Demi Anak, Kuterima Hinaan Mertua

Demi Anak, Kuterima Hinaan Mertua

reger

5.0
Komentar
Penayangan
24
Bab

Hidup Keira terasa seperti rentetan nasib buruk yang tak berujung. Pertama, perusahaan tempatnya mengabdikan diri kini di ujung tanduk kebangkrutan. Kedua, tunangannya tega meninggalkannya demi wanita yang memiliki harta melimpah. Segala impian dan harapannya hancur lebur, menyisakan luka dan keputusasaan yang dalam. Dalam titik terendah, Keira memilih melarikan diri ke gemerlap kelab malam. Namun, sekali lagi, takdir seolah menertawainya. Ia mabuk hingga tak sadarkan diri, dan malam itu berakhir tragis di ranjang bersama Aksel Sanjaya, CEO dingin yang memimpin perusahaan tempatnya bekerja. Keira dan Aksel, keduanya sama-sama terperangkap dalam situasi rumit yang tak terduga ini. Bagaimana mereka akan menghadapi konsekuensi dari satu malam kelam yang mengubah segalanya?

Bab 1 Sial, Itu Bosku!

Keira terbangun bukan karena alarm, melainkan karena aroma asing yang tajam, perpaduan kayu cendana mahal dan sesuatu yang musky-parfum pria yang benar-benar asing. Kepalanya berdenyut, seolah ada sekelompok penabuh genderang di dalamnya. Ia menarik napas dalam, berusaha mengingat. Kelab. Musik keras. Dua gelas koktail yang harusnya ia batasi. Lalu, setelah gelas ketiga, semuanya menjadi kabut tebal berwarna ungu neon.

Ia membuka mata perlahan. Matanya langsung menangkap langit-langit tinggi berwarna broken white dengan ukiran minimalis yang elegan. Ini bukan plafon kos-kosannya yang penuh noda lembap.

Jantung Keira langsung melompat ke tenggorokan.

Ia terbaring di ranjang king size yang empuknya kebangetan. Selimut sutra tipis menutupi sebagian tubuhnya, dan di sampingnya...

Keira menahan napas. Di sebelahnya ada sesosok pria. Pria itu telentang, dadanya yang bidang naik turun teratur. Wajahnya yang tegas tertutup sebagian oleh lengan, tapi lekukan rahang yang tajam dan hidung mancung itu, ia mengenalinya dengan sangat baik, sayangnya.

Tidak mungkin.

Keira menyentuh rambutnya yang kusut. Sisa-sisa mabuknya lenyap seketika, digantikan gelombang kengerian yang dingin. Ia menarik selimut lebih tinggi, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Punggungnya telanjang. Pria di sampingnya juga.

Pria itu adalah Aksel Sanjaya.

Aksel Sanjaya! CEO tempat Keira bekerja! Pria es, si Tangan Besi yang bisa memecat seribu karyawan hanya dengan mengedipkan mata di rapat dewan!

Keira memejamkan mata, berharap ini semua mimpi buruk akibat terlalu banyak nonton drama Korea sebelum tidur. Ia mencoba berhitung, dari satu sampai sepuluh. Ketika ia membuka mata, Aksel Sanjaya masih ada di sana, tidur dengan damai seolah tidak ada yang aneh.

"Astaga, Keira. Lo bodoh banget!" bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar.

Keira segera bangkit, bergerak sehalus mungkin seperti pencuri profesional. Ia buru-buru mencari pakaiannya yang berserakan di lantai marmer. Rok hitamnya tergeletak di dekat sofa kulit, blus putihnya tersangkut di lampu nakas. Sial, blusnya robek di bagian bahu.

Ketika ia mencoba mengenakan roknya dengan tergesa-gesa, pergerakannya membuat kasur sedikit berderit.

Aksel berdeham.

Jantung Keira nyaris lepas. Ia membeku, rok tergantung setengah badan. Aksel bergerak, perlahan membuka matanya. Tatapannya yang tajam dan dingin-yang biasanya ia lihat saat presentasi di lantai 20-kini tertuju padanya.

Mata Aksel menyipit. Butuh beberapa detik bagi otaknya yang baru bangun untuk memproses apa yang ia lihat: seorang wanita, setengah berpakaian, berdiri panik di kamar mewahnya.

Konflik Satuan 1: Malam yang Tak Terduga dan Bangun Bersama CEO

"Apa-apaan ini?" Suara Aksel serak, penuh otoritas meski baru bangun tidur. Itu bukan pertanyaan, itu tuntutan.

Keira gagal menyusun kata-kata. Ia hanya bisa memeluk blus yang robek itu di dadanya. "Aku... aku minta maaf, Pak Aksel. Aku... semalam aku terlalu banyak minum," katanya, suaranya kecil dan memalukan.

Aksel langsung bangun. Ia tidak terlihat panik, hanya terlihat jijik dan marah. Ia meraih seprai untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, sorot matanya sedingin kutub utara.

"Minum? Kamu pikir ini alasannya?" Aksel menyandarkan diri ke sandaran ranjang. "Kamu tahu siapa saya, kan?"

"Tentu saja aku tahu! Bapak CEO-ku!" Keira hampir menangis. "Aku juga tidak mau ini terjadi! Aku benar-benar tidak ingat bagaimana aku bisa sampai di sini!"

Aksel mendengus. "Jangan naif. Wanita seperti kalian selalu punya skenario yang sama. Mabuk, lalu pagi hari pura-pura tidak ingat."

Kalimat itu menusuk Keira jauh lebih dalam daripada nyeri kepalanya. Wanita seperti kalian? Ia datang ke kelab hanya karena hidupnya sudah di ujung tanduk. Ia butuh pelarian, bukan skandal murahan.

"Aku bukan wanita seperti itu, Pak!" balas Keira, sedikit berteriak, air mata sudah menggenang. "Aku sudah bilang, aku tidak ingat. Tapi yang jelas, ini salah kita berdua. Aku akan pergi, dan kita lupakan ini."

Keira buru-buru memakai bajunya, berusaha agar tangannya tidak gemetar.

Konflik Satuan 2: Penolakan Dingin dan Tawaran Uang Tutup Mulut

Aksel melompat dari tempat tidur, mengambil jubah mandinya yang tergantung di belakang pintu, dan memakainya. Ia berjalan ke arah Keira, aura superioritasnya semakin kuat.

"Lupakan? Itu tidak semudah itu," katanya, suaranya kini tenang, namun jauh lebih berbahaya. "Kamu adalah karyawan saya. Perusahaan sedang berada di masa yang sangat sensitif. Jika ada satu saja gosip murahan tentang saya, semua rencana akan hancur."

Ia meraih dompet kulit hitam mahal di meja. Ia membuka ritsletingnya dan mengambil beberapa lembar uang kertas seratus ribuan yang tebal-segepok yang nilainya mungkin setara dua bulan gaji Keira.

Ia meletakkannya di nakas, di depan hidung Keira.

"Ambil ini," kata Aksel tanpa ekspresi. "Anggap ini kompensasi atas ketidaknyamananmu. Dan sebagai imbalannya, kamu lupa pernah melihat kamar ini, pernah melihat saya di luar kantor, dan lupakan semua yang terjadi semalam."

Keira menatap gepokan uang itu. Hatinya mencelos. Rasa harga dirinya, yang sudah remuk sejak ditinggal tunangan, kini benar-benar diinjak-injak. Ia tahu ia miskin, tapi ia tidak serendah ini.

"Aku tidak butuh uang Bapak," kata Keira, mendorong gepokan uang itu menjauh, tangannya gemetar.

Aksel mengangkat alisnya, terkejut dengan penolakan itu. "Jangan main-main, Keira. Berapa yang kamu mau? Sebutkan angkanya. Jangan buang waktu saya."

"Aku tidak menjual diriku, Pak Aksel!" Keira akhirnya menangis. Air matanya membasahi pipi. "Aku datang ke kelab karena aku depresi, bukan karena aku mencari mangsa kaya! Aku hanya ingin ini selesai tanpa aku merasa lebih kotor lagi!"

Keira menatapnya dengan mata berkaca-kaca, "Aku tidak akan bicara dengan siapa pun. Anggap saja ini kesalahan yang dibawa minuman sialan itu. Aku pergi sekarang."

Ia meraih tas selempangnya yang berisi ponsel dan kunci. Sebelum Aksel sempat menjawab, Keira berlari keluar dari kamar mewah itu, melewati lorong yang sunyi, dan mencari lift menuju lantai dasar. Ia tidak peduli jika ia terlihat gila, yang penting ia harus keluar dari sana.

Saat Keira menekan tombol lift, ia bisa mendengar Aksel memanggil namanya, lebih kesal daripada khawatir. "Keira! Tunggu!"

Keira tidak menoleh. Ia harus pergi sebelum ia menyesali seluruh hidupnya.

Konflik Satuan 3: Panggilan Tugas dan Ancaman Kebangkrutan Perusahaan

Begitu Keira berhasil keluar dari gedung apartemen supermewah itu dan menginjak trotoar yang ramai, ia menarik napas lega, meskipun udara Jakarta terasa panas dan menyesakkan. Ia menelepon taksi online.

Sambil menunggu taksi, ia membuka ponselnya. Ada notifikasi pop-up di layar.

Kepada seluruh staf PT Sagara Jaya.

Harap hadir dalam Rapat Darurat Seluruh Karyawan pagi ini pukul 09.00 WIB. Topik: Konsolidasi Keuangan dan Tinjauan Ulang Anggaran Masa Depan. Kehadiran wajib. Ini adalah masalah sangat krusial yang menentukan kelangsungan operasional perusahaan.

Mata Keira membaca kata-kata itu berulang kali: Rapat Darurat. Konsolidasi Keuangan. Kelangsungan Operasional.

Kepalanya yang sakit kembali berdenyut, bukan karena sisa alkohol, tapi karena kenyataan pahit. Inilah alasan utama kenapa ia harus kabur ke kelab tadi malam. Perusahaan, tempat satu-satunya ia bergantung hidup, sedang berada di ambang kehancuran.

"Sial, aku harus datang," gumam Keira.

Ia melihat jam, pukul 08.00. Masih ada waktu satu jam. Taksi tiba.

Di sepanjang perjalanan menuju kantor, Gedung Sagara Jaya yang menjulang tinggi, pikirannya terasa seperti roller coaster. Di satu sisi, ia baru saja tidur dengan CEO-nya yang dingin, menolak uangnya, dan lari seperti pengecut. Di sisi lain, ia harus segera berubah menjadi Keira, staf pemasaran yang profesional, yang siap menghadapi berita buruk tentang PHK massal.

Persetan dengan Aksel Sanjaya, putusnya dalam hati. Aku harus fokus pada pekerjaan. Jika perusahaan ini bangkrut, aku tidak punya apa-apa lagi.

Ketika ia masuk ke lobi Sagara Jaya, suasana terasa sangat berbeda. Biasanya ramai dan energik, kini sunyi dan tegang. Para karyawan berkumpul, berbisik-bisik ketakutan.

Keira buru-buru naik lift. Ia berpapasan dengan Desi, rekan kerjanya.

"Keira! Lo kenapa baru datang? Mata lo kenapa bengkak gitu?" Desi berbisik panik.

"Nggak apa-apa, Des. Semalam aku nggak bisa tidur," Keira berbohong.

"Lo harus tahu. Gosipnya, hari ini bakal diumumkan, kalau nggak bangkrut, ya minimal PHK 70% karyawan," kata Desi dengan wajah pucat.

Keira hanya mengangguk, hatinya tenggelam. Ia sudah mendengar desas-desus itu. Tapi mendengar angkanya, 70%, terasa seperti tinju di perut.

Keira melirik ke ruang rapat besar. Semua orang sudah duduk, termasuk petinggi-petinggi yang wajahnya tampak kusut. Di sana, di podium utama, sudah berdiri tegap Aksel Sanjaya.

Aksel, dengan setelan jas mahal yang rapi sempurna, tampak seolah ia tidak tidur semalam, seolah ia baru saja menyelesaikan transaksi senilai triliunan, bukan baru bangun setelah tidur dengan stafnya.

Tatapan mereka bertemu.

Meskipun Aksel berbicara tentang angka, saham, dan kerugian, matanya seolah mengirim pesan hanya untuk Keira: Kamu tidak bisa lari dari masalah ini, Keira. Kita berdua terjebak.

Keira menatap kembali, berusaha keras menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. Di depan semua orang, ia adalah Keira, karyawan, bukan wanita yang berbagi ranjang dengan bosnya.

Rapat dimulai. Aksel berbicara dengan suara baritonnya yang mematikan, menjabarkan kegagalan besar dalam proyek investasi yang menyebabkan kerugian fantastis.

"Perusahaan ini tidak bangkrut," ujar Aksel, suaranya dingin, memecah kesunyian tegang. "Tapi kita harus melakukan konsolidasi radikal. Akan ada restrukturisasi besar."

Aksel melanjutkan dengan rencana pemotongan anggaran yang ekstrem. Keira menyimak, tetapi benaknya terbagi. Ini adalah pria yang baru saja ia cium, pria yang menawarkan uang tutup mulut, dan sekarang pria yang memegang nasib seluruh hidupnya.

Ketika rapat selesai, Keira cepat-cepat keluar, ingin segera kembali ke meja kerjanya dan berpura-pura semua baik-baik saja.

Namun, belum sempat ia mencapai pintu, ia mendengar panggilan yang membuat seluruh darahnya membeku.

"Keira."

Itu suara Aksel. Semua mata menoleh padanya.

Keira berbalik perlahan. Aksel menghampirinya, tidak peduli dengan tatapan puluhan karyawan yang bertanya-tanya.

"Ada yang harus kamu kerjakan dengan saya di kantor saya," kata Aksel, suaranya rendah dan tegas, tidak memberikan ruang untuk penolakan. "Ikut saya."

Keira tahu, drama yang sebenarnya baru saja dimulai. Ia tidak hanya harus berjuang untuk menyelamatkan pekerjaannya, ia harus berjuang untuk tidak menyerah pada tekanan CEO yang sekarang adalah mantan one-night stand-nya. Dan semua ini harus ia lakukan sambil menahan rasa sakit hati karena diperlakukan seperti barang murahan. Nasib sialnya benar-benar tak terhindarkan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh reger

Selebihnya

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku