannya, masih ada secercah harapan untuk menemukan cinta yang tulus.
Mira tiba di kafe kecil tempat ia dan Rina sering bertemu. Aroma kopi segar memenuhi udara, dan suara tawa dari pelanggan lain seolah menjadi latar yang menyenangkan. Saat melihat Rina melambai dari sudut kafe, senyumnya kembali merekah.
"Hey! Akhirnya kamu datang! Aku hampir memesan kopi untuk dua orang," ujar Rina, memeluk Mira dengan erat.
"Maaf, tadi agak sibuk," jawab Mira, berusaha menampilkan semangat yang tidak sepenuhnya ia rasakan.
"Mau pesan apa?" tanya Rina sambil mengangkat menu.
"Cappuccino saja. Cukup untuk menghangatkan suasana," Mira menjawab, lalu duduk di seberang Rina.
Setelah pesanan datang, Rina langsung mengamati wajah Mira. "Kamu kelihatan berbeda. Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Mira menundukkan kepala, mengaduk cappuccino-nya. "Aku hanya... merasa sedikit terjebak, Rina."
Rina mengerutkan dahi. "Terjebak? Dalam arti apa?"
"Dalam pernikahan. Sepertinya Daniel semakin jauh dariku. Dia lebih sering pulang larut, dan aku merasa dia menyimpan sesuatu," ungkap Mira, suaranya hampir bergetar.
Rina menghela napas, meraih tangan Mira. "Mira, kamu tahu, kadang-kadang kita harus bicara. Jika ada masalah, jangan diam saja. Beri dia kesempatan untuk menjelaskan."
"Tapi... bagaimana jika yang aku curigai benar?" tanya Mira, mata bersinar dengan kekhawatiran.
"Kamu perlu bukti sebelum mengambil keputusan besar," Rina menegaskan. "Kita bisa menyelidikinya, jika perlu."
Mira tersenyum tipis. "Aku tidak ingin menjadi detektif, Rina. Tapi... entah kenapa, rasa ingin tahuku semakin menguat."
"Mari kita lakukan ini dengan cara yang benar. Kita akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Rina, semangatnya kembali membara.
Setelah berbincang lebih banyak, Mira merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat mereka berbicara, kenangan indah bersama Daniel terus melintas dalam pikirannya, menyelimutinya dengan keraguan. Dia tidak ingin kehilangan semua yang telah mereka bangun, tetapi perasaan khawatir itu terus menghantui.