SUAMIKU SAINGANKU
i dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya
di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa b
memindahkan aku ke sini? Padahal me
dan melirik jam tangan.
m tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berl
terjatuh dengan keras ke lantai, map berisi surat-suratku berhamburan.
eorang perempuan yang jelas-j
uasan di wajahnya, bersama dua temannya yang ikut tertawa. Salah s
an, pakai mata! Ja
, geng berkuasa yang sudah kudengar dari Yuni, tetanggaku. Katan
ya yang selalu menjadi pusat perhatian, ia juga dikenal karena sifatnya yang kejam. Di sampingnya berdiri Siska, ta
, berniat cepat-cepat pergi. Namun saat aku hendak
uekin kita!" bentakn
u," gumamku, mencoba
apa gue?" Ericka mendekat, menarik daguku k
ap tenang, "tapi berhati setan!
sung mengangkat tanga
pindahan gak
epat. Mataku tertutup rapat, sudah siap
h Siska dan Dinda, kini terasa bebas. Perlahan, ak
k terlalu besar. Tangannya menahan tangan Ericka yang hampir mengenai wa
anya singkat, t
Dengan enggan, dia menarik tangannya dan mengajak kedua temannya pergi tanpa
" ucapku pelan
anku, dia berbalik dan pergi begitu saja, seakan aku tidak penting. Aku terdiam d
u, dan melanjutkan langkahku menuju ruang kelas.
ius dan dingin. Siapa sangka, dia akan menjadi sainganku di
suara terkejut Agra memban
i buruk dalam tidurku. Namun kenyataannya, ini ada
cauan. Alarm pagi membangunkan kami dari tidur yang nyenyak, dan aku langsung merasakan ketegang
dah berada di sana. Kami saling bertatap muka melalui kaca pintu kamar mandi yang tertutup, dan t
nik dari luar kamar mandi, su
kamar mandi. Ia keluar dengan rambut basah yang masih menetes, mengenak
anya, nadanya terdengar sediki
gan kecepatan kilat. Di luar, terdengar langkah-langkah kaki Arga yang mondar-mandir di kamar. Set
rama pagi ini," suara Arga dari balik pin
eskipun hanya seteguk susu putih. Arga sudah ada di sana, berdiri sambil mengunyah roti bakar dengan ekspresi serius di wa
kali ini suaranya lebih tenang, tapi jel
usu dingin. Kami makan dalam diam, dan suasana terasa tegang, seperti ada banyak hal yang belum terucap
rlari ke mobil. Suara langkah kami di trotoar bergema dalam kehen
akan berpisah sebelum sampai di gerbang sekolah. Jangan sa
acam apa
n jari telunjuknya di bibirku. "Buka