Bayangan Luka di Balik Seragam Putih

Bayangan Luka di Balik Seragam Putih

istrirm

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

"Kau tahu rasanya kehilangan seseorang yang berarti... lalu mengetahui kebenaran bahwa dia tak pernah benar- benar diperjuangkan untuk hidup?" Aldian kehilangan adik perempuannya dalam tragedi yang dibungkus oleh fitnah dan kebohongan. Sebuah catatan harian membawa Aldian pada satu nama: wali kelas adiknya - sosok wanita terhormat di mata sekolah, namun menyimpan rahasia kelam yang menghancurkan hidup seorang remaja. Dalam pencariannya akan kebenaran, Aldian bertemu Aluna - anak wali kelas tersebut. Seorang gadis cerdas, terkurung dalam jadwal dan ambisi ibunya untuk mengirimnya ke luar negeri. Aluna hidup sempurna di permukaan, tapi jiwanya terikat rantai yang tak kasat mata. Aldian memulai rencana balas dendam. Namun seiring waktu, ia mulai melihat sosok Aluna bukan sebagai alat, melainkan manusia dengan luka yang sama. Ketika masa lalu, cinta, dan dendam saling bersilangan, Aldian dihadapkan pada pilihan: membiarkan dendam menelan segalanya, atau melepaskan kebenaran untuk menyembuhkan luka. Namun, tidak semua kebenaran datang membawa kelegaan. Dan tidak semua luka bisa disembuhkan oleh waktu. "Terkadang, untuk menyelamatkan satu jiwa, jiwa yang lain harus terluka."

Bab 1 Surat Terakhir Aluna

Hujan turun sejak pagi.

Bukan hujan deras yang mengamuk, tapi hujan diam- diam- rintik pelan yang mengiringi langit kelabu dan suara gemeretak jarum jam tua di dinding.

Aldian duduk di pojok kamarnya, berhadapan dengan tumpukan kardus yang belum sempat ia buka sejak pemakaman tiga minggu lalu.

Salah satu buku, buku harian itu kini tergeletak di lantai. Lembarnya terbuka sendiri oleh hembusan angin dari jendela yang tidak sempat Aldian tutup. Namun matanya tak lagi mampu membaca. Tidak lagi. Sudah cukup.

Ia terduduk di pojok kamar, tepat di antara kardus- kardus kenangan dan sisa masa lalu yang tak akan pernah kembali.

Kedua tangannya menutup wajah.

Lalu ia menangis.

Bukan tangisan pelan yang bisa disembunyikan. Tapi tangisan pecah- suara yang keluar dari kedalaman dada, seperti jeritan yang terlalu lama ditahan.

"Maaf... maaf, Nuna..."

Kalimat itu berulang, patah- patah.

Keluar seperti desakan napas yang pecah oleh sesak.

Suara yang bahkan tak terdengar oleh siapa pun, kecuali dinding- dinding kosong kamarnya.

Ia memeluk lututnya sendiri.

Dada terasa seperti diremas dari dalam. Nafasnya pendek- pendek, seolah udara di ruangan itu menghilang bersama kepergian satu- satunya orang yang masih memanggilnya "Kakak"

"Aku gagal..."

"Aku satu- satunya yang kamu punya... tapi aku malah sibuk jadi kuat."

"Sibuk jadi laki- laki dewasa."

"Sibuk bertahan, sampai lupa kalau kamu juga sedang menahan kerasnya dunia ini ..."

Air matanya jatuh membasahi lantai kayu. Basah. Hening. Luka.

Ia teringat malam- malam ketika Aruna masuk ke kamarnya hanya untuk duduk diam. Tak bicara. Hanya duduk. Kadang tertidur di kursi tanpa alasan.

Ia pikir saat itu, Aruna hanya sedang lelah belajar. Ia pikir, Aruna sudah cukup dewasa untuk tahu cara menjaga diri sendiri.

Ternyata tidak.

Ternyata, adiknya hanya ingin ditemani.

Ditemani dirinya.

Dan ia... terlalu buta untuk melihat itu.

Amanah itu jelas sekali teringat dalam otaknya.

Pesan terakhir dari ayah di rumah sakit

"Jagain adikmu, Di. Dia satu- satunya yang kamu punya sekarang."

Ia mengangguk waktu itu dengan mantap. Berjanji dalam hati.

Tapi apa arti janji jika pada akhirnya ia hanya tinggal sendiri.

Aldian menunduk. Menyeka wajahnya. Tapi air mata tidak bisa berhenti.

Karena ini bukan tentang kehilangan.

Ini tentang kegagalan.

Gagal menjaga.

Gagal mendengar.

Gagal memahami isyarat yang tidak pernah dikatakan dengan kata.

Dan di balik hujan yang mulai reda di luar sana, di dalam kamar itu... Aldian hancur untuk pertama kalinya, bukan karena kehilangan orang lain.

Tapi karena ia kehilangan dirinya sendiri.

Kardus- kardus di hadapannya penuh barang-barang milik adiknya, Aruna- atau biasa ia panggil "Nuna" saat kecil dulu, panggilan manja yang perlahan hilang seiring usia dan kehidupan yang memaksa mereka tumbuh lebih cepat.

Hari ini, ia memutuskan untuk mulai membereskan semuanya.

Tangannya bergerak perlahan, membongkar satu per satu barang yang dibungkus rapi seragam putih-abu yang masih wangi deterjen, album foto kecil, boneka kelinci yang salah satu telinganya robek... dan kemudian, di dasar kardus paling bawah, ada sesuatu yang membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.

Sebuah buku kecil bersampul kain abu-abu, dengan benang jahit sedikit terkelupas di pinggirnya.

Bukan buku pelajaran. Bukan agenda sekolah.

Ini... buku harian.

Ia menatap benda itu lama.

Jari- jarinya ragu untuk menyentuh, seolah khawatir akan merusak sesuatu yang rapuh.

Namun rasa ingin tahu, dan dorongan dari luka yang belum mengering, lebih kuat daripada rasa takutnya.

Dengan napas tertahan, ia membuka halaman pertama.

Tanggal 10 Januari

"Aku tidak tahu harus cerita ke siapa. Rasanya aku tenggelam, tapi tetap harus tersenyum agar tak membuat orang lain khawatir. Kalau aku mengeluh, nanti dianggap manja. Kalau aku menangis, nanti dikira lemah. Jadi aku diam. Karena diam lebih aman daripada dipertanyakan."

Lembaran kedua.

Tanggal 17 Januari

"Aku ingin cerita padanya... tapi dia sudah cukup lelah. Dia sudah kehilangan lebih dulu. Aku tak ingin menjadi beban kedua. Biarlah aku simpan semuanya sendiri."

Mata Aldian mulai memanas. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "dia". Meskipun tak disebut nama, ia tahu itu tentang dirinya.

Tentang kakak yang terlalu sibuk bertahan, hingga lupa bahwa ada adik yang perlahan tenggelam dalam kesendirian.

Halaman berikutnya mulai berubah nada. Bukan hanya sedih, tapi mengarah pada sesuatu yang lebih gelap... dan lebih dalam.

Tanggal 5 Februari

"Ibu wali kelas bilang aku harus 'diam'. Kalau tidak, semuanya akan tambah rumit. Dia bilang semua ini bisa merusak masa depanku dan reputasi sekolah. Aku takut. Aku malu. Tapi lebih dari itu... aku merasa kotor."

Aldian membeku.

Tangannya menggenggam kencang buku itu. Jemarinya gemetar. Kata- kata yang baru saja ia baca seperti pisau yang menyayat ulang luka di dadanya.

"Diam?"

"Reputasi?"

Kata- kata itu tak asing. Ia pernah mendengar guru- guru berbicara dengan nada yang sama saat ia mendatangi sekolah, menuntut kejelasan soal kematian Aruna.

Semua terdengar... terlalu rapi.

Terlalu formal.

Terlalu kosong.

Kini, potongan- potongan itu mulai menyatu di otak Aldian.

Aruna tidak mati karena 'kelalaian pribadi' seperti yang sekolah katakan.

Ia disuruh diam.

Ia ditekan.

Ia merasa malu atas sesuatu... yang mungkin bukan salahnya.

Aldian merasakan tubuhnya menghangat, bukan karena api, tapi karena kemarahan.

Rasa bersalah dan marah bercampur menjadi satu, membuat pandangannya kabur.

Hujan di luar masih turun. Tapi hujan di dalam dadanya lebih deras.

Dan untuk pertama kalinya sejak pemakaman itu, Aldian berbisik pada dirinya sendiri.

"Ada yang disembunyikan."

Di tengah tangis yang belum sepenuhnya reda, Aldian memejamkan mata.

Dan seperti lembaran film yang kusut, satu per satu kenangan itu datang- tidak diundang, tapi juga tak mampu ia tolak.

ALdian Ingat saat Aruna kecil.

Sekitar usia lima tahun.

Rambutnya dicepol dua seperti telinga kelinci. Gigi depannya ompong sebelah. Suaranya cempreng tapi penuh semangat. Mereka bermain petak umpet di halaman rumah, saat matahari sore menggantung rendah dan pohon mangga tua menjadi tempat persembunyian favorit.

"Kakaaa, ayo cari aku!"

Suaranya terdengar dari balik tembok, jelas-jelas memberi petunjuk. Tapi itulah Aruna. Ia tidak pernah benar- benar ingin sembunyi. Ia hanya ingin ditemukan.

Dan Aldian, dengan pura- pura panik, akan menjawab,

"Wah, adikku hilang! Jangan- jangan diculik alien!"

Lalu terdengar tawa keras dari balik pot bunga.

Tawa yang sekarang hanya bisa hidup di dalam kepala Aldian.

Ingatan lain muncul.

Mereka berdua duduk di atas atap garasi rumah, menyantap mie instan yang dimasak diam- diam saat ibu tidur siang. Mie yang terlalu asin. Sendok plastik yang patah. Tapi malam itu, semuanya terasa sempurna.

"Kak, kalau aku udah gede nanti, kamu masih mau temenin aku?"

"Tentu. Bahkan kalau kamu punya pacar, aku bakal pura- pura jadi pacar kamu biar dia nggak macam- macam."

Aruna tertawa keras waktu itu.

"Ih, jijik! Kakak tuh aneh!"

"Tapi kamu sayang, kan, sama Kakak?"

Aruna menatap langit.

"Banget."

Aldian tersenyum getir saat kenangan itu berputar.

Kenangan yang terlalu indah, terlalu hidup... untuk dikubur bersama Aruna.

Ia menoleh ke arah boneka kelinci tua yang tergeletak di sudut kardus.

Telinga boneka itu robek, dijahit dengan benang warna- warni. Hasil jahitan pertamanya, saat ia belajar menjahit karena Aruna menangis bonekanya rusak.

Ia rela belajar menjahit, hanya demi senyum adiknya.

Dan kini, setelah semuanya hilang...

Ia baru sadar, tawa yang dulu dianggap biasa, adalah anugerah yang tidak akan pernah kembali.

Aruna bukan hanya adik.

Dia adalah separuh masa kecil Aldian.

Separuh tawa.

Separuh alasan untuk terus pulang ke rumah.

Kini semuanya tinggal diam.

Tinggal kenangan yang menampar.

Tinggal bayang yang menggantung di pojok-pojok ruangan.

Dan di tengah keheningan, Aldian memeluk lututnya lagi.

Ia tidak hanya merindukan Aruna. Ia merindukan dirinya sendiri-versi dirinya yang masih lengkap, yang masih punya alasan untuk tertawa tanpa luka.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku