Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cincin Dendam : Janji di Balik Rahasia

Cincin Dendam : Janji di Balik Rahasia

Rafflesia Life

5.0
Komentar
313
Penayangan
17
Bab

Lara mengetahui rahasia kelam keluarganya, membuatnya bingung dengan perasaan dan hubungannya dengan Leon yang mencoba masuk ke dalam keluarga Ariatama Marten. Rasa iri dan cemburunya terhadap adik tirinya membuat Lara tanpa sengaja menghancurkan hubungan adiknya itu dengan Leon. Leon, yang merasa dikhianati namun tetap memiliki tujuan yang belum tercapai terhadap keluarga Ariatama Marten, menawarkan Lara pernikahan kontrak. Lara, yang diam-diam mencintai Leon dan ingin melindungi rahasia keluarganya, akhirnya menerima tawaran itu. Akankah pernikahan kontrak ini membawa Lara dan Leon menemukan kebahagiaan, atau justru membuka luka dan rahasia yang lebih dalam?

Bab 1 Butir – Butir Rahasia dan Lamaran Leon

"Kalau Leon tahu semuanya... apa dia masih mau mengenalku?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada keheningan.

Lara menatap kosong ke dinding kamar, bibirnya gemetarBayangan wajah Leon kembali menyeruak, membuatnya semakin tersiksa. "Haruskah aku jujur? Atau aku menyimpan semua ini sampai mati?" pikirnya dalam hati, tapi bahkan imajinasi Leon yang penuh amarah membuat tubuhnya melemas.

"Kenapa harus begini?" gumamnya lirih, menggenggam erat selimut di dadanya. "Leon yang malang" Matanya memandang kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di balik malam yang kelam.

Malam itu, Lara terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya menggigil meski kamar terasa hangat. Matanya basah, dan rasa bersalah yang menyesakkan memenuhi hatinya. Dalam mimpi, wajah Leon yang penuh kekecewaan kembali menghantuinya-tatapan tajam itu muncul ketika Leon mengetahui kebenaran tentang Cantika.

Lara teringat bagaimana Leon secara tak sengaja mengetahui bahwa Cantika, adik tirinya, tidak benar-benar mencintainya. Bagi Cantika, Leon hanyalah salah satu pilihan, bukan satu-satunya pria di hatinya. Dan itu, tragisnya, terjadi karena kecerobohan Lara sendiri.

Bagaimanapun, di lubuk hatinya, Lara diam-diam sangat mencintai Leon. Perasaannya begitu dalam, namun ia tak pernah berani mengungkapkannya. Yang diinginkannya hanyalah melihat Leon bahagia bukan sebaliknya.

Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Ingatan lain menyusup ke benaknya, lebih mengerikan dari sebelumnya. Dokumen-dokumen rahasia yang ia temukan di ruang kerja Paman Jeri muncul dalam bayangannya. Kertas-kertas itu dengan jelas menunjukkan bagaimana keluarga Ariatama, keluarganya sendiri, memiliki hubungan gelap dengan masa lalu kelam keluarga Leon termasuk kematian tragis kedua orang tuanya.

..keesokan harinya..

Matahari pagi mengalirkan cahaya lembut ke dalam kamar Lara, membangunkannya dengan perlahan. Setelah bermimpi buruk sepanjang malam, dia merasa kepalanya berat, namun dia berusaha menepis perasaan itu dan memulai harinya. Lara bangkit, mengenakan seragam kerjanya yang elegan, lalu bersiap turun ke ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara, membawa sedikit kenyamanan di tengah kekacauan pikirannya.

Di ruang makan, ayahnya, Tuan Darma, sudah duduk di ujung meja, membaca koran seperti biasa. Ibu tirinya, Vina, duduk di sebelahnya, menyesap teh dengan anggun, sementara Cantika sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil saat membaca pesan-pesan yang muncul.

"Pagi, Lara," kata Vina sambil melirik sekilas. Senyumnya sopan, tapi dingin.

"Selamat pagi," jawab Lara, mengambil tempat duduknya di seberang Cantika.

Ayahnya menurunkan korannya dan menatap Lara dengan mata tajam. "Kenapa kemarin kamu tiba-tiba pergi dari pesta, Lara? Semua orang bertanya-tanya."

Lara menarik napas, berusaha menjawab tanpa menimbulkan kecurigaan. "Maaf, Ayah. Aku merasa kurang nyaman, dan saat itu aku mendengar Paman Jeri kurang sehat, jadi aku ingin memastikan kabarnya," katanya sambil menundukkan pandangannya ke piring.

Tuan Darma mengangguk pelan, ekspresi khawatir di wajahnya sedikit memudar. "Paman Jeri, tapi hari ini dia bisa berangkat kekantor tidak ya," gumamnya, sebelum kembali memusatkan perhatian pada sarapannya.

Namun, Vina mengambil alih pembicaraan, tatapannya melayang ke Cantika dengan senyum menggoda. "Ngomong-ngomong tentang pesta, Cantika, semua orang tak berhenti membicarakan kamu dan Leon. Kalian berdua tiba bersama dan kelihatan sangat serasi."

Cantika tersenyum malu-malu, meletakkan ponselnya. "Ayah, Ibu, kita hanya teman. Leon kebetulan menawarkan untuk pergi bersama karena dia juga diundang," jawabnya dengan nada ceria namun wajahnya sedikit memerah.

Tuan Darma tersenyum, sorot matanya penuh pengharapan. "Leon itu pemuda yang cerdas dan berbakat. Aku selalu melihat masa depan yang cerah untuknya."

Vina menimpali dengan tawa kecil, "Benar sekali. Jika hubungan kalian lebih dari sekadar teman, itu kabar baik. Dia bisa menjadi partner yang baik, Cantika."

Lara merasakan dadanya berdebar saat mendengar percakapan itu. Suara mereka seperti gema yang menyakitkan, menggoyahkan hatinya. Namun, dia meneguhkan diri, menyesap kopi dengan tenang sambil menyembunyikan kerisauan di balik wajahnya yang datar.

Namun, pikirannya tak bisa berhenti mengembara. Ingatannya melayang ke pesta kemarin, saat Leon dengan pesonanya yang memukau menjadi pusat perhatian. Senyum ramahnya, cara ia berbicara, dan sikapnya yang hangat membuat semua orang terpesona, termasuk dirinya. Tapi bayangan itu seketika berubah menjadi wajah Leon yang penuh amarah dan kekecewaan. Perkataan Cantika, yang tak menyadari bahwa Leon mendengarnya telah melukai harga diri dan hatinya.

Lara menelan ludah. Semua itu masih begitu jelas di kepalanya.

Tiba-tiba pintu depan terbuka, suara langkah kaki bergema di koridor, dan suara Vina yang menyapa terdengar dari kejauhan. Lara mengangkat pandangannya, dan detak jantungnya seolah berhenti. Di ambang pintu, Leon berdiri dengan elegan, mengenakan setelan kasual yang membuatnya semakin tampan. Mata mereka bertemu sejenak, senyum Leon yang hangat dan bersahaja terpancar seperti kilat yang menyambar hati Lara.

"Selamat pagi," sapa Leon dengan nada ramah, tatapannya yang dalam menghujam tepat ke arah Lara.

Lara terdiam, sekujur tubuhnya menegang.

Vina langsung menyambutnya dengan senyum lebar. "Leon, selamat pagi! Sini masuk, duduk nak, Bergabunglah sebentar sebelum kalian berangkat," katanya sambil melirik Cantika, yang terlihat semakin sumringah dengan kehadiran pria itu.

Cantika mengangguk kecil, matanya berbinar. "Ayo, Kak Leon, duduk dulu. Kopi pagi ini enak sekali," ujarnya sambil memberikan kursi kosong di sampingnya.

Namun, Leon hanya melirik sekilas, pandangannya langsung mencari Lara yang duduk di seberang Cantika

Lara tersentak saat mata Leon menatapnya lekat. Leon berjalan lurus ke arahnya tanpa ragu.

"Lara," panggil Leon, suaranya berat namun tegas. "Aku duduk di sini."

Lara menatapnya bingung. "Leon... i..iya?" jawab lara, tangannya meremas cangkir kopinya.

Leon duduk di kursi di sampingnya, tidak memedulikan Cantika yang menatap mereka dengan mata membelalak. Begitu juga Pa Darma dan Vina Ibu Cantika.

"Bagaimana pesta semalam, Leon?" tanya Tuan Darma, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tegang. "Aku dengar kamu menjadi pusat perhatian bersama Cantika."

Leon tersenyum kecil, menatap Tuan Darma dengan sopan. "Ah, pesta itu luar biasa, Pak. Monic terlihat sangat bahagia, dan semua tamu tampak menikmati suasana."

Vina menyahut dengan tawa lembut. "Tentu saja, apalagi dengan kehadiranmu, Leon. Kamu memang selalu membawa aura positif."

Suasana di ruang makan keluarga Ariatama terasa hangat, diiringi suara ceria Cantika dan Tante Vina yang memuji Leon atas kehadirannya di pesta pernikahan Monic kemarin. Namun, Lara hanya duduk diam, matanya sesekali melirik Leon yang terlihat tenang meski aura di sekitarnya terasa berbeda.

Leon akhirnya meletakkan sendoknya, menegakkan punggung, dan menatap semua orang di ruangan itu.

"Pak Darma, Tante Vina, izin bicara sebentar," Leon membuka percakapan dengan nada tegas namun sopan.

Tante Vina tersenyum hangat. "Tentu, Leon. Ada apa? Jangan terlalu formal begitu. Kamu sudah seperti keluarga sendiri."

Leon mengangguk kecil. "Terima kasih, Tante. Sebelum saya melanjutkan, izinkan saya untuk mengucapkan rasa terima kasih saya. Selama ini, saya sudah diterima dengan sangat baik di rumah ini. Saya benar-benar menghargai kesempatan untuk berteman dengan Lara dan Cantika."

Lara tertegun, merasakan kegelisahan mulai merayapi hatinya. Leon terlihat terlalu serius pagi ini. Apa yang ingin dia katakan?

Leon menghela napas, pandangannya menyapu seluruh ruangan. "Namun, hari ini saya ingin membahas sesuatu yang sangat penting bagi saya."

Pak Darma yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang akhirnya berbicara. "Silakan, Leon. Saya sudah mengenal kamu cukup lama, bahkan sebelum kamu akrab dengan anak-anak saya. Jika ini penting, katakan saja."

Leon menatap Pak Darma dengan penuh penghormatan. "Terima kasih, Pak. Begini, selama beberapa minggu terakhir, saya telah menjalin kedekatan pribadi dengan salah satu putri Bapak."

Cantika mengangkat alis, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Lara, di sisi lain, membeku di tempatnya, perasaan tak menentu memenuhi dadanya.

"Awalnya, hubungan ini murni profesional. Kami bekerja dalam satu tim di kantor. Tapi seiring waktu, saya mulai mengenal dia lebih dalam, dan saya merasa... saya serius dengan perasaan saya," lanjut Leon, nadanya tegas.

Pak Darma mengangguk, memberikan isyarat agar Leon melanjutkan.

Leon menarik napas panjang, menatap Lara langsung dengan mata penuh keteguhan. "Saya berniat untuk menikahi Lara."

Seisi ruangan mendadak sunyi. Cantika menoleh cepat ke arah Lara, ekspresi bingung tercetak jelas di wajahnya.

"Lara?" gumam Cantika, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Lara merasa tubuhnya kaku. Matanya melebar, menatap Leon tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Semua ini terasa seperti mimpi yang aneh.

Pak Darma akhirnya memecah keheningan. "Leon, ini pengakuan yang besar. Kamu yakin dengan keputusanmu?"

"Sangat yakin, Pak," jawab Leon mantap dan berdiri. "Namun, dengan segala hormat, saya tidak ingin melangkahi batasan. Keputusan ini tidak hanya ada di tangan saya. Saya menyerahkan semuanya kepada Lara, juga kepada Pak Darma dan Tante Vina sebagai orang tuanya."

Namun, Lara tetap diam, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Di dalam hatinya, perasaan bercampur aduk, pria yang selama ini dia kagumi, dia cintai dan ikuti diam-diam, Pria yang dia ketahui rahasia kemalangan masalalu nya karena keluarganya sendiri, Pria yang selama ini dia lihat perjuangannya untuk mengejar adik tirinya, tiba-tiba berkata ingin menikahinya, perasaannya bercampur antara cinta, kebingungan, dan rasa bersalah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rafflesia Life

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku