Sibuk menikmati status duda dan memiliki satu anak yang begitu cantik, enggak ada angin serta badai, Mama tercinta justru menjodohkan dirinya dengan seorang gadis polos berumur delapan belas tahun. Akankah ia terima, atau menolaknya??
"Ayah!!"
Teriakan membahana membangunkan aku dari mimpi terindah. Ini hari weekend, lanjut tidur dan bangun siang adalah rencanaku. Namun naas, semua gagal total. Gerak cepat bangun serta berjalan membuka pintu kamar tanpa cuci muka sekalipun. Enggak keburu, yang ku takutkan yakni sesuatu terjadi kepada anak kecil kesayanganku.
Menuruni setiap anak tangga seperti pembalap lari. Masalah jatuh belakangan, itu bisa di urus belakangan. Nafas tersenggal-senggal saat aku tiba di lantai bawah tepatnya ruang keluarga.
"Ayah, dia udah cubit pipi Yana sampe merah, Yah. Sakit banget," adu Yana--putri kecilku berumur delapan tahun. Tatapanku langsung tertuju pada pengasuh Yana.
Perempuan yang baru bekerja lima hari tersebut justru menunduk takut, gak berani bicara sedikit pun.
"Yana?" ucapku memberi kode. Yana menatap sinis pengasuhnya, kemudian meracau nggak jelas, "iya, Yana masuk ke kamar sekarang juga," tandasnya membuat aku tersenyum tipis. Anaknya memang pintar. Dikasih kode langsung mengerti.
"Sebenarnya ada apa?" tanyaku lugas tak menerima basa-basi. Tidak kelupaan aku menyuruhnya untuk duduk di atas sofa.
"Saya ... saya enggak menyakiti Non Yana, Tuan. Saya minta maaf." Yah, aku memang sudah menduganya. Pengasuh Yana memang sudah ganti lima kali dalam sebulan ini. Permasalahannya ya itu, ada pada anakku. Dia gak mau pakai pengasuh. Maunya Bunda secara nyata.
"Kamu tinggal bereskan pakaianmu sekarang. Saya akan kasih gaji dua kali lipat," titahku dihadiahi gelengan olehnya.
"Jangan Tuan," dia menangkupkan kedua tangannya, "saya nggak mau dipecat." Jika diteruskan, maka dia pula yang akan sengs*ra. Yana kalau sudah tak suka, maka dia akan terus menuduh yang enggak-enggak. Seperti hal tadi tentunya.
Aku mengangkat tangan kanan, lalu memberi alasan kenapa Yana bersikap seperti itu. Lima menit merenung, akhirnya dia menganggukan kepalanya, "Terima kasih. Tuan sudah berbaik hati dengan memberi gaji lebih besar padahal saya baru lima hari bekerja," ucapnya seraya menunduk lesuh.
"Sama-sama,"
Setelah dia pergi, aku masih stay duduk di ruang keluarga. Memikirkan harus kemana lagi mencari pengasuh untuk menjaga putri kecilnya. Aku berada di rumah ya, setiap weekend begini. Hari kerja selalu lembur. Berangkat jam tujuh pagi, pulang jam sepuluh malam. Belum sempat mengurus Yana saking sibuknya.
Aku memijat pelipis karena mendadak pusing. Pusing akan tingkah laku Yana pun aku belum mengisi perut kosong yang sedari tadi demo meminta isi.
Kala sedang bergelut dengan isi pikiranku, bel rumah berbunyi. Aku hiraukan sebab malas beranjak. Siapa coba pagi-pagi sudah bertamu ke rumah orang, gerutuku dalam batin. Kulihat jam dinding, ternyata sudah menunjukan pukul delapan pagi. Masih pagi, bukan?
Suara bel berhenti, kini digantikan dengan ketukan pada pintu secara brutal. Astaga?! Aku segera bangkit guna membuka benda berbahan kayu tersebut. Sudah ia tebak kalau tamunya adalah ... Riani Aini--Mami tercintaku. Beliau biasa dipanggil Mami Ria.
"Kenapa lama dibukanya?" semprot Mami Ria melupakan sesuatu yakni mengucap salam. Agaknya beliau kesal, sampai kelupaan deh.
"Waalaikumsalam," ujarku sambil menyindirnya. Nampak Mami Ria menarik nafas, dan mengeluarkan secara perlahan.
"Assalamualaikum," ucapnya segera aku jawab. Mau mencium tangan kanan beliau eh, Mami Ria malah berteriak memanggil suaminya alias Papi kandungku--Rezqi Galuh Yusovin, biasa dipanggil Papi Rezqi.
"Pi!! Papi lagi ngapain sih di sana. Turun cepat, katanya khawatir sama keadaan cucu kita." Aku mengerut heran. Yana maksudnya? Lho, ada apa dengan anakku.
"Iya, Mi sebentar," seru Papi Rezqi.
"Kamu juga. Mami datang bukannya disuruh masuk, dibikinin minum atau apa lah itu."
Salah lagi? Keluhku tentunya dalam hati.
"Yana itu pengin Bunda, Sena!! Bukan dicariin baby sister. Berulah terus 'kan cucu Mami. Itu gara-gara kamu, Arsena Jumsa Yusovin!" berang Mami Ria. Lah dalah, dua kosong gak tuh.
"Makanya nurut kalau Mami jodohin Sena ke anak temannya Mami," gerutunya seraya berjalan lurus menuju lantai dua--dimana kamar Yana berada.
"Mami kenapa tuh? Marah-marah melulu??" Papi Rezqi berceletuk ringan. Dia sengaja berdiri di sampingku, "lagi PMS kali, Pi," cetusku asal.
"Lho, masa iya? Padahal tadi malam service nya... " aku melenggang pergi meninggalkan Papi Rezqi. Sudah tahu kelanjutannya. Maka, lebih baik aku menyusul Mami ke lantai dua.
Buku lain oleh tyas
Selebihnya