Pernikahan Hanya Sandiwara

Pernikahan Hanya Sandiwara

reger

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

Seharusnya pernikahan adalah awal kisah bahagia, namun bagi seorang perempuan sederhana bernama Kania, ikatan suci ini justru menjadi neraka. Dinikahkan atas dasar wasiat keluarga, Kania harus menerima perlakuan kejam, kasar, dan diperlakukan layaknya seorang pembantu oleh suaminya, Rendra, beserta seluruh keluarganya. Meskipun hatinya hancur berkeping-keping, Kania memilih untuk menahan semua penderitaan itu. Alasan terkuatnya hanya satu: demi kesembuhan adiknya yang sakit-sakitan harga yang harus ia bayar agar adiknya mendapat pengobatan. Di tengah kegelapan hidupnya, munculah secercah cahaya. Seorang pria bernama Davian memasuki kehidupannya. Kehadiran Davian membawa perubahan dan kehangatan yang telah lama hilang. Perlahan, benih-benih cinta mulai tumbuh, dan Davian menaruh hati pada Kania. Akankah Kania terus bertahan dalam pernikahan yang menyiksanya demi janji lama dan adiknya? Atau, apakah ia akan berani memilih kebahagiaannya sendiri dan menyambut cinta dari pria yang tulus mencintainya?

Bab 1 Rumah megah

Jantung Kania selalu terasa seperti es yang retak setiap kali mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah. Rumah megah, bak istana, tapi baginya ini adalah sangkar dingin yang penuh jeritan senyap. Bukan rumah, melainkan penjara. Penderitaan ini dimulai tepat enam bulan lalu, hari di mana ia dipaksa mengenakan gaun putih paling indah dan mengucap janji suci di hadapan semua orang. Janji yang terasa basi bahkan sebelum ia mengucapkannya.

"Cepat! Apa kamu tuli? Kenapa teh ini dingin sekali?!"

Suara berat dan menusuk itu, milik Rendra, suaminya. Atau lebih tepatnya, si pemilik sah penderitaannya.

Kania terperanjat, buru-buru menunduk. Tangan kurusnya gemetar memegang nampan perak. Udara di ruang tamu itu begitu tebal, dipenuhi aroma kopi mahal dan bau arogansi. Di sofa, duduk Rendra, dengan tatapan mata yang tak pernah menunjukkan kehangatan. Di sebelahnya, ada Mertua Kania, Nyonya Besar Ratna, yang selalu menatap Kania seolah ia adalah kotoran di bawah sol sepatu mahalnya.

"Maaf, Mas. Saya akan segera ganti." Kania berusaha agar suaranya tidak bergetar. Bergetar sedikit saja, hukuman yang didapat bisa berlipat ganda.

Rendra mendengus kasar. "Dasar perempuan bodoh. Teh saja tidak becus. Apa gunanya kamu di rumah ini selain menghabiskan jatah oksigen?"

Nyonya Ratna ikut menimpali, suaranya melengking tajam, "Dengar itu, Kania. Jangan pernah lupa posisimu. Di rumah ini, kamu hanya pelayan yang kebetulan berstatus istri. Jangan samakan dirimu dengan menantu lain yang berpendidikan tinggi."

Kania mengepalkan jemari di balik punggung. Ucapan itu adalah menu harian, sarapan, makan siang, dan makan malamnya. Ia sudah mati rasa, tapi setiap kata itu tetap meninggalkan bekas luka baru. Ia tahu ia hanya perempuan kampung yang didatangkan ke rumah ini karena "Wasiat Konyol" yang dibuat mendiang kakek Rendra, yang entah bagaimana, hanya dia yang bisa memenuhinya. Kania tak pernah tahu detail pastinya. Ia hanya tahu, pernikahan ini adalah kontrak, dan ia adalah budak bayaran.

Saat Kania berbalik menuju dapur, Rendra melemparkan majalah tebal yang baru ia baca, mendarat tepat di punggung Kania.

Malam harinya, setelah semua tugas rumah selesai, Kania baru bisa menyentuh telepon genggamnya yang usang. Ia membuka galeri, melihat foto adiknya, Bintang. Bintang yang tersenyum lemah, terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang-selang di sekitarnya. Melihat wajah Bintang adalah satu-satunya alasan ia masih bernapas, masih kuat menelan semua hinaan dan perlakuan kasar.

Bintang sakit parah, penyakit langka yang butuh biaya pengobatan ratusan juta. Dan keluarga Rendra, melalui wasiat itu, adalah pihak yang menanggung penuh semua biaya.

Kania menghela napas panjang. Ia harus kuat. Ini semua demi Bintang.

Tiba-tiba, pintu kamar didobrak keras. Rendra masuk dengan wajah merah padam. Jelas, ia baru saja minum lagi.

"Kamu, dari mana saja?!" bentaknya, menarik kasar rambut Kania hingga kepala Kania mendongak.

"Di dapur, Mas. Saya baru selesai mencuci piring..."

"Dapur?!" Rendra tertawa sinis. "Sejak kapan pembantu bisa mencuci piring sampai selarut ini? Jangan bohong. Tadi siang, kamu bertemu siapa di luar?"

Kania membeku. Ia ingat, tadi siang saat ia disuruh membeli kebutuhan mendadak, ia sempat berpapasan dengan seorang pria di minimarket, dan pria itu-seorang asing-sempat membantunya memungut barang belanjaan yang jatuh. Itu saja. Hanya beberapa detik.

"Saya tidak bertemu siapa-siapa, Mas. Saya hanya di minimarket."

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Kania. Panas, perih, dan memekakkan. Air mata Kania tumpah, namun ia tak berani mengeluarkan suara isak.

"Jangan anggap saya bodoh! Saya lihat CCTV di luar! Kamu berani menggoda pria lain saat kamu adalah istri sah saya?! Ingat Kania, kamu milik saya! Sampai saya bosan dan membuangmu!" Rendra mencengkeram rahang Kania.

"Saya tidak menggoda siapa-siapa, Mas. Saya mohon..."

"Diam!" Rendra mendorong Kania ke dinding. "Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu berkhianat? Malam ini juga, Bintang akan saya pindahkan dari rumah sakit terbaik itu ke puskesmas kumuh. Biaya perawatannya akan saya hentikan. Kamu mau adik kesayanganmu mati, hah?"

Ancaman itu selalu berhasil. Ini adalah kartu mati Rendra. Mendengar nama Bintang, Kania langsung merosot ke lantai, menangis tanpa suara. Tamparan tidak seberapa sakit dibandingkan ketakutan kehilangan Bintang.

"Tolong, Mas. Jangan lakukan itu pada Bintang. Saya janji, saya tidak akan bertemu siapa-siapa lagi. Saya akan melakukan apa pun yang Mas mau." Kania memohon dengan suara serak.

Rendra menatap tubuh Kania yang bergetar di lantai dengan pandangan puas. Kekuasaan. Ia suka melihat Kania tak berdaya.

"Bagus. Sekarang, berdiri. Dan jangan pernah lupa, kamu itu hanya boneka di rumah ini. Milik saya. Dan jangan pernah berani menolak sentuhan saya, karena itu juga bagian dari kontrakmu."

Kania menutup mata. Ia merasakan jijik yang tak terhingga, tapi ia membiarkan Rendra melakukan apa yang ia mau. Membiarkan dirinya menjadi benda mati. Ini adalah harga yang harus ia bayar agar Bintang tetap hidup. Di balik kemewahan rumah ini, di dalam kamar yang seharusnya menjadi saksi cinta, hanya ada pemaksaan, ketakutan, dan air mata yang mengering setiap malam.

Keesokan paginya, Kania harus tetap menjalankan peran sempurna sebagai menantu, meskipun wajahnya lebam dan hatinya hancur. Ia menyiapkan sarapan, menyetrika baju Rendra, dan membersihkan setiap sudut rumah. Tubuhnya terasa remuk redam, tapi ia memaksakan diri.

Saat sedang membersihkan taman belakang, ia mendengar percakapan antara Nyonya Ratna dan Ibu Mertua.

"Aku tidak mengerti, Bu. Kenapa Kania masih di sini? Rendra sudah punya kekasih, kenapa harus menahan perempuan kampung itu?" tanya Ibu Mertua, suara berbisik tapi cukup terdengar.

Nyonya Ratna menyesap tehnya dengan anggun. "Sabar, Sayang. Sampai kontrak itu selesai. Kita butuh dia. Ingat, hanya dengan dia, kita bisa menguasai semua aset warisan Kakek. Jika kita menceraikannya sekarang, wasiat itu akan batal, dan semua aset jatuh ke tangan yayasan. Kita tidak bisa biarkan itu terjadi."

"Tapi Rendra sudah semakin tidak sabaran dengannya."

"Biarkan saja. Selama dia tidak membunuh anak itu, itu baik. Perempuan seperti Kania itu gampang diatur. Cukup ancam adiknya yang sakit, dia akan patuh seperti anjing terlatih." Nyonya Ratna tertawa jahat.

Kania yang mendengar itu, hatinya seperti tertusuk belati es. Jadi, ini semua tentang aset dan warisan. Bukan sekadar wasiat kosong. Pernikahan ini, penderitaannya, semua hanyalah strategi licik untuk memindahkan kekayaan. Kania bukan istri. Dia adalah kunci, objek, alat tawar-menawar. Dan yang paling menyakitkan, mereka menggunakan Bintang-adiknya-sebagai rantai untuk mengikatnya.

Kania menyandarkan diri di pohon. Air matanya tak keluar, tapi dadanya terasa sesak sampai ia sulit bernapas. Kania menyadari, ia tidak hanya terjebak dalam pernikahan yang kejam, tapi ia adalah korban dari permainan kotor yang jauh lebih besar dan rumit daripada yang ia bayangkan. Penderitaannya di rumah ini, di mata mereka, adalah hal yang sangat murah dan sebanding dengan miliaran rupiah aset yang mereka incar.

Ia harus mencari cara, mencari celah. Tidak hanya untuk dirinya, tapi untuk Bintang. Tapi bagaimana? Di rumah sebesar ini, ia bahkan tak punya teman bicara. Ia benar-benar sendirian, terisolasi, dan tak berdaya. Babak baru penderitaan Kania baru saja dimulai, dan ia tahu, hari-hari di depan akan semakin gelap.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh reger

Selebihnya

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku