SUAMIKU SAINGANKU
di sofa dan mencoba mengal
ataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau min
dikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sif
ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapka
di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi mengh
nta maaf soal Arga. Aku
tahu Arga anak yang sulit. Tapi ibu percaya, dengan waktu, semuanya bisa berubah." Dia m
ti masih penuh keraguan. Mampukah
rtanyaan yang begitu menikam, memb
aya? Hidupmu begitu terjamin ya, Rila, s
mengalir sesaat. Kata-katanya menusuk
ku
pura? Orang tuamu itu punya banyak hutang! Arga yang menanggung semu
soal hutang orang tuaku. Dan aku juga tidak pernah meminta Arga untuk menanggu
amu harus sadar diri, Rila. Hidup bersama Arga bukan
auh dari kesempurnaan, bahkan hubungan ini terasa seperti beban yang ter
nangan. "Aku tidak seperti itu, Bu. Aku tidak ptidak sepenuhnya lembut. "Waktu yang akan menunjukkan apakah kam
cemas yang semakin dalam. Saat ibu Arga melontarkan kata-kata ya
uk
anak tangga, wajahnya penuh dengan ketegasan. Ia menuruni tang
amplop di hadapan ibunya. "Kau bisa per
wajah Arga. "Apa maksudmu, Arga?" nada suaranya mulai m
sekarang, kau tak perlu menghina dia l
uar dari bibirnya. Matanya seakan memanca
gin kau sadar siapa
hidupku, bukan milikmu," potong Arga
an Arga yang tak terduga. Sebelumnya, aku selalu berpikir dia tak peduli, bahkan
pit menatap Arga, lalu beralih padaku dengan pandangan penuh am
a, aku merasa ruangan ini seolah ba
bahunya tegang. "Arga... kamu nggak harus melakuka
ingin menjawab, "Bukan untukmu. Aku melak
adar bahwa mungkin, pembelaannya tadi bukan tentang
harusnya kasar pada ibumu," kat
n yang lebih dalam. Dia mendekat dengan langkah cepa
namun menusuk. "Ibu mana yang
ata. Napas Arga memburu, kemarah
a-apa," lanjutnya, suaranya penuh kepedihan yang
luka yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sikap dinginnya selama ini ternyata lebi
ujarku pelan, berusaha
menatapku penuh pertanyaan. Sepertinya d
meski kemarahan itu masih tersisa. "Kamu bahkan tidak
ar. "Aku tidak bermaksud meny
nyanya, terdeng
meskipun situasinya sulit," kataku dengan tulus. "A
dihan yang tak dapat ditutupi. "Mendukung? Dala
arang. Kita bisa menjalani ini ber
ku, dan seolah ada dinding ya
nyentuh bahuku dengan lembut. "Tap
," ujarku, hara
ya yang penuh keraguan. Dalam detik-detik yang ter
irku, seolah itu menjadi
t. Bibirku menyentuh bibirnya, lembut dan penuh harapan. Awalnya,
yaman dan hangat yang mengalir di antara kami. "Ini buk
lindungan di antara kami. Dia mengecupku kembali, kali ini lebih dalam
dalam hati, menyadari bahwa mungkin, dengan langkah ini, kami b
ni bersama," batinku, saat ka