Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Kehidupan Hana dan Arya tampak begitu sempurna. Setiap pagi, Hana menyiapkan sarapan di dapur yang dipenuhi aroma kopi dan roti panggang. Arya duduk di meja makan, tersenyum sambil membaca koran atau mengecek berita dari ponselnya. Pagi mereka selalu hangat, penuh canda tawa, dan semua orang di sekitar mereka menganggap keluarga kecil ini sebagai pasangan ideal.
Namun, belakangan ini Hana mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Arya, yang biasanya sangat perhatian, kini sering tampak larut dalam pikirannya sendiri. Dia sering pulang terlambat, beralasan pekerjaan yang semakin sibuk, atau proyek besar yang butuh perhatian ekstra.
Suatu pagi, saat Hana menyuguhkan kopi seperti biasa, Arya terlihat kurang antusias.
"Kopi hitam, tanpa gula. Seperti biasa, Pak Arya yang sibuk," Hana mencoba menggoda, berharap bisa mencairkan suasana.
Arya tersenyum singkat, namun tidak seperti biasanya. Senyumnya terlihat samar, dan ia lebih banyak menunduk pada layar ponselnya.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya singkat sambil menyeruput kopi.
Hana memandangnya lekat-lekat, merasa ada yang ganjil. Tapi ia menahan diri, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ini hanya lelah biasa. Namun, instingnya berkata lain.
"Kamu baik-baik saja, Arya?" Hana akhirnya memberanikan diri bertanya. "Akhir-akhir ini kamu terlihat... berbeda."
Arya menghela napas, menatap Hana sejenak sebelum kembali fokus ke ponselnya. "Hanya kerjaan, Han. Ada proyek baru yang cukup bikin kepala pening."
Hana mencoba tersenyum dan mengangguk. Tapi perasaan aneh itu tak hilang, malah semakin besar. Arya biasanya suka bercerita tentang pekerjaannya, detail kecil yang ia tak sabar untuk bagi pada Hana. Tapi sekarang, jawaban Arya terasa menghindar, seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Beberapa hari kemudian, rasa gelisah Hana semakin menjadi. Saat dia merapikan pakaian Arya di lemari, ia melihat dasi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, dengan motif yang lebih mencolok dari pilihan Arya biasanya.
"Mungkin aku yang lupa atau mungkin ini hadiah dari seseorang?" pikirnya dalam hati. Tapi, rasa penasaran itu terus mengusiknya.
Sore itu, Hana memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Rina, di sebuah kafe dekat kantor Rina. Rina sudah mengenal Hana sejak lama, dan selalu menjadi tempat Hana curhat.
"Aku tahu mungkin ini hanya perasaanku, Rin," ujar Hana, sambil menyesap teh hangatnya. "Tapi aku merasa Arya berubah. Dia makin sering pulang telat, sering lihat-lihat ponsel, dan... entahlah. Aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan."
Rina mengerutkan dahi, mencoba menenangkan sahabatnya. "Mungkin kamu hanya terlalu khawatir, Han. Arya memang lagi sibuk banget kan? Kalau dia nggak pulang malam, itu malah aneh."
Hana tertawa kecil, tetapi tak sepenuhnya terhibur. "Iya sih, tapi kali ini beda, Rin. Bukan cuma soal pulang telat. Dia jadi tertutup. Aku coba nanya, dia cuma bilang soal proyek baru dan nggak mau cerita lebih."
Rina menatap Hana dengan cermat, lalu menggenggam tangannya. "Han, kamu tahu, komunikasi itu kuncinya. Kalau kamu merasa ada yang nggak beres, kamu bisa coba bicara lagi sama Arya. Tapi... pelan-pelan, ya?"
Hana mengangguk pelan. "Mungkin aku terlalu paranoid, ya?"
Malamnya, Hana menunggu Arya pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan belum ada kabar dari Arya. Perasaannya mulai tidak menentu. Setelah dua jam berlalu, Arya akhirnya tiba di rumah, terlihat lelah dan sedikit terkejut melihat Hana yang masih terjaga.
"Kenapa belum tidur?" tanya Arya, menaruh tas kerjanya di sofa.
Hana mencoba tersenyum, meski terasa getir. "Aku nunggu kamu. Kamu baik-baik aja, kan?"
Arya tersenyum kecil, dan menepuk pundaknya. "Iya, tentu saja. Jangan khawatir, Han. Semua baik-baik saja."
Namun, Hana tahu sesuatu tidak seperti biasanya. Meskipun ia ingin memercayai kata-kata Arya, bayang-bayang ketidakpastian terus menghantuinya. Di balik senyum manis dan kata-kata hangat, ada kabut yang semakin tebal menyelimuti kebahagiaan mereka.
Hana berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Ia mencoba mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalanya. Namun, malam itu, ia tak bisa memejamkan mata. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia abaikan, seakan nalurinya mencoba memperingatkan sesuatu.
Pagi harinya, saat sarapan, suasana kembali terasa canggung. Arya tampak lebih banyak terdiam dan hanya sesekali melempar senyum seadanya. Hana mencoba bersikap biasa, tapi kegelisahannya terus meningkat. Di tengah suasana yang aneh itu, Hana tiba-tiba teringat sebuah acara pernikahan akhir pekan nanti.
"Arya, minggu ini kita kan diundang ke pernikahan Rina. Kamu masih ingat, kan?" Hana mencoba memulai percakapan dengan santai.
Arya terlihat terkejut sejenak, lalu tersenyum tipis. "Oh, iya... iya, aku ingat kok. Kamu mau pakai baju apa nanti?"
"Entahlah, mungkin gaun biru yang waktu itu kamu bilang bagus," jawab Hana sambil tersenyum. "Kita jarang pergi ke acara bareng, jadi aku mau tampil cantik untuk kamu."
Arya tersenyum kecil, tapi sorot matanya tak sepenuhnya menunjukkan antusiasme. Hana mengamati ekspresi suaminya yang tampak canggung, tapi ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya lebih jauh.
"Bagus, pasti kamu bakal terlihat cantik, Han," jawab Arya singkat sebelum kembali fokus pada sarapannya.
Hana mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan berusaha menikmati sarapan mereka. Setelah beberapa saat, Arya pamit untuk berangkat kerja. Seperti biasa, Hana mengantarnya ke depan pintu.
"Hati-hati di jalan ya," ujar Hana sambil tersenyum dan mencium pipinya.
Arya hanya mengangguk dan tersenyum singkat. "Kamu juga, jaga diri baik-baik."
Saat Arya keluar rumah, Hana masih berdiri di ambang pintu, menatap kepergian suaminya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin sekali percaya bahwa semua baik-baik saja, namun di sisi lain, hatinya dipenuhi rasa curiga yang tak kunjung hilang.
Selama beberapa hari berikutnya, Arya semakin sering pulang larut malam. Alasan yang diberikan selalu sama: pekerjaan yang menumpuk, klien yang butuh perhatian ekstra, atau rapat yang harus dihadiri. Hana berusaha menerima dan mencoba berpikir positif, tetapi pikirannya terus dihantui tanda-tanda yang terasa janggal.
Suatu malam, setelah Arya tertidur, Hana duduk di ruang tamu sendirian. Hatinya resah, pikirannya berlarian ke segala arah. Ia akhirnya memutuskan untuk memeriksa ponsel Arya. Ini bukan kebiasaannya, tapi kali ini, rasa penasarannya tak tertahankan. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan-pesan yang ada di ponsel itu.
Di antara pesan-pesan dari rekan kerja dan teman-teman, ada satu nama yang terus muncul-Mira. Hana tidak begitu mengenal Mira, tapi dia tahu bahwa Mira adalah rekan kerja baru Arya di kantornya.
Pesan-pesan yang tertulis tampak cukup formal, tetapi Hana merasa ada sesuatu yang aneh dengan frekuensi pesan-pesan itu. Setiap kali ada pembahasan tentang lembur atau rapat larut malam, Mira selalu ada di sana.
Tiba-tiba, Hana mendengar langkah kaki Arya dari kamar. Cepat-cepat, ia mengunci ponsel Arya dan meletakkannya kembali di meja samping sofa. Arya mengintip dari pintu kamar, mengusap wajahnya yang tampak lelah.
"Han, kok belum tidur?" tanyanya, suaranya sedikit serak.
Hana tersenyum tipis dan berusaha tampak tenang. "Nggak apa-apa, tadi aku sulit tidur. Lagi kepikiran aja, mungkin kebanyakan minum kopi sore tadi."
Arya mengangguk, seakan menerima jawaban itu tanpa curiga. "Jangan kebanyakan kopi, nanti susah tidur terus," ujarnya sambil kembali masuk ke kamar.
Hana hanya menatap punggungnya, mencoba menekan perasaan gelisah yang terus menghantui. Malam itu, ia tertidur dengan hati yang kacau dan penuh tanda tanya.
Keesokan harinya, Hana pergi menemui Rina. Dia sudah tak sanggup menahan semua ini sendiri dan butuh seseorang untuk berbicara.
"Aku sudah nggak tahu harus gimana lagi, Rin," kata Hana dengan suara serak. "Aku nggak pernah curiga sama Arya sebelumnya, tapi... akhir-akhir ini, ada hal-hal yang bikin aku nggak tenang."
Rina menghela napas dalam dan menggenggam tangan Hana. "Kamu tahu, Han, nggak ada yang salah dengan merasa seperti itu. Kadang, intuisi kita memang lebih peka. Tapi, kamu harus hati-hati juga. Jangan sampai rasa curiga ini menghancurkan kamu sendiri."
Hana menunduk, mencoba menahan air matanya. "Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya, Rin. Aku lelah dengan perasaan ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat salah di antara kami."
Rina mengusap bahu Hana lembut. "Kalau memang kamu merasa harus tahu, mungkin kamu bisa bicara langsung sama Arya. Tapi pilih waktu yang tepat. Jangan sampai dia merasa terpojok atau curiga balik."
Hana mengangguk perlahan, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Rina. Namun, rasa gelisahnya tetap ada, mengakar kuat di dalam hati. Di balik kebahagiaan yang selama ini ia pertahankan, kini muncul kabut ketidakpastian yang menyesakkan. Dan di lubuk hatinya, Hana tahu bahwa ada sesuatu yang harus ia temukan, tak peduli seberapa menyakitkan kebenaran itu.
Bersambung...
Bab 1 Kebahagiaan yang Tertutup Kabut
08/11/2024
Bab 2 Tanda-tanda yang Tersembunyi
08/11/2024
Bab 3 Kegelisahan yang tak terbendung
08/11/2024
Bab 4 Penyelidikan Diam - diam
08/11/2024
Bab 5 Kenangan yang Kembali
08/11/2024
Bab 6 Sang Bayangan
08/11/2024
Bab 7 Pertemuan Tak Terduga
08/11/2024
Bab 8 Menguak Kebohongan
08/11/2024
Bab 9 Percikan Kemarahan
08/11/2024
Bab 10 Kebenaran yang Lebih Gelap
08/11/2024
Bab 11 Jejak yang Terkubur
13/11/2024
Bab 12 Teman dalam Bahaya
13/11/2024
Bab 13 Ancaman dalam Bayangan
13/11/2024
Bab 14 Di Balik Topeng Mira
13/11/2024
Bab 15 Puncak Kebingungan
13/11/2024
Bab 16 Luka Lama Terungkap
13/11/2024
Bab 17 Perangkap yang Terpasang
13/11/2024
Bab 18 Langkah Terakhir
13/11/2024
Bab 19 Konfrontasi Mematikan
13/11/2024
Bab 20 Harga dari Sebuah Kebahagiaan
13/11/2024
Buku lain oleh ELESER
Selebihnya