Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
627
Penayangan
28
Bab

Gadis desa yang cantik dan baik hati. Anak dari seorang petani, namanya Seroja Wijaya. Tinggal di salah satu kampung di tanah Sunda, sebagai bunga desa jelas dia jadi rebutan para jejaka di sana. Bahkan ada juga pria kota hendak meminangnya. Namun dia selalu menolak dengan alasan belum ingin menikah. Hingga satu hari ia dijodohkan sama abahnya dengan seorang juragan sayuran dari kampung sebelah. Mereka pun menikah, tapi pernikahannya berujung perceraian. Sebab Seroja hanya mendapat kekecewaan saja, dan pada akhirnya dia bertemu dengan teman masa kecil Seroja, yang bernama Alzidan. Dulu dia pindah dari desa dan menetap di kota. Akhirnya mereka pun menikah dan hidup bahagia.

Bab 1 Si bunga desa

"Za kapan kau akan menyusul Sinta untuk menikah," tanya seorang teman yang beranama Resti.

"Huuh ... kau pikir nikah itu ajang perlombaan apa?" kalau belum menemukan yang cocok ya santai aja. Jodoh. Rezeki, maut sudah ada yang tentukan, dan nama jodoh kita sudah tertulis di sana nya," sahut gadis berjilbab kream itu.

"Iya sih, tapi kan kamu itu di gilai sama banyak laki-laki. Masa gak ada satu pun yang kau pilih, sayang loh ... ganteng-ganteng, kasep pisan lah, neangan nu kumaha dai ari Neng Eza atuh nya?" timpal teman yang satunya.

"Bukan cuma ganteng atau pun kasep. Tapi seseorang yang aku mau, jelas? udah ah, dah sore Eza pulang dulu ya. Takut dicari umi sama Abah kasian," Eza pulang meninggalkan teman-temannya.

"Hem ... si Eza teh cantik. Bunga desa, banyak yang mengejar mengemis cintanya. Tapi tak satupun yang dia terima, coba saya yang jadi pujaan para laki-laki. Pasti saya bahagia," gumam Resty sambil memeluk guling.

"Itu mah kamu, dia mah tidak begitu. Mungkin belum waktunya saja."

Eza sudah sampai di rumah yang lumayan sederhana. Langkah Eza terhenti oleh suaranya sang ibu, "Dari mana Neng jam segini baru pulang?"

"Eeh umi, kan Eza sudah bilang. Mau ke rumah Resty Mi, lagian sekarang, kan Eza pulang belum magrib juga," sahut Eza sambil mencium punggung tangan Bu Marni sang Bunda.

"Ya udah. Masuk atuh, ambil air wudu. Bentar lagi magrib," ujar Bu Marni lagi.

"Iya Umi, oya Abah ke mana?" tanya Eza pada uminya.

"Abah sudah pergi ke masjid, sama si Fikri," sahut Uminya.

Fikri adalah adik yang paling dekat dengan Eza, dan mereka tiga bersaudara, Eza berusia 23 tahun, Fikri 20 tahun, dan Zikri 15 tahun.

Selepas sholat magrib. Eza membaca ayat-ayat Allah, disudahi dengan membaca doa, meminta segala kebaikan.

"Eza mana Mi? suruh ke sini, kita ngobrol-ngobrol sebentar. Ada yang ingin Abah bicarakan," suara berat Abah Bani ya itu Abahnya Eza.

"Ada di kamar nya. Sebentar Umi panggilkan," lirih Bu Marni turun dari kursi butut nya hendak memanggil anak sulung mereka.

"Neng ... Neng Eza," Umi Marni mengetuk pintu kamar Eza yang tertutup.

"Iya Mi, ada apa? sebentar," Eza menyimpan mukena dan mengambil kerudungnya.

Pintu terbuka, Uminya berdiri di depan pintu menatap putrinya itu. "Ada apa Mi? kalau menyuruh Eneng makan, Neng masih kenyang Umi," rengek Eza sambil mengelus perutnya yang rata.

"Bukan, itu Abah katanya mau bicara. Mau ngobrol sama Neng," ucap Umi Marni dengan suara sangat lirih.

"Oh ..." Eza mengikuti langkah Uminya yang lebih dulu berjalan ke ruang tengah, menghampiri Abah. Suaminya Umi Marni.

"Ada apa Bah? asa rarewas ihh, apa Neng ada salah ya?" tanya Eza menatap sang ayah.

"Ah nggak. Abah mah cuma ingin ngobrol saja atuh sama Eza. Emangnya gak boleh?"

"Ya boleh atuh Bah," Eza mengembangkan senyumnya.

"Abah mau tanya. Neng sudah punya calon belum?" tanya sang Ayah memandangi putrinya yang menurut beliau sudah saatnya menikah. Memiliki pasangan hidup, yang akan menggantikan tanggung jawabnya sebagai Ayah.

Eza mengernyitkan dahinya heran. Mengapa Abahnya bertanya demikian? pacaran gak boleh. Gak di ijinkan, sekarang bertanya calon. "Em ... calon apa Bah, calon?" pura-pura gak ngerti.

"Kamu, kan sudah dewasa neng, masa mau melajang terus? Abah sudah tua adik-adik masih butuh biaya juga. Dengan usia Eza sekarang ini sudah sepantas nya menikah, kawan Eza juga sudah sebagian menikah. Sebentar lagi siapa? Sinta ya mau nikah juga dalam waktu dekat ini," lanjut Abah Bani.

"Tapi Bah ... Neng belum menemukan yang cocok buat Neng, kan Abah juga tahu menikah itu bukan ajang perlombaan. Butuh persiapan. Lahir maupun batin, jangan sampai kita memilih pasangan yang salah. Takut nantinya malah membuat sengsara," timpal Eza tidak kalah panjang lebar dari Abah nya.

"Emang nya Neng mau cari yang gimana atuh neng? setiap yang mau meminang selalu Eneng tolak. Abah malu Neng. Abah malu ..." rajuk Abah Bani sambil menggeleng, tak habis pikir dengan putri satu-satunya ini. Laki-laki yang seperti apa yang dia cari.

Eza melamun, dia sendiri tidak mengerti laki-laki yang gimana yang dia mau. Yang kaya, yang biasa, yang wajahnya cakep. Yang biasa saja, yang berpendidikan tinggi, hingga yang sederajat, yang alim sampai yang setengah preman, masih juga Eza tolak.

"Neng juga gak ngerti Bah," sambil menghela napas panjang, merasa bingung sendiri.

"Har ... ari Neng Eza sok ngabingungkeun," sambung sang Ibu.

Eza melirik Umi nya. "Kan Eza juga bingung, gak tau mau yang gimana Mi," sambil duduk menyangga dagunya.

Abah Bani dan Umi Marni saling pandang sesaat, kemudian Abah menyeruput kopi nya. "Gimana atuh kalau Abah saja yang pilihkan buat Eneng, dan kamu harus mau. Jangan bikin malu Abah, gimana?"

"Nggak tahu atuh Bah ah," sedikit cemberut.

"Loh ... gimana atuh. Kalau begitu mah bingung," Abah lagi-lagi menggeleng ....

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Goresan pena

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku