Dila, anak seorang pendiri salah satu pondok pesantren, Gus Wirto, ditaarufkan dengan salah satu santri. Namanya Fabian, mantan pecandu obat-obatan yang sengaja dikirim ke pesantren untuk menjadi pribadi lebih baik. Dila jadi ragu dengan perjodohan tersebut, terlebih lagi Dila sudah memiliki sosok lelaki idaman, yakni Prima, seorang hafiz Quran yang shaleh dan santun. Berbanding terbalik dengan Fabian. Dila ingin berkata jujur pada orang tuanya tapi tidak bisa dilakukan, keinginan kuat untuk keberhasilan proses taaruf ini membuat Dila tidak bisa berbuat banyak, segala cara sudah dilakukan agar batal dan selalu gagal. Saat Dila menyetujui semuanya rahasia Fabian terbuka satu per satu membuat dirinya terkejut. Lantas apa Dila akan tetap dengan keputusan menerima taaruf? Sejauh mana Fabian bisa berubah dari ketergantungan?
Ada sebuah pondok pesantren yang tidak terlalu dianggap oleh masyarakat di sekitarnya. Pondok pesantren tersebut berbeda dengan pondok yang lainnya, sebab lebih berfokus pada santri-santri yang memiliki masalah, seperti pecandu obat-obatan terlarang, pencuri, bahkan wanita tuna susila.
Gus Wirto, nama pendiri pondok pesantren Pondok Pesantren Ihsan. Ia mendirikannya di salah satu kota terbesar di Indonesia, yaitu Surabaya. Bukan tanpa alasan Gus Wirto mendirikan pondok pesantren tersebut, ia ingin membantu mereka-mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT.
Gus Wirto sendiri sudah memiliki keluarga. Ia menikah dengan Nyai Mina dan memiliki dua orang anak, putra dan putri. Anak yang pertama bernama Catur, usianya 28 tahun dan saat ini berada di Mesir untuk melanjutkan pendidikannya. Anak keduanya bernama Dila, usianya masih 23 tahun dan sedang menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di Surabaya.
Gus Wirto saat ini tinggal bersama dengan istri dan putrinya, beberapa santri sering datang untuk menimba ilmu, tapi tidak pernah sampai dalam. Istrinya, Nyai Mina hanya ibu rumah tangga, meskipun beberapa kali membantu Gus Wirto pada saat-saat tertentu. Untuk putrinya sendiri, Dila jika ada waktu luang sering berada di tempat santriwati untuk berbicara atau menghafal ayat-ayat Al-Qur'an.
"Mau ke mana, Nduk?" tanya Gus Wirto pada Dila.
"Mau ke asrama santriwati untuk hafalan Surat Al-Mulk."
"Tidur sana?"
Dila menggelengkan kepalanya.
"Ya wis, jangan malam-malam."
Dila mencium tangan abinya sebelum keluar dari rumah, melangkahkan kakinya ke tempat santri dengan menundukkan kepalanya. Menurut ajaran orang tuanya ia tidak diperbolehkan memandang yang bukan muhrim. Dila semakin mempercepat langkahnya saat melihat tempat santriwati semakin dekat. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang memanggil namanya.
"Dila." Terdengar suara seorang pria memanggil namanya membuat langkah kaki Dila berhenti.
"Kenapa, Kak?" tanya Dila yang masih menundukan kepalanya.
"Kamu, Dila, Anaknya Gus Wirto?" pria tersebut bertanya lagi pada Dila.
Dila mengangguk tanpa mengangkat wajahnya.
"Astaga pelit amat sih liat wajahnya aja ga bisa. Lihat dong orang yang dihadapan kamu saat berbicara."
Dila masih belum mengangkat wajahnya meski pria di depannya sedang mengucapkan kata-kata tidak enak untuk didengarnya.
"Ngapain kamu manggil Neng Dila?" tiba-tiba terdengar suara orang lain.
Dila dapat mengetahui suara orang tersebut, walau tidak melihat wajahnya.
"Neng Dila, tinggalin aja manusia nggak penting ini."
"Maaf dan terima kasih."
Dila pun kembali berjalan meninggalkan mereka dan masih terdengar beberapa perkataan, hanya saja ia tidak peduli sama sekali. Ia segera kembali menuju asrama santriwati. Sesampainya di asrama ia membuka pintu salah satu kamar tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia membelalakkan matanya saat melihat pemandangan yang tidak baik, seketika ia langsung berbalik dan menutup matanya.
"Kenapa nggak dikunci?" omel Dila menatap malas pada Naila, santriwati yang sudah dianggap saudara.
"Lah, kamu sendiri yang nggak ngetuk, salah siapa coba?" ucap Naila kesal.
"Ya...ya...aku yang salah." Dila mengangguk lemas, "Memang mau kemana rapi sekali? Lalu pakaiannya kenapa begitu tadi?"
"Bocah nggak perlu tahu."
Dila mencibir perkataan Naila.
"Ada apa kesini?" tanya Naila.
"Mau ajak hafalan surat secara besok sudah waktunya menyetor hafalan yang langsung diawasi sama Nyai Mina."
"Kamu anak pemilik pondok dan aku sahabatmu, kenapa Nyai Mina nggak ada pengecualian sama sekali sih?"
"Umma nggak melu-melu ya. Mau melu hafalan opo nggak?"
"Menurutmu ae piye? Jelas melu lah, pengen aku dihukum karo abimu?"
Dila tersenyum kecil mendengarnya. Ia pun memilih untuk menunggu Naila berganti pakaian yang lebih tertutup. Setelah sahabatnya tersebut mengganti pakaiannya, mereka melangkah ke tempat santriwati. Sudah banyak para santriwati yang ada di sana dan mereka yang sedang sibuk dengan membaca tidak terganggu sama sekali dengan kedatangan Dila dan Naila. Dila mengambil tempat paling enak, tapi sayangnya ditarik Naila ke tempat paling pojok.
"Kuping e lapo disumpel?" Dila bertanya heran saat Naila menggunakan earphone di telinganya.
"Pegel arep turu disik," sahut Naila santai.
Dila membelalakkan matanya menatap apa yang Naila lakukan. Sahabatnya tersebut menyandarkan tubuh di tembok dan langsung memejamkan matanya, telinganya sendiri sudah ditutup dengan earphone membuat Dila tidak bisa bertindak apa-apa. Ia pun mengikuti yang lainnya membaca Surat Al-Mulk dengan perlahan, meskipun sudah membacanya dari kemarin tetap saja belum memiliki rasa percaya diri sama sekali.
Melihat Naila yang seperti itu membuatnya menghela napasnya dengan kelakuan sepupunya. Di saat ia membaca beberapa ayat, mata Dila langsung membola melihat Ummanya memasuki ruangan secara otomatis membangunkan Emily yang memejamkan matanya.
"Nay...Nay..." Dila menepuk tangan Naila keras membuatnya mendapatkan tatapan tajam. "Umma ada di sini."
Naila langsung melepaskan earphone dan membuka Al-Qur'an, begitu juga dengan Dila yang kembali fokus pada bacaannya.
"Sudah ada yang hafal?" Nyai Mina menatap para santriwati.
Para santriwati ada yang sebagian mengangguk, tapi tidak sedikit yang menggelengkan kepalanya.
"Besok waktunya terakhir, ingat ini termasuk dalam penilaian kalian nantinya."
"Ya, Nyai." Mereka teriak bersama-sama termasuk Dila dan Naila.
Mereka berdua kembali fokus pada bacaan yang ada dihadapannya saat ini, sebenarnya Dila bisa saja tidak ikut menghafal, tapi sebagai saudara yang baik akhirnya menemani Emily. Dila tahu jika saudaranya ini masih dalam tahap pembelajaran yang masih harus didampingi atau ditemani agar tidak jatuh dalam dunia gelap.
"Kalian sudah sampai mana?" suara Nyai Mina membuat Dila dan Naila terkejut, "Kenapa terkejut? Kaya habis lihat apaan aja."
"Umma eh...maksudnya Nyai ngagetin aja. Kok tiba-tiba ada disini." Dila menundukkan wajahnya karena salah mengucapkan nama, "belum terlalu hafal, Nyai."
Nyai Mina hanya mengangguk mendengar jawaban Dila. "Kalau sudah selesai langsung pulang ya. Abi mau bicara sama kamu."
Dila menatap Nyai Mina dengan bingung, hanya saja beliau langsung beranjak meninggalkan mereka. Ia terdiam mencoba mencerna kata-kata Nyai Mina tadi dan yang membuatnya heran, kenapa pada saat berangkat Gus Wirto tidak mengatakan apapun sama sekali.
"Ndang diwoco selak waktune entek," tegur Naila yang membuat lamunan Dila hilang begitu saja dengan menatap Naila malas, "wis ndang diwoco."
Menghembuskan nafas panjang mendengar perkataan Naila dan kembali konsentrasi pada hafalan yang sebelumnya sudah dibaca, mengulangnya berulang kali sampai benar-benar hafal diluar kepala.
Suara adzan berkumandang membuat mereka semua menghentikan semuanya kegiatannya dan langsung berdiri untuk mengambil air wudhu. Dila sendiri sudah membawa mukenanya berbeda dengan Naila. Naila yang tidak membawa mukenah sehingga membuat mereka berdua kembali ke kamar Naila. Mereka harus buru-buru karena suara adzan tidak akan lama, meskipun begitu masih ada suara iqomat yang bisa membuat sedikit lebih santai.
"Fabian sakau lagi," ucap seorang santri yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Dimana dia?" Naila menatap para pria dengan tajam.
Tatapan tajam Naila membuat pria tersebut terkejut dan seketika menatap Dila yang membuatnya langsung menundukkan kepalanya.
"Jawab aja ngapain lihatin Dila," ucap Naila yang lagi-lagi membuat mereka terkejut.
"Fabian di dalam kamarnya dan pastinya nggak bisa keluar."
Naila langsung pergi meninggalkan mereka dan kali ini langkahnya bukan menuju kamarnya sendiri, tapi tempat para santri pria berada. Dila membelalakkan matanya melihat tindakan Naila dan langsung mengejarnya. Dila menggapai tangan Naila dan langsung menarik tangannya. Hal tersebut membuat Naila berhenti dan langsung memberikan tatapan tajam pada Dila.
"Jangan kesana nanti ketahuan bisa bahaya lagipula sudah waktunya sholat."
"Aish... kamu tu nggak bisa diajak kerjasama."
"Lagian kenapa kamu peduli sih? Bukan tugas kamu juga dan pastinya Abi sudah tahu apa yang harus dilakukan."
"Kalau kenapa-kenapa kamu yang nanggung?"
"Kita shalat dulu baru nanti bicara sama Abi. Abi pasti sudah punya solusi lagipula bukan pertama kali Abi melakukan ini."
Dila menarik tangan Naila yang masih diam. Naila berpikir memang apa yang Dila katakan benar adanya. Tidak seharusnya mereka berdua yang wanita masuk dalam asrama laki-laki. Kalau sampai ketahuan yang mendapatkan masalah bukan hanya dirinya saja, tapi Dila juga akan mendapatkan masalah yang sama.
Naila pun memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya bersama Dila.
"Aku malas ke masjid." Naila membaringkan badannya di atas ranjang membuat Dila membelalakkan matanya. "Jangan ceramah, kalau kamu mau ke masjid silakan dan biarkan aku sendiri disini."
Menggelengkan kepala karena tahu apa yang ada dalam isi kepala Naila. "Aku pakai kamar mandi, mau wudhu langsung sholat disini dan jangan melakukan hal gila."
"Jangan lupa aku titip absen saja kalau gitu, nanti kalau Nyai tanya bilang aja aku lagi sakit."
Dila menggelengkan kepala mendengar perkataan Emily dan langsung beranjak dari tempatnya.
"Naila, tapi nggak baik kalau kamu kesana," ucap Dila menghentikan langkahnya menatap Naila yang hanya diam dan tampak memejamkan matanya. "Aku melakukan ini karena sayang sama kamu."
Dila menggelengkan kepala melihat tingkah laku Naila, memilih beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melakukan kewajibannya. Memilih menunaikannya dalam kamar Naila disebabkan tidak ada waktu sama sekali untuk berangkat ke masjid, di saat terakhir suara ketukan pintu terdengar membuat Dila langsung membukanya.
"Mbak Dila dicari Nyai Mina."
"Makasih, Mbak Ita." Dila tersenyum menatap Ita.
Menutup pintu dan melanjutkan apa yang tadi dilewatkannya karena ketukan pintu, membaca beberapa surat dalam Al-Qur'an termasuk didalamnya hafalan untuk besok. Panggilan dari sang Umma membuat Dila tidak bisa berlama-lama dalam kamar Naila. Ia pun membereskan perlengkapan sholat Naila dan merapikan dirinya sebelum membangunkan Naila.
"Aku balik dulu ya jangan lupa shalat."
Bab 1 1
20/10/2022
Bab 2 2
20/10/2022
Bab 3 3
20/10/2022
Bab 4 4
20/10/2022
Bab 5 5
20/10/2022
Bab 6 6
25/10/2022
Bab 7 7
25/10/2022
Bab 8 8
25/10/2022
Bab 9 9
25/10/2022
Bab 10 10
25/10/2022
Bab 11 11
03/11/2022
Bab 12 12
04/11/2022
Bab 13 13
10/11/2022
Bab 14 14
11/11/2022
Bab 15 15
17/11/2022
Bab 16 16
18/11/2022
Bab 17 17
24/11/2022
Bab 18 17
25/11/2022
Bab 19 19
01/12/2022
Bab 20 20
02/12/2022
Bab 21 21
08/12/2022
Bab 22 22
09/12/2022
Bab 23 23
15/12/2022
Bab 24 24
16/12/2022
Bab 25 25
22/12/2022
Bab 26 26
23/12/2022
Bab 27 27
29/12/2022
Bab 28 28
30/12/2022
Bab 29 29
05/01/2023
Bab 30 30
06/01/2023
Bab 31 31
12/01/2023
Bab 32 32
13/01/2023
Bab 33 33
19/01/2023
Bab 34 34
20/01/2023
Bab 35 35
26/01/2023
Bab 36 36
27/01/2023
Bab 37 37
02/02/2023
Bab 38 38
03/02/2023
Bab 39 39
09/02/2023
Bab 40 40
10/02/2023
Buku lain oleh nura0484
Selebihnya