Seorang istri yang selalu setia tiba-tiba menemukan bukti perselingkuhan suaminya. Ketika ia berusaha mengungkap kebenaran, ia justru menemukan lebih banyak kebohongan yang suaminya simpan selama ini.
Clara duduk di meja makan, menatap sepiring pasta yang sudah dingin. Aroma saus tomat yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar. Suaminya, Andri, sudah lebih dari setengah jam terlambat pulang dari kantor, sesuatu yang jarang terjadi. Momen-momen seperti ini membuatnya merasa gelisah, seolah ada yang salah, tetapi dia tidak bisa mengungkapkannya.
Dia meraih ponselnya dan mengecek pesan. Tidak ada kabar dari Andri. Clara menghela napas, berusaha menenangkan pikirannya. Mungkin hanya pekerjaan yang membuatnya terjebak, pikirnya.
Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Clara langsung berdiri. Andri masuk dengan wajah lelah, jasnya sedikit kusut, dan matanya tampak tidak fokus.
"Hey, sayang," Clara mencoba menyapa dengan ceria, meskipun hatinya bergetar. "Aku sudah siap makan malam. Pasta kesukaanmu."
Andri mengangguk pelan, tetapi tidak ada senyuman yang menghiasi wajahnya. "Maaf, ada rapat mendadak," jawabnya singkat. Ia berjalan menuju kamar tanpa melihat ke arah Clara.
"Rapat? Lagi?" Clara merasa ada yang tidak beres. Dia mengikuti Andri ke kamar. "Kamu sudah beberapa kali pulang larut. Apakah ada yang ingin kamu ceritakan?"
Andri menghela napas, terlihat lelah. "Aku hanya perlu fokus pada pekerjaan, Clara. Ini penting untuk karir kita."
"Tapi kita juga penting, Andri!" suara Clara mulai meninggi. "Aku merasa seperti kita semakin jauh. Kita tidak pernah berbicara lagi."
Andri berbalik, menatap Clara dengan tajam. "Jangan dramatis, Clara. Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semua ini. Kita akan baik-baik saja."
"Baik-baik saja?" Clara merasa hatinya tercabik. "Apa kamu yakin? Karena aku tidak merasa seperti itu. Kamu tidak pernah ada di sini lagi."
Andri mengalihkan pandangannya, tampak tidak nyaman. "Aku sudah bilang, ini semua demi kita. Kita akan merayakan sesuatu yang besar setelah proyek ini selesai."
Clara merasakan air mata menggenang di matanya. "Tapi apa yang terjadi sekarang? Aku merindukan kita, Andri. Aku merindukan kamu."
Andri tidak menjawab. Dia hanya mengambil tasnya dan pergi ke kamar mandi. Clara merasa terjebak dalam keheningan yang menyesakkan. Apakah semua ini hanya dalam pikirannya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?
Setelah beberapa menit, Andri keluar dari kamar mandi dan melanjutkan rencananya untuk beristirahat. Clara berdiri di ambang pintu, tak berdaya. "Apa kamu benar-benar akan tidur tanpa membicarakannya?"
"Clara, aku lelah. Besok kita bisa bicarakan lagi. Sekarang aku butuh istirahat," jawab Andri, suaranya kaku.
Clara merasa frustasi. "Tapi bagaimana dengan kita? Apakah kamu tidak peduli?"
Andri menatapnya, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu aku mencintaimu, kan? Ini hanya fase yang harus kita lalui. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."
"Percaya? Aku tidak tahu apa yang harus dipercayai lagi," Clara berbisik, hatinya dipenuhi keraguan. Dia kembali ke meja makan, menatap piring pasta yang kini seolah mencerminkan semua kekecewaannya.
Clara menghela napas panjang. Dia ingin mempercayai Andri, tetapi saat itu, semuanya terasa semakin tidak pasti. Dengan pikiran yang berkecamuk, dia menatap keluar jendela. Hujan mulai turun, menambah suasana suram di dalam hatinya.
"Istirahatlah, sayang," Andri memanggil dari belakang. "Kita akan melewati ini bersama."
"Ya, bersama," gumam Clara, meski ia tahu kata-kata itu hanya sebuah janji kosong yang tak bisa dia percayai.
Clara beranjak dari meja dan mengambil piringnya, tetapi saat dia mencuci piring, pikirannya terus berputar. Kebohongan kecil bisa jadi menyimpan kebenaran yang lebih besar, dan dia tidak bisa mengabaikan firasatnya yang terus menggigit.
Setelah menyelesaikan mencuci piring, Clara berjalan menuju ruang tamu. Andri sudah duduk di sofa, menatap layar ponselnya. Clara berusaha bersikap tenang, tetapi jantungnya berdebar keras. Dia merasa seperti ada sesuatu yang sangat penting yang perlu dibicarakan, tetapi dia tidak tahu bagaimana memulainya.
"Jadi, apa rencanamu besok?" Clara bertanya, berusaha untuk terdengar santai. Dia duduk di sebelah Andri, berharap bisa menjalin komunikasi yang lebih baik.
Andri tidak langsung menjawab. Dia terus menatap ponselnya, tampak terfokus. Clara merasakan hatinya mulai kesal. "Andri, apakah kamu mendengar apa yang aku katakan?"
"Ya, aku mendengar," jawab Andri tanpa mengalihkan pandangannya. "Tapi aku sibuk saat ini."
Clara menahan napas. "Sibuk? Atau kamu hanya tidak ingin berbicara dengan aku?"
"Clara, ini tidak seperti itu." Andri akhirnya meletakkan ponselnya. "Aku hanya ingin menyelesaikan pekerjaanku tanpa gangguan."
"Tanpa gangguan? Atau tanpa kehadiranku?" Clara merasa suaranya bergetar, tertekan oleh emosi yang meluap. "Kamu seolah-olah ingin menjauh dari semua ini. Apa yang terjadi dengan kita, Andri?"
Andri terlihat frustrasi. "Ini bukan saatnya untuk berdiskusi tentang hubungan kita. Aku sedang stres dengan pekerjaan!"
"Stres?" Clara tertawa getir. "Kamu tahu aku juga stres, bukan? Ketika kamu tidak ada di sini, aku merasakannya. Aku merindukan kamu. Aku ingin berbagi semuanya-bukan hanya tentang pekerjaan!"
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?!" Andri bangkit dari sofa, emosinya mulai terlihat. "Haruskah aku meninggalkan semuanya hanya untuk menghiburmu?"
"Tidak, bukan begitu!" Clara berdiri, tak mau kalah. "Aku hanya ingin kamu ada di sini untukku, untuk kita! Apakah itu terlalu banyak diminta?"
Andri mengalihkan pandangannya, tampak gelisah. "Kamu tidak mengerti. Aku melakukan ini semua untuk masa depan kita."
"Masa depan kita?" Clara merasa semakin tertekan. "Kamu tidak bisa mengorbankan hubungan kita untuk sebuah pekerjaan. Apa artinya semua itu jika kita tidak saling memiliki?"
"Andai kau tahu betapa sulitnya situasi ini!" suara Andri sedikit meninggi. "Aku hanya berusaha bertahan!"
Clara mendekat, merasakan ada jarak yang tak terukur antara mereka. "Tapi dengan cara ini, kita malah semakin jauh. Apa kau tidak melihatnya?"
Andri terdiam, tampak berjuang dengan kata-katanya. "Clara, aku... aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Kita hanya perlu waktu."
"Tapi waktu apa yang kamu butuhkan? Waktu untuk bersembunyi di balik kebohongan?" Clara merasa air mata menetes di pipinya, tetapi ia berusaha menahan diri.
Andri menatapnya, terlihat bingung dan marah sekaligus. "Apa maksudmu dengan kebohongan?"
Clara menggigit bibirnya. Dia sudah berada di tepi jurang, antara keinginan untuk membuka semua yang dia rasa dan ketakutan akan reaksi Andri. "Kebohongan yang mungkin kau sembunyikan dariku. Tentang pekerjaan, tentang Rina..."
"Andri, aku merasa ada yang salah dengan cara kau memperlakukan semua ini. Seperti ada sesuatu yang kau sembunyikan," Clara melanjutkan, berusaha untuk berbicara lembut tetapi tegas.
"Clara, aku tidak menyembunyikan apa pun! Itu hanya imajinasimu!" Andri menjawab, suaranya terangkat. "Kau terlalu sensitif. Aku tidak berselingkuh!"
Clara merasakan jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak tahu lagi harus percaya apa. Ketika kamu tidak ada di sini, aku hanya bisa berpikir yang terburuk."
Andri menghela napas dalam-dalam, tampak seolah akan berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia hanya berdiri di sana, tampak bingung dan marah.
"Kita perlu bicara," Clara akhirnya berkata, berusaha menenangkan suasana. "Kalau tidak, semua ini hanya akan menghancurkan kita."
Andri menatapnya, terlihat lebih tenang, tetapi raut wajahnya masih penuh dengan ketidakpastian. "Baiklah, kita bicarakan ini besok. Aku butuh waktu untuk merenung."
Clara mengangguk, merasa sedikit lega. Mungkin besok mereka bisa mendapatkan jawaban yang mereka butuhkan. Namun, saat dia beranjak pergi, ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Dia tahu, jika tidak ada kejujuran di antara mereka, semua yang mereka bangun bisa hancur dalam sekejap.
Setelah Clara pergi, Andri kembali duduk di sofa, mengusap wajahnya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dan saat dia melihatnya, dia merasakan gelombang ketakutan melanda. Pesan dari Rina. Dan saat itulah dia tahu, semuanya akan segera berubah.
Bersambung...
Buku lain oleh Gelombang Air
Selebihnya