"Pernikahan ini tak pernah kuinginkan, tapi apakah hatiku juga akan berubah?" Rila tak pernah membayangkan hidupnya berubah drastis setelah perjodohan mendadaknya dengan Arga, saingan terberatnya di sekolah sekaligus ketua OSIS yang dingin dan arogan. Di balik wajah tampannya, Arga menyimpan kebencian yang Rila tak pernah mengerti. Bagaimana mungkin ia harus menjadi istri pria yang selalu ingin mengalahkannya? Di tengah pertarungan akademik, cinta segitiga, dan rahasia masa lalu, Rila harus mencari cara untuk bertahan. Namun, apa jadinya jika kebencian perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih manis? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah persaingan?
"Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.
Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.
Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani. Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami.
"Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.
Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.
Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, dalam keadaan baik maupun buruk, dalam keadaan sehat maupun sakit, dan siap menjalani kehidupan bersama?"
Aku mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Dengan napas tertahan, aku berusaha berbicara dengan percaya diri, meski suaraku terasa pecah.
"Saya terima."
Begitulah, dengan satu kata yang membuat hatiku bergetar, aku telah mengikatkan hidupku dengan seseorang yang tidak pernah kuinginkan, di depan semua orang yang kami kenal. Sementara tamu-tamu mulai bersorak dan memberikan ucapan selamat, aku merasa seperti tersesat di tengah-tengah kemeriahan ini.
Setelah acara ijab qabul, kami menuju ruang makan di mana makanan dan minuman sudah siap. Aku mencoba mencari tempat duduk yang nyaman, tetapi setiap kali aku menghadap ke arah Arga, dia tampaknya sibuk dengan berbagai urusan. Berbicara dengan tamu, menerima ucapan selamat, dan sebagainya.
Arga akhirnya datang menghampiriku, memintaku untuk duduk di meja pengantin yang telah disediakan. Dia duduk di sebelahku dengan sikap tenang, tapi tetap menjaga jarak. Makanan mulai disajikan, tetapi aku tidak bisa menghilangkan rasa cemas dan ketidaknyamanan yang menyelimutiku.
"Rila, maukah kamu berbicara sebentar?" Arga tiba-tiba bertanya, memecah keheningan di antara kami. Suaranya tetap tidak menunjukkan emosi, tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuatku merasa penasaran dan sedikit tertekan.
Aku mengangguk, mengajaknya menuju sudut ruangan yang agak sepi. "Ada apa?" tanyaku dengan nada hati-hati.
Arga menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku tahu ini mungkin bukan yang kamu inginkan, dan aku juga tidak terlalu senang dengan situasi ini. Tapi mari kita coba membuat yang terbaik dari apa yang ada."
Aku menatapnya, mencari makna di balik kata-katanya. "Kamu juga tidak senang dengan ini, kan?" tanyaku, mencoba mencari kejujuran di balik sikapnya yang dingin.
Arga mengangguk perlahan. "Tidak ada yang benar-benar senang dengan perjodohan ini, tapi kita harus menjalani ini dengan cara yang baik. Setidaknya, kita bisa mencoba untuk memahami satu sama lain."
Aku merasakan getaran aneh di dalam hati. Meskipun kata-kata Arga terdengar tidak emosional, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa ada lebih dari sekadar ketidaksetujuan di sini.
Aku mencoba tersenyum. "Baiklah, mari kita coba."
Di balik kesan dingin Arga dan ketidaknyamananku, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Entah itu perasaan yang tidak bisa kujelaskan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik.
Sementara itu, hujan terus turun di luar, memecah kesunyian yang mengisi kamar pengantin kami. Lampu redup menyinari ruangan yang didekorasi dengan lembut, namun suasana terasa dingin dan asing bagiku. Aku berdiri di depan cermin, menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Aku bisa mendengar langkah kaki Arga mendekat dari arah pintu. Dalam sekejap, dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan ekspresi wajah yang tetap dingin seperti biasanya. Dia mengenakan piyama yang nyaman, berbeda jauh dari penampilannya di pesta tadi siang.
"Kita sudah sampai di sini," katanya, suaranya datar, tapi ada nada lelah di dalamnya. Dia berjalan menuju tempat tidur, kemudian duduk di tepi ranjang.
Aku mengangguk pelan, tidak tahu harus berbuat apa. "Ya, kita sudah sampai di sini," jawabku, suaraku hampir seperti bisikan.
Aku melangkah mendekati ranjang, namun rasa canggung membuatku berhenti di tengah jalan. Arga menatapku sekilas sebelum mengambil bantal dan meletakkannya di tengah ranjang, lalu dia duduk di sisi lainnya.
"Kita mungkin harus membuat kesepakatan tentang malam ini," katanya, terlihat lebih seperti berbicara dengan rekan kerja daripada seorang suami.
Aku mengerutkan kening, merasa bingung. "Kesepakatan tentang apa?"
"Untuk malam ini, kita bisa tidur terpisah jika itu membuat kita lebih nyaman. Kita berdua butuh waktu untuk beradaptasi," jelas Arga, suaranya tetap datar dan tanpa emosi.
Aku menghela napas lega, merasa sedikit tenang. "Itu mungkin ide yang baik. Aku juga merasa agak canggung dengan situasi ini."
Dia mengangguk dan berbaring di sisi ranjangnya, sementara aku duduk di tepi ranjang yang kosong, berusaha mencari posisi yang nyaman. Meskipun perasaanku masih cemas, aku bisa merasakan sedikit kelegaan karena tidak harus langsung berhadapan dengan ketidaknyamanan malam pertama ini.
Sejenak keheningan menyelimuti kami, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur. Aku mencoba memikirkan cara untuk mengalihkan pikiranku dari situasi yang tidak nyaman ini, namun pikiranku selalu kembali pada betapa asingnya semuanya.
"Arga!" teriakku, sontak memeluknya saat lampu tiba-tiba mati.
Arga tampak terkejut sesaat, namun dengan tenang dia menepuk punggungku pelan, mencoba menenangkan. "Tenang, Rila. Itu cuma mati lampu. Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Aku melepaskan pelukanku, merasa canggung dengan tindakanku yang spontan. "Maaf, aku cuma terkejut," ucapku pelan, masih merasakan jantungku berdegup kencang.
Arga bangkit dari tempat tidur, meraba dinding untuk menemukan saklar atau lilin yang mungkin disediakan. "Aku akan mencari senter atau lilin. Tetap di sini."
Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatku dalam kegelapan. Suara langkah kakinya terdengar menjauh, sementara aku duduk kembali di tepi ranjang, berusaha menenangkan diriku.
Hujan di luar semakin deras, dan suara gemuruhnya seakan mempertegas suasana hati yang gelisah. Di balik keheningan malam dan kegelapan ini, aku merenungi betapa jauh hidupku telah berubah dalam waktu singkat. Terjebak dalam pernikahan yang dipaksakan, dengan seorang pria yang hampir tak kukenal, rasanya hidupku berjalan ke arah yang tidak pernah kubayangkan.
Tak lama kemudian, Arga kembali dengan lilin kecil yang menyala di tangannya. Cahayanya yang redup memberikan sedikit penerangan pada kamar yang tadinya gelap gulita. Dia menempatkan lilin itu di atas meja dekat jendela, lalu kembali duduk di tempat tidurnya, menatap ke arahku.
"Apa kamu baik-baik saja sekarang?" tanyanya, lebih lembut dari sebelumnya.
Aku hanya mengangguk, tidak yakin harus menjawab apa. Kegelapan yang barusan terasa seperti metafora dari pernikahan kami. Semua terasa tidak pasti, tidak diketahui apa yang akan terjadi di masa depan.
Apakah kami akan melakukan hubungan suami istri?
Buku lain oleh Nenghally
Selebihnya