Hati yang bersemangat berangsur-angsur padam. Aku mencintainya begitu pula dengannya. Ku pikir hanya dengan itu cinta kami tak akan gagal. Salah! Bukan tentang ku atau dia yang harus ku dahului. Tapi restu sang Ayah yang merasa pantas memilihkan pria yang sepadan untuk putri yang di besarkan dengan cinta, kasih sayang, materi, dan darah. Ayah menolak cinta kami. Permata yang indah tak pantas bersanding dengan batu krikil. Aku tak akan bahagia, itu lah yang Ayah pikirkan. Dengan segala cara Ayah memilih memisahkan ku dengan pujaan hati ku. Tanpa menimbang perasaan ku yang sebenarnya. Lalu Ayah mendatangkan seorang pria yang merupakan teman masa kecil ku untuk mengantikan posisi kekasihku. Pria itu dianggap sangat amat layak dari batu krikil itu. Sayang nya hati Ku terlanjur terikat dengannya. Disaat Aku mempercayainya dan mati-matian menjaga hati, kekasih ku menghilang entah kemana. Apa yang harus ku lakukan di tengah Aku yang terlanjur mencintainya dan usaha teman masa kecil ku yang tak main-main untuk mengait hatiku.
Bagaimana rasanya jatuh cinta?
Indah bukan? Seperti, seperti ribuan kupu-kupu yang menggelitik perut.
Itulah yang tengah ku rasakan. Cinta yang membuat ku emosional dengan kegembiraan dan kebahagiaan di dalamnya.
Dunia terasa berlipat-lipat indah dengan warnanya. Ah, itu membuat ku menjadi menggebu-gebu tak sabaran menantikan setiap hari esok.
Apa kalian tahu alasannya, ya tentu untuk berjumpa dengan sang pujaan hati.
Kisah yang bermula dengan pertemuan tak sengaja antar aku dan juga seorang pria dua tahun lalu. Tak di sangka-sangka kami berakhir menjadi ke kasih dan kemarin dia melamar ku dengan begitu romantis di tengah keramaian. Sungguh itu membuat banyak wanita iri dengan keromantisannya.
Cincin yang dia pasangkan di jemariku memang bukan dari emas atau berlian hanya perak biasa dengan harga beberapa ratus ribu. Tapi itu sudah cukup untuk membuktikan ketulusannya. Aku tak bisa menutupi betapa bahagianya Aku, betapa beruntungnya aku.
Hubungan dengan kekasih, ku rahasiakan dari Ayah selama ini. Ayah sangat keras padaku, selalu ingin mengatur pada siapa aku akan menikah. Tapi kali ini aku akan mengatakan semuanya pada Ayah dan meminta restunya. Dengan hanya berbekal tekad, keberanian, dan ketulusan akan cinta kami aku akan mengatakan rencana pernikahan ku pada Ayah.
Seperti biasa Ayah sibuk membaca koran diruang tamu. Sedari tadi Aku tak bisa menyembunyikan ekspresi senang ku. Aku terus menerus tersenyum, jantungku tak hentinya berdetak dengan kencang.
Aku bergegas menuju dapur membuatkan Ayah kopi. Di pagi hari Ayah biasa menikmati paginya dengan secangkir kopi sembari sibuk membaca korannya, sebelum akhirnya Ayah akan berangkat ke sekolah yang di kelolanya.
Selesai membuatkan kopi bergegas ku hampiri Ayah, dan lagi-lagi jantungku berdetak kian ricuh.
Ku letakan secangkir kopi di mejanya. Ayah menoleh menatap ku sembari tersenyum manis "Ah, terimakasih sayang." ucap Ayah sembari mulai menegak kopinya sedikit demi sedikit.
Ragu-ragu aku memanggilnya. "Ayah." suaraku terdengar lirih.
Alis Ayah terangkat, dia meletakan cangkirnya di atas meja sembari perhatiannya tertuju pada ku. "Ada apa sayang?"
"Jika aku meminta sesuatu, apakah Ayah akan mengabulkannya untukku?"
Dahi Ayah mengkerut, matanya berkedip sebuah senyuman terangkat di sudut bibirnya, seolah-olah Ayah tak akan menolaknya.
Aku tersenyum manis duduk di lantai menyender manja di kedua kakinya. "Ayah aku menyayangi mu sangat besar."
Ayah mengangguk-angguk pelan, rasanya dia tahu aku memiliki niat terselubung.
Ku lanjutkan kalimatku. "Tapi Ayah aku juga mulai merasakan cinta. Ayah aku mencintai seorang pria yang ku temui dua tahun lalu, dia manis dan penyayang dan dia juga sangat mencintai ku." ucapku begitu bersemangat.
Aku mendongak menatap Ayah, tampaknya Ayah benar-benar mendengar kan cerita ku.
Tangan Ayah menyentuh daguku lembut, "Siapa yang tidak akan mencintai mu. Putri Ayah sangat cantik. Setiap pria yang melihat mu tak mungkin mampu memalingkan wajahnya. Ayah berani bertaruh."
"Kamu tumbuh persis seperti Ibu mu."
Ayah terkekeh, membuat ku malu dengan pujiannya yang berlebihan itu.
"Apa Ayah tahu dia pria aneh namun hebatnya aku tertarik dengannya. Aku benar-benar mencintainya, dia romantis, penyabar, dan dia pria yang tampan. Ayah tahu dia selalu mendahului segala kepentinganku, aku sungguh mengaguminya." Ku tatap mata Ayah lekat, berharap Ayah akan mengerti ucapan ku dan memberi restunya.
"Bell ku berhasil di gait oleh pria rupanya. Siapa namanya?" tanya Ayah, dia tersenyum lembut kearah ku, tangannya tak henti mengelus kepala ku.
"Kay Bernard, dia seorang karyawan yang kompeten di sebuah perusahaan komponen ponsel Ayah. Dia lebih tua dua tahun dari ku, dia berjanji akan selalu membahagiakanku, dan-"
Aku menghentikan ucapan ku, tatapan Ayah seketika berubah tajam, wajahnya menjadi datar, ekspresinya berubah menakuti ku.
"Orang tuanya bagaimana?" suara Ayah begitu menekan.
"Kay yatim piatu Ayah. Walau begitu dia anak yang bertanggung jawab dan-"
"Dan apa huh?!"
Ayah beranjak dari duduknya, menatap ku begitu tajam. Aku menatap sendu punggung Ayah yang berdiri membelakangi ku. Aku tahu, itu sikap penolakan. Ayah tak merestui hubungan kami.
"Apa kamu pikir dengan janji dan cinta kamu bisa hidup. Tidak Bella, kamu tak akan kenyang hanya dengan janji!!"
Jantungku berdetak tak karuan, penolakan Ayah menyakiti hati ku. Aku bergegas bangun, tanganku memeluk lengan Ayah.
"Ayah akan tahu jika bertemu dengannya. Ayah pasti akan langsung menyukai nya dan Aku yakin itu."
"Tidak. Sekali tidak tetap tidak!!" Tegas Ayah, dia membuang muka. Tangannya menepis tanganku.
"Ayah dengar kan aku. Sekali saja, coba sekali temui dia Ayah. Ku mohon." Mataku berkaca-kaca tak tahan dengan penolakan Ayah.
"Bella Priyanka!!" Pekik Ayah lantang, dia menatap ku tajam.
Aku terdiam, berusaha agar tangisku tak pecah dan semakin membuat Ayah marah.
"Dia sangat baik, sangat baik Ayah!" Aku tak tahu bagaimana lagi agar Ayah mau mendengarkan ku.
Ayah membalikan badannya menatap ku, tak Ada rasa iba di wajahnya.
"Ya dia baik sekarang. Jika sudah menikah merasakan banyak kepelikan, kata baik akan berubah menjadi jahat dan kamu akan menyesalinya seumur hidupmu!!" Ayah melempar gelas kaca ke lantai, emosi Ayah benar-benar tersulut.
Aku Menutup mata, takut. Seumur hidup baru kali ini Aku melihat Ayah semarah ini. Mungkin benar ayah mengkhawatirkan kehidupanku. Tapi Aku juga berhak memilih jalan hidup ku.
"Ayah-"
"Tidak!!" Tunjuknya kearah ku.
Aku bahkan belum menyelesaikan ucapan ku, tapi Ayah begitu keras menolaknya.
Ayah meraih jasnya dan pergi meninggalkan ku dengan marah.
"Ayah!!" Aku berusaha agar tak meninggikan suaraku.
"Ayah ku mohon temui dia." suaraku mulai terdengar bergetar Aku berusaha keras menahan tangis. Aku berlari mengejar Ayah yang kian mempercepat langkahnya.
Ayah masuk ke dalam mobil nya. Tak peduli dengan ku yang terus memohon padanya.
Meski aku berusaha keras mengetuk-ngetuk jendela mobilnya dan terus memanggil, Ayah tetap acuh dia bahkan tak menoleh, hingga mobil nya mulai melaju menjauh.
"Ayah!!" Pekik ku lantang sembari menatap mobilnya yang mulai tak nampak lagi.
Aku menangis sesenggukan, tak bisa menerima penolakan Ayah. Tapi aku benar-benar mencintainya, aku tak mungkin hidup tampannya, tak akan mungkin. Aku terduduk di lantai dengan derai air mata yang terus menetes. Rambut ku yang terurai menutupi wajah ku yang tertunduk, tampilan ku begitu berantakan.
"Ayah sungguh Aku mencintainya." gumamku, tertunduk kian tersedu-sedu.
Cukup lama aku meratapi penolakan Ayah, setelah nya aku bangkit dari duduk. Berjalan masuk ke rumah dengan lunglai. Mataku terasa bengkak akibat terlalu lama menangis, aku mengusap air mataku yang masih menetes dengan kasar.
Ku tatap foto mendiang Ibu yang terpajang di kamar. Ku satukan kedua tanganku, "Ibu apakah salah mencintainya?" Air mataku kembali menetes.
"Kenapa Ayah bersikeras menolak? Ayah bahkan belum menemuinya, tolong beri Aku jawaban. Aku sungguh tak mengerti."
Aku tertunduk, sekeras apapun aku berucap Ibu tak mungkin tiba-tiba berbicara dan memberikan nasehat.
Kepala ku berdenyut rasanya ini menyiksa. Ayah tak merestui kami. Lalu bagaimana, apa yang harus ku lakukan?.
Pandangan ku teralih ke arah Jendela, ku sibak gorden sembari tatapan kosong terarah ke jalanan. Kamar ku berada di lantai dua. Air mata bahkan tak menetes lagi, aku benar-benar putus asa.