Astrid Mandala, seorang gadis yang dikhianati kekasihnya menjelang hari pernikahan. Terpaksa meninggalkan kampung halaman, demi menutupi rasa sakit dan malu akibat gagalnya pernikahan. Di kota besar, Astrid yang diterima kerja di sebuah perusahaan periklanan. Bertemu dengan Ronald Chaniago, seorang pemuda pecandu narkoba, yang juga merupakan putra dari pemilik perusahaan di mana Astrid bekerja. Sebuah tasbih menjadi satu-satunya benda yang diperhatikan Ronald. Pemuda yang telah kehilangan sebagian kewarasannya akibat narkoba. Tasbih yang tak pernah lepas dari genggaman tangan Astrid, tentunya. Akankah tasbih ini mempertemukan hati Ronald dan Astrid kededannya?Atau justru Ronald harus berakhir akibat over dosis?
"Astrid, ikut aku!"
"Hey, ada apa ini? Jangan tarik-tarik hey, sakit!" rintih gadis yang dipanggil Astrid itu.
"Kau harus berjanji bahwa kau akan sanggup bertahan, ok!" Novi sang sahabat yang tengah bersemangat hendak menunjukkan sesuatu pada sang gadis.
Astrid hanya bisa pasrah. Percuma melawan Novi, wanita pecicilan yang tidak ada anggun-anggunnya sedikit pun.
"Ada apa sih?" kesal Astrid menatap sebal sang sahabat. Sayangnya wajah Novi, sama sekali tidak bersahabat. Aneh sekali memang.
"Dengar!" Novi memegang kedua bahu sang sahabat. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sedang tidak becanda. "Kau harus kuat! Kau masih muda dan kau sangat cantik. Ingat!" tegasnya, menatap tajam Astrid.
"Jangan membuat aku takut, please ada apa sih?" tanya Astrid penasaran.
"Ini mengenai si Arman," ucapnya. Tatapan matanya menyiratkan bahwa Astrid sudah siap menerima kabar dari calon suaminya yang tinggal beberapa minggu lagi akan melangsungkan pernikahan dengannya.
"Ada apa dengan mas Arman?" Astrid semakin penasaran dengan teka teki Novi.
"Ikut saja," lanjutnya. Tangannya menuntun tangan Astrid agar mengikutinya.
"Tapi mas Arman sedang tidak berada dirumahnya, Vi!" beritahunya.
"Ha ha ha, tidak ada di rumah? Kata siapa?" ejek Novi.
"Dia semalam pamit akan mengantar barang ke daerah Subang," jawab Astrid apa adanya.
"Hah, gila! Ngantar barang apa ambil barang?" ucap Novi, emosi.
"Hey, kau marah-marah terus. Nanti cepet tua, ada apa sebenarnya?" tanya Astrid lagi.
"Sudahlah, kita lihat saja apa benar si brengsek itu tengah PERGI ANTAR BARANG seperti yang dibilangnya kepadamu, Trid!"
Astrid sedikit takut dengan wajah Novi kali ini. Novi telah menikah dengan Dedi selama lima tahun, sayangnya mereka belum di karuniai keturunan. Sementara Astrid, di usianya yang baru dua puluh dua tahun ini belum menikah.
Rencananya, dua minggu lagi dirinya akan dipersunting Arman subagja, sang kekasih, seorang duda anak satu dengan propesi sopir truk. Meski demikian, Astrid yang masih gadis tidak pernah mempermasalahkan status Arman yang jelas lebih tua sepuluh tahun darinya.
Arman Subagja, terkenal sebagai pria yang sopan, supel dan ramah pada siapa saja. Pertemuan pertama kali dengan Astrid saat sang gadis pulang kerja dan kehujanan. Arman yang kebetulan melewati jalan yang sama dengan Astrid berinisiatif mengajak gadis itu pulang bareng dengannya.
Dari obrolan yang nyambung, kemudian semakin seringnya pertemuan keduanya. Akhirnya, Arman menyatakan perasaannya pada Astrid. Berhubung keluarga Astrid yang memegang teguh agama, maka Pak Badri selaku ayahand Astrid meminta Arman untuk menikahi dulu anak gadisnya itu.
Layaknya pria sejati, Arman tidak menolak. Bahkan dia dengan semangat menggembar gemborkan rencana pernikahannya dengan Astrid.
"Sekali lagi ku tekankan padamu, Trid. Kuatkan mental, ok!" Untuk kesekian kalinya Novi mengingatkan sahabatnya itu.
Astrid hanya terdiam, hanya ingin menyaksikan apa yang akan ditunjukkan Novi kepadanya. Tidak dipungkirinya, hatinya cukup berdebar-debar. Mengingat Novi begitu menggebu penuh amarah. Astrid tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dia pun tidak mau menduga-duga.
Begitu sampai dirumah yang dituju, Astrid merasa aneh dengan perangai saudara-saudara Arman saat melihat kedatangannya. Semakin menambah rasa curiga di hatinya. Tapi Astrid tetap bertahan untuk tidak mencari tahu terl;ebih dahulu. Biar saja Novi yang akan menunjukkan kepadanya sebuah kebenarannya.
"Lihat!" tunjuk Novi pada seorang wanita asing yang tengah berbadan dua yang sedang menjemur pakaian Arman dan pakaian perempuan yang sepertinya pakaian milik wanita itu.
"Cari siapa?" tanya wanita tersebut.
"Mana si Arman sialan itu?" tanya Novi garang.
"Ada apa dengan mas Arman, ya?" tanya wanita itu lagi, bingung.
Astrid sendiri susah payah menahan derai air matanya. Sedikitnya dia mulai paham dengan apa yang sedang ditunjukkan Novi kepadanya. Bayangan pesta pernikahan dua minggu mendatang sirna sudah.
Arman yang mendengar keributan di luar rumahnya, segera melihat apa yang terjadi. Betapa kagetnya Arman saat melihat Astrid berdiri di belakang Novi yang sedang berkacak pinggang di depan rumahnya. Matanya sudah berkaca-kaca, Arman segera berjalan mendekat ke arah sang kekasih.
"Astrid?"
Sayangnya, Astrid langsung pergi begitu saja. Tidak mau mendengar apapun penjelasan dari sang kekasih yang nyatanya telah tega berkhianat. Hati mungilnya cukup terluka dengan apa yang telah dilihatnya.
"Astrid tunggu!"
Arman yang mencoba mengejar Astrid di cegah oleh Novi. Meski perempuan, tapi tenaga Novi tak main-main. Tubuh tinggi kekar Arman dibanting hanya dengan satu kali hentakan saja.
"Bang Arman!" pekik wanita hamil itu. Berusaha menolong Arman terjungkal dengan bokong yang menyentuh tanah terlebih dahulu.
"Siapa mereka Bang?" tanya sang wanita yang masih terdengar telinga Novi yang tajam.
"Bajingan!" jawab Novi sambil mendelik ke arah pasangan itu. Kakinya segera melangkah meninggalkan kedua orang tersebut membawa amarah yang membuncah.
***
Di tempat kerjanya, Astrid tampak melamun. Dirinya yang dipercaya sebagai kepala gudang terlihat termenung seorang diri di ruangannya. Tidak menyangka bahwa kisah cintanya lagi-lagi berakhir tragis.
"Astagfirullah," keluhnya. Menarik napas terasa berat.
Terbayang ramainya ocehan para tetangga jika tahu dirinya membatalkan rencana pernikahannya. Dirinya yang terlanjur di cap sebagai perawan tua, tentu akan menambah daftar panjang ejekan orang-orang kepadanya.
"Trid, Astrid!"
Novi menggedor-gedor pintu ruangan Astrid. Tentu dia khawatir jika Astrid akan berbuat nekad. Mengingat rencana sang sahabat yang akan segera melepas masa lajangnya.
"Sebentar," teriak Astrid yang tidak mau suasana kantor tambah gaduh dengan teriakan sang sahabat yang memanggil dirinya.
Astrid segera membukakan pintu, dan ia segera mendapatkan pelukan hangat sang sahabat. Hal itu semakin membuat dirinya merasa pedih tak terkira.
Setelah sekian lama saling berpelukan untuk saling mengautkan. Novi perlahan melepaskan sang sahabat, "lupakan dia. Kau pasti akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari pada si bajingan itu," ucapnya berusaha menguatkan Astrid yang diketahui sedang rapuh.
Astrid mengangguk menyetujui ucapan sang sahabat. Seharusnya dirinya bersyukur, hal ini diketahui sebelum mereka sah menjadi suami istri. Tidak terbayang jika hal ini terbongkar setelah mereka menikah. Apakah dirinya rela jika harus menjalani hidup dengan seorang madu.
"Aku tahu," jawabnya sambil menundukkan kepalanya.
Walau bagaimana, tetap saja hatinya potek mengetahui fakta ini. Terlebih warga dan bahkan teman-teman sekantornya sudah pada tahu rencana mereka dua minggu ke depan.
"Nov ... Aku sepertinya kan mengundurkan diri dari sini," ungkapnya sambil menunduk. Demi apapun juga, Astrid tak mampu menatap wajah sang sahabat. Dirinya pasti akan dianggap sebagai wanita yang lemah.
"Apa?"
Benar kan, Novi kaget dengan keputusan yang diambil Astrid saat ini. Pasti Novi akan menolak dan tidak akan mengijinkan dirinya memutuskan mundur dari jabatannya saat ini. Bukan hanya karena tidak mau tahu urusan hati Astrid, melainkan karena Astrid selangkah lagi akan mendapatkan fasilitas dari kantornya itu.
Koko Bandi selaku pemilik perusahaan tempat Astrid bekerja, tengah menyiapkan sebuah rumah untuk Astrid di dekat kantornya.
Mengingat kinerja Astrid yang totalitas selama ini, sehingga sang Bos tak segan mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Bukan hanya itu saja, Astrid pun akan diberikan inventaris berupa sebuah mobil. Agar jika sewaktu-waktu dirinya harus mengantarkan sendiri hasil produksi ke para konsumennya.
Selama ini memang sering kejadian, orderan yang membludak membuat Astrid turun tangan membantu para kurir mengantarkan sendiri pesanan para konsumennya. Tiga kurir nyatanya sering tidak cukup untuk mengirimkan pesanannya. Astrid sering mengantarkan pesanan yang diprediksi tidak akan terkirim oleh para kurir, menggunakan mobil Koko Bandi, tentunya.
"Jangan gila, trid!" bentak Novi.
Novi orang pertama yang akan menggagalkan rencana sang sahabat. Tentunya, dia tak mau jika harus bekerja sama dengan selain Astrid. Di kantornya, banyak sekali yang menginginkan jabatan Astrid. Tentu saja, mereka tergiur kala melihat bagaimana pedulinya Koko Bandi kepada Astrid.
"Aku gak akan kuat, Nov!" isak Astrid yang sudah tidak bisa membendung kesedihannya. Tubuhnya meluruh mengiringi setiap isakan yang menyayat hati.
Astrid sudah tidak mampu lagi menguasai dirinya. "Kita pulang aja, yuk! Tenangin diri dulu," ajak Novi. Walau bagaimanapun, dia tidak tega melihat sahabatnya patah hati seperti ini.
Astrid mengangguk setuju, dirinya segera berkemas. Tidak lupa meminta ijin terlebih dahulu kepada sang Bos. Meski dirinya tidak berada di tempat, tapi baik Astrid maupun Novi tahu diri. Sehingga setelah mendapat ijin, barulah mereka pun segera pergi meninggalkan kantornya.
"Astrid!"