Kenal lewat sosmed berujung asing? Atau di ghosting? Lebih parahnya cuma dijadikan pelampiasan karena kisah masa lalunya belum kelar? Rela menjadi badut padahal dalam hati ingin memilikinya? Dari pernyataan di atas, alhamdulillah aku tidak mengalami hal tersebut. Because i'm enjoy, tidak melibatkan hati atau real cuma temenan. Apa ya sebutan zaman sekarang itu? Oh iya, HTS. Artinya hubungan tanpa status--yang setiap harinya tidak pernah absen mengirim pap, sleep call hingga ketiduran, me-reply story masing-masing, di nyanyiin tiap malam. Woah, sungguh indah bukan? Ya, aku mengalaminya baru-baru ini. Dari aplikasi apakah bisa menetap di hati dan berakhir ke pelaminan? Ayo, simak kisahku sampai selesai. Di jamin membuat kalian jomblowan dan jomblowati meronta juga ingin mempunyai pasangan. Tidak seperti aku, memilih HTS ketimbang pacaran karena suatu alasan.
"Akhirnya sampai juga di asrama," aku membuka sepatu, kemudian menaruhnya di rak yang sudah tersedia. Pulang kuliah siang terik begini, ditambah panas serta gerah, beuh paket komplit pokoknya.
"Turu wae lah, yok?" hampir aku serangan jantung ulah kemunculan Widi yang tiba-tiba. Temanku itu emang asli orang Jawa. Kalau aku ya ... asline suka kamu, bercanda.
"Wis madang urung, Wid?" tanyaku seraya menyimpan tas gendong dekat kasur, "gerah banget koh," sambungku beranjak menuju kipas, dan menyalakannya. Nomor tiga, cok, panase pol soale.
"Ntaran bae lah. Aku abis begadang, pengin turu," ya begitulah interaksi kami berdua. Semalem ya begadang main game, bukan ngaji kitab.
Fyi, aku kuliah sembari mondok di pesantren--deket sih jaraknya, perkiraan dari pesantren ke kampus sekitar lima belas menitan.
"Ponsel aku sih mana ya?" kebiasaanku ialah suka lupa menaruh barang berharga seperti ponsel, dompet dan kunci motor.
"Di gue, Han,"
"A*u, aku cari-cari juga," astaghfirullah, batinku langsung menyebut istighfar tiga kali. Maaf ya, anak pondok pun juga manusia. Suka mengumpat tapi 'kan aku tobat--nyebut asma Allah. Jangan ditiru nggih?
Sebenarnya aku lupa bawa ponsel ke kampus. Mengingat tadi pagi bangun kesiangan, dan sialnya aku malah memakai sandal alih-alih pakai sepatu. Lagi ulangan, ketahuan dosen pakai sandal--alhasil balik kampus maning. Arghh, itu loh, waktu pengerjaan ulangan empat puluh lima menit. Kehabisan waktu buat di jalan doang. Untungnya Abi pinter lho, kids. Do'ain Abi ya kids, biar cepat lulus kuliah, wisuda dan ketemu Umi kamu. Halu buat nyenengin diri sendiri tak apa lah.
"Anjir, Han?! Lu ngapain senyum-senyum kayak ngana tah. Mikirin iya-iya 'kan lu?? Hayoh, ngaku bae,"
"Sembarangan kamu, Bas. Mulutmu itu lho, pengin aku sumpel pake kaus kakinya Haikal??" sorry, Kal. Aku gak sengaja menuduh kamu.
"Kena mulu dah. Perasaan aku gak ngapa-ngapain," waduh, si empunya langsung nongol aja tuh.
"Hampura, Kal. Aku keceplosan,"
"Diem woy, mau tidur ini. Berisik banget elah," aku kicep, Bastara keselek keripik singkong, Haikal terantuk kaki meja saking kagetnya, dan Darren menjatuhkan ponselnya sendiri. Widi ini orangnya pendiem. Tapi, sekalinya marah aku takut cok. Kalian pasti tau lah, marahnya orang pendiem kek gimana? Ngeri-ngeri sedap.
***
Pulang dari masjid, masih menggunakan koko juga sarung, aku melipir sebentar ke dapur pondok. Siapa tau ada makanan. Makan, makan, makan terus kamu deh. Aw, jadi geli sendiri dengernya.
"Han?" asik, ada temenku rupanya.
"Nyari apaan lo?" tanya Mas Aiden--pengurus santri putra--kebetulan satu kamar denganku.
"Makan Mas, laper," ringisku sambil jongkok, samping-sampingan dengannya. Aku sama Mas Aiden seperti saudara sendiri. Makanya aku tidak merasa canggung sama sekali. Namun balik lagi, dia lebih tua tiga tahun dariku sekaligus pengurus. Sudah sepatutnya aku hormati dia.
"Gak ngaji emangnya??" tanyanya seraya mengaduk-ngaduk sayur capcay di dalam wajan.
"Libur dulu, Mas. Ada tugas juga dari kampus," tugasnya belajar. Masih ada lima harian lagi ulangan akhir semesternya.
"Walah, pengin ngising aku," cetusku dibalas geplakan sama Mas Aiden.
"Sana lah ke air. Ntar kecipirit di dapur, satu pondok yang geger," aku terkikik dalam batin. Nanti ada berita yang berjudul 'salah satu santri putra kecipirit di dapur pondok saking tidak tahannya'. Buset, itu cerpen atau judul skripsi? Panjang bener.
Selesai urusanku di air, aku lebih baik ke asrama. Siapa tau temenku ada yang bawa makanan. Setauku, si Arion jam kuliahnya malam dan ... yah, aku berharapnya cowok itu bawa sesuatu dari luar.
Nasi padang. Apa aku bilang tadi?? Harapanku sesuai dengan kenyataan.
Kamarku berisi lima orang yakni aku, Widi, Mas Aiden, Arif, dan Haikal. Untuk kamar sebelah ada Arion, Bastara, Wildan, Darren, Rio juga Radit. Anak pondok yo apa-apa dilakukan bareng-bareng. Punya makanan berbagi sama temen. Tidak untuk satu kamar saja--melainkan teman lainnya juga. Intinya berbagi itu indah. Kalau mau ya gabung, jangan malu-malu. Pasti seru dan tambah rame. Yah, itulah keseruan di ruang lingkup pesantren.
Jam sudah menunjukkan angka sembilan. Dan aku sedang mainan ponsel. Biasa, tengah bertukar kabar dengan orang paling berharga yaitu Ibu tercinta. Di sampingku ada Widi. Dia pun lagi mainan ponsel. Sudah menekan tombol kirim, aku penasaran apa yang tengah Widi mainkan. Dari sudut mata, aku melihat dia menekan tombol love ke setiap foto-foto cewek.
"Aplikasi apaan tuh, Wid?" penasaran dong, aku tengok aja isi layar di ponselnya.
"Le*ma*ch, Han. Tau kagak?" aku menggeleng pelan, tanda tidak tahu.
"Kudet amat kamu," ejek Widi. Ya elah, malah ngejek koh, "seriusan aku tanya, anjir. Kamu malah ngejek,"
"Aplikasi warna biru, Han. Siniin ponsel kamu,"
Patuh. Aku memberikan ponselku kepada Widi. Entah apa yang dia otak-atik.
"Pasang gih foto profilnya. Yang paling ganteng, kalau bisa,"
Mendengus kesal tapi tak urung melakukan titahan Widi.
"Terus gimana lagi, Wid?"
"Tulis umur sama alamatnya,"
"Nggih, terus?" serius dah, aku kayak lagi wawancarain Widi.
"Udah tak post. Tinggal nunggu love dari sananya,"
Hingga beberapa menit kemudian, aku terus pantengin layar ponselku.
"Mana anjir? Gak ada yang suka sama aku ternyata,"
"Nasib-nasib," lanjutku sambil geleng-geleng kepala.
Baru saja mau keluar dari aplikasi tersebut, keajaiban datang kepadaku.
"Anjir, Wid. Ada yang love foto aku," seruku tak sadar menyenggol lengan temanku, "Han?! Untung ponselku gak jatuh," maaf teman. Terlanjur bahagia nih.
"Chat ah, siapa tau berjodoh," batinku mengklik nama cewek--yang sudah memberi love pada fotoku.
Bab 1 Siapa Tau Berjodoh
22/02/2024
Bab 2 Gadis Sunda
22/02/2024
Bab 3 Ketahuan
22/02/2024
Bab 4 Video Call
22/02/2024
Bab 5 Meet
22/02/2024
Bab 6 Pulang Lagi
22/02/2024
Bab 7 Zina Mata
22/02/2024
Bab 8 Calon Mertua
22/02/2024
Bab 9 Ditolak Secara Halus
22/02/2024
Bab 10 Hampir Oleng
22/02/2024
Bab 11 Kena Hukuman
22/02/2024
Bab 12 HTS
22/02/2024
Bab 13 Rindu
22/02/2024
Bab 14 Cemburu
22/02/2024
Bab 15 Rumah Sakit
22/02/2024
Bab 16 Survei KKN
22/02/2024
Bab 17 Bersih-bersih
22/02/2024
Bab 18 Day 1 KKN
22/02/2024
Bab 19 Kumpulan Karangtaruna
22/02/2024
Bab 20 Gombalan
22/02/2024
Bab 21 Mode Bucin
22/02/2024
Bab 22 Keracunan
08/03/2024
Bab 23 Diculik
11/03/2024
Bab 24 Bucin
13/03/2024
Bab 25 Restu
15/03/2024
Bab 26 Orang Terkasih
18/03/2024
Bab 27 Lamaran
20/03/2024
Bab 28 Komitmen
22/03/2024
Bab 29 Cemburu
25/03/2024
Bab 30 Amanah
27/03/2024
Buku lain oleh tyas
Selebihnya