Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
100
Penayangan
10
Bab

Kehidupan Cinta berubah drastis ketika ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Sifat Cinta benar-benar sangat dingin dan tak tersentuh. Cinta terlibat pergaulan bebas membuat kepala ayahnya menjadi pening. Berbagai macam cara telah ayah Cinta lakukan untuk merubah pribadi Cinta, tapi tetap saja tak ada yang berhasil. Hingga pada akhirnya, ayah Cinta mendatangkan Sabda, teman kecil Cinta untuk membantunya mengubah sifat Cinta. Akankah Sabda berhasil membuat pribadi Cinta lebih baik?

Bab 1 Semua Tampak Berbeda

Brumm ... Brumm ... Brumm ...

Suara motor saling bersahut-sahutan. Beberapa motor itu telah berjejer rapi di depan sang wasit.

"Ayo, Cinta. Kamu pasti menang, Sayang!"

Cinta menoleh ke arah suara, dia tersenyum tipis di balik helmnya. Farel, kekasihnya selalu memberikan support untuknya.

"Tiga ... dua ... satu, go!"

Semua motor pun saling melaju, mencari posisi agar menjadi yang terdepan. Cinta salah satunya. Wanita itu sangat lihai mengendarai motornya, menyalip beberapa motor, dan kini posisinya berada yang paling terdepan.

Cinta berteriak senang. Tidak ada yang bisa menandinginya, selama ini dialah yang selalu menjadi nomor satu, walaupun hanya dia sendiri sebagai wanita.

Ponsel Cinta terus berdering membuat Cinta menggeram kesal. Sedikit lagi dia akan mencapai finish, tapi ponselnya terus saja berdering, membuat Cinta mengumpat keras.

Cinta menoleh ke belakang, motor yang lainnya masih jauh, bahkan tak terlihat. Dengan buru-buru Cinta mengeluarkan ponselnya yang berada disaku celananya. Cinta mendengkus keras ketika ayahnya yang meneleponnya.

"Halo," jawab Cinta dengan malas.

"Kamu di mana? Ini sudah malam. Pulang cepat!" bentak Ricko dari seberang sana.

Cinta memutar bola matanya malas.

"Aku sibuk!" jawab Cinta ketus.

"Pokoknya Ayah bilang pulang ya pulang. Kamu itu perempuan, nggak baik keluyuran malam-malam! Ayah tunggu kamu di rumah, setengah jam belum pulang, siap-siap saja uang sakumu Ayah tahan."

"Yah, jangan gitu dong-- ah, sial!" decak Cinta ketika sambungan telepon itu terputus.

Cinta melihat sudah banyak motor yang berlalu lalang, rasanya juga percuma jika dia akan melanjutkan, karena Cinta yakin pasti dia akan kalah. Daripada dia menanggung malu, lebih baik dia berputar arah, mencari jalan pintas agar tak ada yang melihatnya.

Sepanjang perjalanan, Cinta selalu mengumpat keras, bagaimana tidak, ayahnya menggagalkan rencananya yang sudah dia rencanakan secara matang-matang. Rasanya sia-sia karena dia sudah bekerja dengan keras, dan sialnya perjuangannya seketika lenyap karena telepon dari ayahnya.

Harusnya tadi Cinta mematikan ponselnya agar tak ada yang mengganggu konsentrasinya, nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi, apa boleh buat.

Kini Cinta sudah berada di depan rumahnya, berkali-kali wanita itu menghela napas panjang, entah kenapa ketika ingin memasuki rumah itu membuat hatinya sedih.

Sedih karena tak ada lagi omelan bundanya yang setiap hari dia dengar. Sedih karena tak ada lagi senyuman hangat dari sang ayah, dan juga sedih karena saat ini ada orang asing yang tengah berbahagia di atas penderitaannya.

Cinta menundukkan kepalanya, berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri bahwa dia adalah wanita yang kuat. Masuk ke rumah ini berarti dia harus kuat mental, siap mendapat tatapan sinis dari ayahnya, siap mendapat cemoohan dari mama sambungnya, dan juga siap difitnah oleh saudara tirinya.

Cinta kembali menatap lurus ke depan, berjalan mendekat menuju ke arah pintu, kemudian membuka pintu itu secara perlahan.

Sudah dia duga, ayahnya sedang berdiri tak jauh dari hadapannya dengan melipatkan kedua tangannya, akan tetapi saat ini ayahnya tidak sendiri, ada seorang pria yang Cinta tidak kenal.

Tatapan Cinta dan pria itu pun bertemu, pria itu tersenyum lebar pada Cinta, sedangkan Cinta melengos.

"Aku sudah pulang," ujar Cinta pelan.

"Kamu terlambat 45 menit, sesuai perjanjian, uang saku akan Ayah potong!" tandas Ricko.

Cinta menatap Ricko dengan tajam seraya tersenyum kecut. Wanita itu menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Ya, potong saja sepuas hati Ayah, lebih baik Ayah tidak usah lagi memberikanku uang saku. Owh, kenapa tidak sekalian Ayah usir saja aku, biar Ayah puas dengan keluarga baru Ayah," cerca Cinta sambil tersenyum pongah.

"Cinta!" hardik Ricko.

Cinta melihat pria itu tengah menenangkan ayahnya, tanpa berlama-lama wanita itupun langsung pergi meninggalkan mereka berdua, mengabaikan teriakan ayahnya yang terus saja memanggil namanya.

Saat ini tujuannya hanya satu, yaitu kamar. Di mana tempat wanita itu untuk berkeluh kesah, menjerit, tertawa, menangis, maupun bahagia. Hanya kamarnya yang menjadi saksi bisu tentang bagaimana suasana hatinya.

Cinta membuka pintu kamar itu dengan tergesa, lalu menutupnya dengan sekencang mungkin, biarlah jika terdengar oleh Ricko, biar Ricko tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Ya Tuhan, anak itu," gumam Ricko sambil memijit kepalanya yang terasa sakit.

"Om tidak apa-apa? Sebaiknya kita duduk saja," tawar pria itu.

Ricko mengangguk pelan, mereka berdua pun berjalan menuju sofa.

"Om bingung harus bagaimana lagi agar Cinta nurut dengan kata-kata Om. Jujur saja Om takut jika Cinta terjebak terlalu jauh dalam dunia malamnya," keluh Ricko.

Pria itu diam saja, tak berani mengucapkan satu kata pun. Walau bagaimanapun juga dia tak berhak mencampuri perdebatan antara ayah dan anak itu. Biarlah dia menjadi pendengar yang baik.

"Aku yakin kalau Cinta tak akan seperti itu, Om," jawab pria itu setelah terdiam cukup lama.

Ricko menatap pria itu dengan pandangan tak terbaca.

Sabda Pramudya, pria itu adalah teman masa kecil Cinta, ketika Cinta masih kecil, tak henti-hentinya putrinya berceloteh mempunyai teman baik seperti Sabda.

Namun, seiring berjalannya waktu mereka akhirnya berpisah. Orang tua Cinta memutuskan untuk pindah agar ekonomi mereka semakin maju.

Dan kini mereka berdua dipertemukan kembali, Sabda melihat tatapan Cinta yang begitu terluka ketika mata mereka saling bertemu. Entahlah, Sabda hanya menduga saja, dan Sabda yakin bahwa Cinta saat ini tidak mengenalnya. Terlihat sangat jelas ketika cara Cinta menatapnya. Dulu Cinta menatapnya dengan senyum lebarnya, sekarang wanita itu menatapnya dengan dingin.

Cinta yang dia kenal periang kini sangat jauh berbeda.

"Om juga berpikir seperti itu, tapi ...."

Ricko menggeleng pelan sambil menunduk, bagaimana bisa dia akan berpikir positif, sedangkan pergaulan Cinta yang cukup bebas.

"Aku kenal Cinta dari kecil, jadi aku tahu seperti apa sifat Cinta, meskipun wanita itu keras kepala, akan tetapi dia pasti akan menurut apa kata orang tuanya," imbuh Sabda.

Ricko tertawa pelan ketika mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Sabda.

"Ya, kau benar, Sabda. Cinta itu keras kepala, meskipun demikian dia akan menuruti semua perintahku. Jika aku bilang iya maka dia akan melakukannya, dan jika aku bilang tidak pasti tidak akan dia kerjakan. Hanya saja itu dulu, sekarang telah berbeda," jelas Ricko dengan suara lirih.

Ya, Sabda melupakan satu fakta bahwa yang dia ingat ketika Cinta masih kecil, jelas sangat berbeda dengan Cinta yang sudah dewasa. Benar yang dikatakan oleh Ricko, semuanya tampak berbeda.

"Jadi, kamu sudah tahu, kan, kenapa Om panggil kamu sini?" tanya Ricko sambil menatap Sabda.

Sabda menggeleng. "Tidak, Om," jawab Sabda kalem.

Ricko menghela napas panjang. "Sabda," panggil Ricko.

"Ya, Om?"

"Tujuanku memanggilmu ke sini untuk menjaga Cinta, mengikuti ke mana Cinta pergi, dengan siapa dia pergi, dan apa saja yang Cinta lakukan selama berada di luar rumah. Kamu mau, kan, Sabda? Membantu Om agar Cinta tidak salah arah?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Nona Ekha

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku