Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Aku lelah dengan semua ini, Bang. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat."
Ranti terisak. Menahan ledakan tangis sedapat mungkin agar tak terdengar anak-anaknya.
"Abang tahu, Dek. Tapi bukan dengan cara seperti ini untuk menyelesaikannya."
Laki-laki itu beranjak, merangkulnya dalam dekapan erat. Membenamkan kepala istrinya ke dada bidang yang juga merasa sakit dengan semua kenyataan yang terjadi.
"Yang terpenting kita, Dek. Cinta kita. Kepercayaan di antara kita. Bukan tentang mereka."
Ranti mendongakkan kepalanya. Menatap laki-laki itu. Suaminya yang telah berjuang memperjuangkan cinta mereka.
"Tapi mereka keluargamu, Bang. Tak ada kata mantan adik ataupun mantan kakak. Yang ada mantan istri. Hubungan kalian bagaikan air, tak akan putus walaupun dicincang. Jangan jadikan aku sebagai penghalang. Aku ikhlas."
Netra mereka saling bertemu. Ranti mencoba meyakinkan Bayu, suaminya bahwa pilihan ini adalah yang terbaik.
"Anak-anak kita, Dek. Mana yang lebih berharga? Saudara-saudara Abang atau anak-anak kita?"
Ranti mengusap wajahnya yang telah basah, penuh air mata.
"Ini bukan tentang pilihan mana yang lebih berharga, Bang. Mereka semua berharga. Tapi ini adalah pilihan, mana yang terbaik. Anak-anak akan mengerti. Abang tetap ayah bagi mereka, selamanya ... tak akan pernah terganti."
Bayu menghela napasnya. Keadaan ini sangat sulit. Lima belas tahun Ranti berusaha mendekatkan diri pada keluarganya, tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Dan kondisi ini menjadi puncaknya.
"Abang tahu ini berat. Tapi Abang yakin, dirimu mampu menyingkirkan ego yang ada di hati saat ini. Tak penting mereka menganggapmu ada atau tidak. Di mata Abang, kamu tetap yang terbaik. Abang tahu ... sebesar apapun kesalahan Abang selama ini, selalu Adek maafkan. Hati Adek luas untuk selalu membuka pintu maaf untuk Abang. Tolong ... jangan akhiri seperti ini."
Akhirnya Bayu pun tak kuasa membendung lelehan bulir dari netranya. Dirinya menangis.
"Aku selamanya tetap tak akan bisa jadi saudara bagi adik dan kakak Abang. Termasuk bagi Ibu. Hanya almarhum Abah yang bisa sedikit menerima kehadiranku. Kalau hanya sekadar kata, aku masih terima, Bang. Tapi dengan fitnah ini, aku tak sanggup lagi menerima semuanya."
Ranti mencoba mengusap-usap dadanya yang mulai terasa sesak. Berat beban yang dirasakannya saat ini. Bukan hanya raganya letih, jiwanya pun sudah merasa tak kuat lagi menanggung semua kecewa ini.
"Aku tahu, Bang. Aku bukan manusia baik, manusia sempurna. Aku masih masih khilaf dan salah. Amalanku pun terbatas yang wajib ditambahkan sedikit sunah. Tak banyak, tapi aku berharap itu akan membawa keberkahan dalam keluarga kita. Tak mengapa keluarga Abang membenciku, menghinaku, merendahkanku. Tapi tolong jangan fitnah aku, Bang," ucap Ranti setelah mengurai pelukan yang ada di antara mereka.
Ranti beranjak melangkah menuju jendela. Melepaskan pandangan ke arah taman yang tepat berada dalam jangkauan matanya.
"Harusnya keluarga Abang bersyukur. Aku mampu merubah Abang menjadi pribadi yang lebih baik daripada dulu. Merubah segala tabiat Abang yang kurasa tak pantas untuk dilihat anak-anak kita. Aku yang berusaha membimbing Abang, kita sama-sama belajar. Berusaha jadi manusia yang lebih baik ke depannya. Pantaskah jika aku mendapat balasan seperti ini, Bang?"
Ranti menghela napasnya. Mencoba menekan sakit yang kian terasa.