Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Menerima segala hal yang mengganggumu tanpa merasa diusik adalah salah satu cara untuk bebas dari masalah.
*
Sekarang pukul 22:45, kampus masih ribut. Ribut dengan beberapa kelompok mahasiswa yang menikmati waktu tenangnya. Ada sebagian yang putar musik dengan speaker yang sangat kencang, ada sebagian yang teriak-teriak, ada juga dua tiga orang yang baru keluar dari masjid.
Salah satu waktu yang tenang bagi mahasiswa adalah di malam hari dan di hari libur. Selebihnya waktu yang menyebalkan, waktu yang membosankan, dan waktu yang mengerikan. Akan ada titik tertentu bagi mahasiswa akan merasakan hal ini, kapan merasa tenang dan kapan merasa tertekan. Jadi, kalau misal ada sebagian mahasiwa yang biasa ribut-ribut di depan masjid, aku sama sekali tidak menegur, semasih bukan waktu salat. Aku bebaskan mereka melampiaskan semua capek dan lelahnya kuliah dan menghadapi tugas akhir.
Sebelum hendak ingin tidur, aku keluar mengambil air wudhu. Sangat jelas, betapa ributnya suasana yang terdengar dari luar teras masjid ini. Teriak, nyanyian, serta sorak-sorak bercampur aduk. Polosnya aku waktu itu, pikirku dunia kampus hal yang menarik, bebas mau lakuin apa aja dalam kampus yang penting bisa menghargai orang lain, pakal celana dan baju kemeja yang rapi, jalan berlagak kayak orang-orang hebat. Tetapi, setelah merasakannya, ternyata aku sepolos itu. Nyatanya sangat-sangat bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan.
Namun, aku selalu percaya satu hal, bahwa di setiap tempat tidak akan mungkin hanya ada sesuatu yang buruk. Akan ada saja cara Tuhan untuk mengadakan sesuatu yang baik untuk membuatnya seimbang. Meskipun sesuatu yang buruk lebih dominan. Seperti halnya dalam sebuah keluarga, akan ada saja beberapa anak yang suka bikin masalah, sifatnya buruk, sehingga memperburuk pikiran orang tua, tetapi di sisi lain, pasti ada satu anak yang berperan menjadi air, penenang, dan kebahagiaan di keluarga tersebut.
Begitu juga di setiap tempat yang kita temukan, di sekolah, rumah sakit, maupun di kampus ini, aku sangat percaya, meskipun banyak yang sudah aku lihat hal-hal yang buruk, tetapi yang baik itu ada, meskipun setitik yang sangat kecil.
Setelah siap mengambil air wudhu, aku akan mengunci semua pintu masjid. Dua pintu masuk khusus untuk laki-laki sudah terkunci semua. Sekarang aku melangkah ke saf akhwat. Aku menarik pintu tersebut agar rapat dan bisa dikunci, tetapi seperti ada yang tahan dari luar.
"Kak! Kak!"
Tiba-tiba ada suara perempuan dengan sedikit berbisik.
Aku membuka kembali pintu itu, hingga terbuka lebar.
"Eh, maaf, mau salat?" tanyaku sembari menjaga jarak darinya karena teringat dengan wudhuku yang belum batal.
"Gak, Kak," jawab perempuan itu terengah-engah. "A-aku hanya ingin masuk di masjid."
Aku tidak heran dengan beberapa perempuan yang sampai malam di kampus, tetapi kali ini aku baru ketemu dengan perempuan yang hampir jam 11 malam ingin masuk ke dalam masjid.
"Gak pp, kunci aja pintunya, Kak." pintanya.
"Eh, tapi kamu tidak nginap di sini, kan?"
"Tidak, Kak. Sebentar aja, nanti aku keluar lagi. Di luar ada senior yang lagi kejar aku soalnya. Aku rasa masjid tempat yang aman untuk sembunyi."
" Senior? Dikejar? Kamu maling, ya?"
"Astaga. Ih, Kak. Banyak nanya, nanti orang itu keburu datang."
Aku mengangguk paham dan mencoba berpikir normal dengan situasi kampus, dimana sebagian. senior-senior sering menyuruh juniornya untuk datang di kampus bahkan sampai malam hanya untuk ngobrol dan bahas yang tidak penting. Tapi ini perempuan, apa mereka setega itu? Ah, sungguh tidak becus.
Aku merapatkan kembali pintu tersebut, lalu menguncinya. Karena tidak tega melihat wajah ketakutan perempuan di depanku ini.
"Kak!"
"Eh, eh." Aku menghindar, refleks melangkah mundur setelah melihat tangan perempuan itu ingin memegang tanganku.
"Aku sudah wudhu tadi."
"Ih, maaf banget Kak. Aku tidak tahu."
Terlihat perempuan itu mengerutkan dahinya, ia dengan merasa bersalah mengurungkan tangannya kembli.
"Kakak bisa tinggal di sini bentar gak? Aku takut banget soalnya."
"Kenapa?" tanyaku tegas.
"Allahu, cobaan apa lagi ini, Tuhan? Mana mungkin aku berduaan sama perempuan di masjid?" kata hatiku yang tak bersuara.
"A-aku di saf laki-laki aja. Aman kok. Pintunya sudah aku kunci semua." Kali ini aku yang terbata-bata plus keringat dingin.
"Tapi Kak, dia pasti mengintip aku dari luar, secara masjid ini sangat terbuka meskipun pintu-pintu sudah terkunci semua."
Aku semakin panik.
Betul juga apa yang dikatakan oleh perempuan ini, meskipun pintunya terkunci, tetapi orang dari luar masih bisa melihat kami di dalam, karena konsep temboknya memakai interior yang berlubang-lubang. Hanya bagian pintu saja yang tertutup. Tembok samping kiri kanan belakang semua dipasangi interior yang berlubang-lubang.
Aku dengan cepat memikirkan alasan yang lain.
"Oh iya. Gimana kalau aku matiin semua lampunya?"
"Kak, plliss. Senior aku bukan orang yang bodoh. Dia pasti pake senter Hp kalau kondisinya gelap."
"Ya udah, tunggu sini. Aku mau matiin lampu dulu bentar, agar teman-teman aku tidak keluar lagi ngecek pintu. Kalau mereka tahu kita berduaan di sini, aku bisa dikeluarin dari masjid ini. Bukan hanya di masjid, tapi mungkin langsung di DO sama dosen-dosen."
Perempuan itu hanya mengangguk patuh.
Setelah semuanya aman, aku kembali ke saf perempuan. Dalam hati kecilku, kasian juga sama perempuan ini. Mungkin dia dalam keadaan tertekan, terlihat dari raut wajah yang sangat panik dan keringatnya yang bercucuran.
"Lah, tuh anak ke mana?" Netraku tidak bisa menangkap keberadaan perempuan itu setelah kembali.
Aku tidak melihat siapa pun di dekat pintu sana. Meskipun lampu luar dan dalam masjid sudah mati semua, tetapi pancaran sinar cahaya lampu jalan di luar cukup terang, sehingga masih bisa membuatku untuk melihat seseorang di dalam masjid ini.