Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Lamunan Melia seketika ambyar karena ada gedoran keras pada pintu rumahnya.
“Demi Tuhan, Mel! Kamu pasti tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi!" cerocos Widia seperti petasan yang dibakar begitu Melia membukakan pintu untuknya.
"Wah! Gosip panas nih? Pastinya lumayan bagus. Kamu belum pernah bersemangat seperti ini sejak tahu Irzan ganteng itu ternyata punya kekasih sesama lelaki, hihihihi," jawab Melia sambil terkikik.
“No! aku sudah melupakan dia! Tapi ini masih tentang brondong juga! Astaga Mel, aku masih tak bisa percaya apa yang baru saja kulihat. Mataku masih berasa kelilipan, oh my God!" Widia makin berapi-api.
“Oke kita ngobrol di dalama aja,” ajak Melia sambil menarik tangan Widia, dan mereka pun bergerak menuju ruang keluarga.
“Nola kemana, Mel?” tanya Widia sambil melangkah ke dekat kulkas.
“Lagi main di rumah Bi Asih,” jawab Melia sambil duduk di tepi sofanya.
“Ampe kehausan gini aku, Mel,” ucap Widia sesaat setelah kembali ke sofa sambil memegang segelas air putih, lalu duduk di samping sofa.
"Isi kepalamu sepertinya mau pecah deh. Ceritain dong ada apa, sih?" Melia mesem-mesem, geli dengan tingkah sahabatnya yang selalu berapi-api dalam merespon sesuatu. Bahkan jika itu sangat receh.
"Gini, aku barusan pergi ke tempatnya Bu Nia, tetangga kita yang baru itu. Maksudnya buat narik uang arisan, soalnya dia kan udah daftar.”
“Ya.”
“Oh my God. Ternyata selera meubel dan perabotannya sangat buruk, Mel!” Widia membelalakan matanya sepertinya teramat kaget.
“Hmmm lantas?” Melia sedikit mengernyitkan dahi, walau sudah sangat biasa dengan gaya sahabatnya yang terkadang super lebay.
“Nah, aku kan diterima sama Bu Nia, ngobrol bentar, kemduian aku diajak ke ruang makannya. Di sana ada meja makan bulat yang atasnya pake kaca. Lalu kita duduk di sana, dan aku membuka catatan arisan untuk menunjukkan dan sekaligus mengatakan kalau hari ini, dia wajib bayar."
"Oh, Jadi kamu melihat kalau mereka punya meja makan bulat kaca yang sangat buruk. Lantas kamu ke sini hanya untuk menceritakan itu? Pentingnya apa, Bestie?" Melia mulai sedikit mencibir mengejek kelebayan bestienya itu.
“Dengerin dulu, Bestie. Bukan meja makan yang aku lihat!”
“Lantas apa dong?”
“Nah, Bu Nia ngambil uang buat bayar, sambil manggil Kelvin, suaminya yang brondong itu. Mereka lantas membaca catatanku dan menyetujuinya. Kelvin saat itu masih memakai jubah mandi warna putih, rambutnya pun masih basah, mungkin baru keluar dari kamar mandi.” Widia menjeda ucapannya dengan meneguk minumannya.
“Ya, lantas.” Melia mulai sedikit penasaran.
“Kelvin duduk di seberangku, dan saat dia mengambil catatan itu, aku sedang melihat ke bawa menembus meja kaca itu. Kemudian Kelvin maju ke depan seraya membuka kakinya dan jubahnya tersingkap ke samping! Dia bahkan tidak memakai celana dalam. Dan aku langsung melihat ada yang menggantung di sana, Mel!” seru Widia sambil kembali membelalakan matanya.
“Hah!” Melia ikut tersentak.
“Maksud aku, saat dia bergerak itu, yang tergantungnya seperti diayun-ayun maju-mundur. Oh Tuhan! Itu bentuk dan ukurannya seperti pisang ambon itu, Mel!" jelas Widia sambil menunjuk pisang ambon yang ada di meja makan.
"Astaga. Kamu melihatnya langsung?" Melia kian tersentak.
"Hanya beberapa detik sih. Maksudnya, aku sebentar saja melihatnya karena malu."
"Ya, melihatnya hanya beberapa detik, tapi cukup lama menceritakannya. Kamu bahkan bisa ingat kalau itu terayun maju-mundur seperti pisang ambon ya? Dasar gilingan!" sergah Melia kesal.
“Hahahahaahaha!” Dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa Kelvin tahu kamu melihat pisang ambonnya? Bagaimana kalau Bu Nia juga tahu, kamu merhatiin pisang suaminya, Widia?” tanya Melia setelah tawanya mereda.
“Aku rasa tidak.”
“Baguslah. Tapi itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikirkan. Maksud aku, kamu kan hanya sebentar melihatnya. Jadi tidak benar-benar mengetahui jika itu sebesar pisang ambon itu, hahahaha." Melia pun ikut-ikutan menujuk pisang ambon yang asli yang ukurannya memang begitu besar, dan dia tertawa geli.
"Mel, aku emang melihat punya Kelvin itu cuma sekejap, tapi kejadian setelah itu yang membuatku tertegun dan jadi kehausan begini!” Widia kembali menegug minumnya.
“Memang ada kejadian apa setelahnya?” Melia kembali melongo.
Widia lalu menarik tangan Melia ke dekat jendela dapur yang gordengnya sudah tersingkap.
“Nah!” seru Widia tiba-tiba, “Kamu kenal siapa brondong yang pake celana pendek biru itu? Dia anak kost barumu bukan?” lanjut Widia sambil menunjuk dua remaja yang sedang ngobrol sambil duduk di teras depan kamar mereka.
“Yang celana biru, Jovan. Ada apa dengan dia?” Melia balik bertanya.
Widia menarik tangan Melia untuk kembali duduk di sofa. “Aku kan pulang dari rumah Bu Nia itu lewat belakang rumahmu. Karena tiba-tiba kebelet pipis, maksud aku mau numpang di kamar mandi belakang yang biasa dipakai anak-anak kostmu. Ya, aku pikir pasti sepi, soalnya mereka pada kuliah kan.”
“Hmmm, and then?” Melia makin tak sabar.
“Begitu aku mendekati kamar mandi, di sana ada yang sedang kencing sambil berdiri. Dia memelorotkan celana pendeknya hangga pahanya. Dan bahkan tidak menutup pintunya dengan baik. Kamu tahu apa yang kulihat, Mil?” Pertanyaan Widia dijawab dengan gelengan kepala oleh Melia.