"Aku tak pernah menyangka, setelah empat puluh tahun, kebenaran bisa terungkap dari tablet cucuku." Niat hati ingin mengunduh lagu anak-anak di tablet baru cucu, jari saya malah tak sengaja membuka folder bernama "Proyek Riset". Isinya bukan dokumen kerja, melainkan ribuan foto mesra suami saya dengan sahabat karib saya sendiri, Wulandari, di berbagai negara selama empat puluh tahun terakhir. Ternyata, "perjalanan dinas" suami saya selama ini hanyalah kedok untuk bulan madu abadi mereka, sementara saya di rumah menjadi babu gratisan. Yang lebih menghancurkan hati, saya menemukan video anak kandung saya, Rizal, sedang tertawa lepas membantu Wulandari mengangkat lukisan berat. Padahal seminggu lalu, dia menolak membantu saya menggeser lemari dengan alasan "saraf kejepit". Di video itu, Rizal mencium pipi pelakor itu dan berbisik, "Mama yang seharusnya." Dunia saya runtuh seketika. Rupanya, karena Wulandari mandul, mereka bersekongkol menjadikan saya "inkubator" hidup untuk melahirkan keturunan bagi keluarga terpandang suami saya. Saya hanyalah wanita desa polos yang dimanfaatkan, tidak dicintai, dan diam-diam dihina oleh suami dan anak sendiri. Mereka pikir saya akan diam demi reputasi dan takut hidup miskin? Salah besar. Hari itu juga, saya mengemasi barang, menuntut cerai, dan menguras harta gono-gini yang menjadi hak saya. Saya pergi ke Bali, menjadi penenun sukses yang dipuja ribuan orang. Dan ketika mereka datang mengemis di kaki saya setelah hancur lebur dan kehilangan segalanya, saya hanya tersenyum dingin dan menutup pintu selamanya.
"Aku tak pernah menyangka, setelah empat puluh tahun, kebenaran bisa terungkap dari tablet cucuku."
Niat hati ingin mengunduh lagu anak-anak di tablet baru cucu, jari saya malah tak sengaja membuka folder bernama "Proyek Riset".
Isinya bukan dokumen kerja, melainkan ribuan foto mesra suami saya dengan sahabat karib saya sendiri, Wulandari, di berbagai negara selama empat puluh tahun terakhir.
Ternyata, "perjalanan dinas" suami saya selama ini hanyalah kedok untuk bulan madu abadi mereka, sementara saya di rumah menjadi babu gratisan.
Yang lebih menghancurkan hati, saya menemukan video anak kandung saya, Rizal, sedang tertawa lepas membantu Wulandari mengangkat lukisan berat.
Padahal seminggu lalu, dia menolak membantu saya menggeser lemari dengan alasan "saraf kejepit".
Di video itu, Rizal mencium pipi pelakor itu dan berbisik, "Mama yang seharusnya."
Dunia saya runtuh seketika.
Rupanya, karena Wulandari mandul, mereka bersekongkol menjadikan saya "inkubator" hidup untuk melahirkan keturunan bagi keluarga terpandang suami saya.
Saya hanyalah wanita desa polos yang dimanfaatkan, tidak dicintai, dan diam-diam dihina oleh suami dan anak sendiri.
Mereka pikir saya akan diam demi reputasi dan takut hidup miskin?
Salah besar.
Hari itu juga, saya mengemasi barang, menuntut cerai, dan menguras harta gono-gini yang menjadi hak saya.
Saya pergi ke Bali, menjadi penenun sukses yang dipuja ribuan orang.
Dan ketika mereka datang mengemis di kaki saya setelah hancur lebur dan kehilangan segalanya, saya hanya tersenyum dingin dan menutup pintu selamanya.
Bab 1
SUDUT PANDANG SITI PRIBADI:
Tablet baru cucu saya, Rara, berkedip di tangan saya. Layarnya menyala, memuntahkan rentetan gambar yang merenggut napas saya. Ini tablet barunya, saya hanya ingin mengunduh beberapa lagu anak-anak untuknya. Jari saya tidak sengaja menyentuh ikon galeri.
Saya melihat sebuah folder. Namanya "Proyek Riset".
Teguh, suami saya, sering bepergian untuk "riset budaya". Selalu begitu. Saya selalu percaya padanya.
Saya membuka folder itu.
Gambar pertama adalah Teguh, tertawa bebas. Di sampingnya, Wulandari. Sahabat karib saya. Mereka berdua dalam pakaian santai, di sebuah pantai. Air laut yang biru berkilauan di belakang mereka, matahari terbenam mewarnai langit dengan jingga dan ungu.
Jantung saya berdegup kencang. Bukan, tidak mungkin. Ini pasti hanya kebetulan. Mungkin mereka bertemu di acara riset yang sama.
Saya menggeser ke gambar berikutnya. Mereka berdua lagi, kali ini di sebuah restoran mewah. Wulandari memegang tangan Teguh, tersenyum genit. Teguh membalas senyumnya, tatapannya penuh gairah. Tatapan yang tidak pernah saya lihat lagi selama bertahun-tahun.
Tangan saya mulai gemetar. Gambar-gambar itu terus bergulir. Setiap gambar lebih menyakitkan dari yang sebelumnya. Mereka berpelukan di depan piramida Mesir. Mereka berciuman di bawah Menara Eiffel. Mereka berpegangan tangan di jalanan Tokyo, di pasar Marrakech, di tepi Grand Canyon.
Ini bukan riset. Ini adalah perjalanan cinta.
Selama empat puluh tahun.
Saya melihat tanggal pada setiap foto. Itu adalah tanggal-tanggal yang sama saat Teguh bilang dia sedang "perjalanan dinas". Perjalanan yang selalu dia habiskan untuk "riset budaya" yang penting. Saya selalu menyiapkan kopernya, memastikan semua keperluannya terpenuhi.
Saya menyiapkan pakaiannya, membungkus camilan favoritnya, bahkan menuliskan daftar obat-obatan jika dia sakit. Saya menganggap itu adalah tugas seorang istri.
Selama empat puluh tahun, saya telah hidup dalam kebohongan.
Bukan hanya Teguh. Wulandari. Sahabat karib saya. Orang yang selalu saya percaya. Orang yang selalu saya ajak berbagi cerita tentang Teguh, tentang anak kami, Rizal. Dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan nasihat.
Betapa bodohnya saya.
Napas saya tercekat. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas paru-paru saya.
Lalu saya melihat sebuah video. Itu adalah video pendek, diambil di sebuah galeri seni. Wulandari sedang menata patung, tertawa lepas. Rizal, anak saya, ada di sana. Dia membantu Wulandari memindahkan sebuah lukisan besar.
"Aduh, Mama Wulan ini maunya apa lagi sih?" Rizal menggerutu, tapi ada senyum di bibirnya. "Capek banget ini pinggang Rizal."
Wulandari tertawa, lalu menepuk punggung Rizal. "Astaga, anak bungsu Mama ini manja sekali. Kan demi seni, Sayang."
"Iya, iya, deh. Tapi pinggangku ini kan lagi sakit saraf kejepit, Ma." Rizal pura-pura mengerang kesakitan.
Saya ingat. Baru minggu lalu. Saya meminta Rizal membantu saya menggeser lemari dapur yang berat. Saya ingin membersihkan bagian bawahnya.
"Ma, Rizal ini lagi sakit pinggang parah," katanya waktu itu. "Saraf kejepit, katanya dokter. Enggak bisa angkat berat-berat. Nanti makin parah."
Saya percaya padanya. Saya bahkan memijat punggungnya, membuatkan ramuan herbal untuknya.
Dan sekarang, dia mengangkat lukisan besar itu sendirian, sambil tertawa-tawa. Dia memanggil Wulandari "Mama".
"Mama yang seharusnya," Rizal berbisik dalam video itu, mencium pipi Wulandari.
Dunia saya runtuh.
Saya tidak bisa lagi bernapas. Rasa sakit itu begitu tajam, seolah ribuan pisau menusuk jantung saya. Lutut saya lemas. Saya jatuh terduduk di kursi ruang tamu. Tablet itu jatuh dari tangan saya, layarnya menghadap ke atas, memancarkan cahaya dingin ke wajah saya.
Air mata, yang sudah lama saya tahan, kini mengalir deras. Mengalir tanpa henti.
Saya memejamkan mata, tapi gambar-gambar itu masih menari-nari di kepala saya. Teguh dan Wulandari. Rizal dan Wulandari. Selama ini, saya hanya boneka.
Saya hanya seorang wanita desa polos yang mereka pakai untuk melahirkan keturunan.
Saya ingat masa muda saya. Bakat saya menenun. Bagaimana Teguh, yang waktu itu masih menjadi kekasih Wulandari, datang ke desa saya dengan janji-janji manis. Dia bilang akan membawa saya ke kota, memberikan saya kehidupan yang lebih baik.
Wulandari waktu itu menjadi sahabat saya. Dia selalu terlihat begitu ramah, begitu perhatian. Dia bilang, "Siti, kamu itu baik hati sekali. Teguh pasti akan bahagia denganmu."
Ternyata, itu semua adalah bagian dari rencana mereka. Wulandari mandul. Keluarga Teguh membutuhkan keturunan. Saya, seorang gadis desa yang polos, sempurna untuk peran itu.
Hanya untuk melahirkan anak. Hanya untuk mengurus rumah tangga.
"Halo, Bi Sumi?" Suara saya bergetar saat saya menelepon bibi saya di desa.
"Siti? Ada apa? Suara kamu kenapa?" Bi Sumi terdengar cemas.
Saya mencoba menenangkan diri. "Enggak, enggak apa-apa, Bi. Cuma... kangen aja."
"Kangen? Kamu ini, Siti. Biasanya kamu enggak pernah telepon kalau enggak ada perlu penting."
"Bi, ingat Wulandari? Teman saya dulu?"
"Wulandari? Oh, tentu saja. Perempuan kota yang cantik itu. Yang waktu itu menjodohkan kamu dengan Teguh, kan?"
"Iya, Bi," suara saya nyaris tak terdengar.
"Kenapa? Kalian masih berteman baik?"
"Bi, waktu itu, apa Bibik tahu kenapa Teguh tiba-tiba mau sama saya? Padahal dia sudah pacaran sama Wulandari bertahun-tahun."
Ada hening di ujung telepon.
"Bibik mendengar desas-desus, Siti," kata Bi Sumi pelan. "Tapi Bibik enggak mau bilang sama kamu. Takut kamu sedih."
"Sekarang Bibik bisa cerita, Bi," kata saya. "Saya sudah tahu semuanya."
Bi Sumi menghela napas panjang. "Waktu itu, Wulandari divonis mandul, Siti. Keluarga Teguh yang terpandang itu enggak bisa menerima menantu yang enggak bisa kasih keturunan. Mereka bilang, Teguh harus punya anak."
"Jadi... Wulandari dan Teguh merencanakan ini semua?"
"Itu yang Bibik dengar, Nak. Wulandari yang mendekatimu, mengatakan bahwa kamu adalah wanita yang baik, yang pantas untuk Teguh. Dan Teguh... ya, dia menuruti saja. Dia bilang dia terpaksa demi keluarganya."
Terpaksa. Demi keluarganya. Keluarga yang dia bangun dengan saya, tapi hatinya selalu untuk Wulandari.
"Siti? Kamu masih di sana?"
"Iya, Bi. Aku masih di sini." Suara saya hampa.
Pantas saja. Teguh selalu pulang malam. Selalu dingin. Selalu sibuk dengan "risetnya". Saya selalu menganggap itu adalah beban seorang suami yang bekerja keras. Saya selalu berusaha menjadi istri yang sempurna, ibu yang sempurna.
Tapi saya tidak pernah menjadi istrinya. Hanya sebuah alat. Sebuah inkubator.
Saya melihat tablet itu lagi. Teguh. Wulandari. Mereka tersenyum bahagia. Mereka berciuman. Mereka berpelukan. Mereka terlihat seperti pasangan yang saling mencintai.
Dan saya? Saya terkurung di rumah ini, memasak makanan kesukaan mereka, membersihkan kotoran mereka, memanjakan anak mereka yang ternyata lebih mencintai wanita lain.
Saya tertawa hambar. Rasanya sakit sekali. Lebih sakit dari apapun yang pernah saya rasakan. Ini bukan hanya pengkhianatan. Ini adalah penghinaan.
Saya menghapus air mata dengan punggung tangan. Air mata asin yang tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Telepon saya berdering lagi. Nama Rara muncul di layar.
"Nenek! Nenek, Rara mau Rawon Nenek yang enak itu!" suara cicitan Rara terdengar di telinga saya. "Nenek buat ya? Sekarang Rara lapar!"
Rawon. Makanan kesukaan cucu saya. Makanan yang selalu saya buatkan dengan penuh cinta. Makanan yang seolah menjadi satu-satunya alasan saya ada di rumah ini.
Saya tidak menjawab. Saya hanya menatap kosong ke dinding. Lalu, dengan gerakan lambat, saya menekan tombol merah. Memutus panggilan itu.
Cukup.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya