Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
-POV Lisa-
Malam hari setelah acara pernikahan kami diadakan. Aku yang kini sudah mengenakan baju lingerie berwarna biru tua, berjalan langkah demi langkah memasuki sebuah kamar.
Tepatnya itu adalah kamar kami berdua, aku dan Mas Indra. Suami tampanku yang saat ini sudah berganti pakaian memakai baju kaos dan celana pendek.
Aku merasa sangat berdebar ketika mendekati Mas Indra yang sedang terduduk diatas kasur. Bagaimanapun ini adalah malam pertamaku dan suamiku tercinta.
Bagi sebagian orang, mungkin malam pertama adalah hal yang paling ditunggu-tunggu bagi kedua pasangan yang sudah terikat janji suci.
Pengalaman mendebarkan yang tak mungkin terlupakan. Kesenangan dan kepuasan yang bercampur jadi satu, sebuah nafkah yang direstui oleh Tuhan. Nafkah batin.
"Mas." ucapku yang lantas duduk disamping Mas Indra, sejak tadi suamiku? itu terus terdiam.
Sebetulnya sudah seminggu Mas Indra terlihat tidak baik-baik saja dan hanya menjawab singkat semua pertanyaanku.
Tapi yang cukup membuatku yakin jika suamiku ini baik-baik saja adalah karena dia selalu menjawab semua pertanyaan itu dengan senyuman lembut.
Seolah diriku tahu, jika lelaki ini masihlah tambatan hatiku yang begitu kubanggakan sejak lama.
"Kenapa?" tanya Mas Indra.
"Kamu kok masih berpakaian Mas?" tanyaku heran. Mas Indra termenung, seolah ia sedang dihadapkan oleh pikiran yang sulit hingga membuatnya terkesan mendiamkanku.
Tentu diriku sendiri yang tak mendengar respon balasan dari Mas Indra lantas mencolek tangan suamiku itu.
"Mas?" tanyaku dan langsung membuat Mas Indra tersadar lalu berkata.
"Kok aku merasa sangat lelah ya malam ini? Maaf Lis.. aku harus tidur dulu. Lain kali saja ya?" ucap Mas Indra tersenyum, dan langsung membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Meninggalkanku begitu saja terdiam di tempat, kecewa. Tampaknya percuma diriku memakai lingerie hadiah pemberian Rhena yang katanya bakal ampuh memikat siapapun melihatnya, nyatanya... ah sudahlah.
Diriku pun beranjak tidur disamping kiri Mas Indra sedangkan Mas Indra sendiri berposisi tidur menyamping ke arah kanan dan membelakangiku.
Sekitar jam 5 subuh, diriku terbangun dan mendapati suamiku sedang terduduk disebelahku. Aku terkejut saat melihat suamiku muntah-muntah, bahkan ketika cairan itu mulai keluar dari mulutnya.
Mas Indra pun sesegera mungkin beranjak dari kasur menuju kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan di dari dalam perutnya.
Aku khawatir, Mas Indra kenapa?
Dia bahkan terlihat sangat lemas saat itu. Aku menguruti punggungnya berulang-ulang.
"Mas, kamu masuk angin ya?" tanyaku cemas
"Aku bikinin minuman hangat ya?" tanyaku lagi.
Ia masih terus mengeluarkan cairan itu dari mulutnya, bahkan perutnya terus dipegangi saat itu.
Seakan dia merasakan rasa tidak enak di perutnya. Ia hanya sibuk membuka keran di wastafel, agar muntahannya itu luruh oleh air, tanpa menghiraukanku.
Aku ambil dua lembar tisu padanya dan ia menerimanya setelah membasuh wajahnya terlebih dahulu.
Aku papah dia kembali menuju kasur dan biarkan dia duduk disampingku.
Ia memandang wajahnya yang terlihat pucat saat itu, aku mengusap tangannya yang masih terus memegang perutnya tanpa sedikitpun berkata.
"Ini yang sakit Mas? Jangan-jangan kamu muntaber lagi Mas, perasaan dari semalem kamu buang air terus?" tanyaku cemas. Ia tersenyum tenang disana dengan bibir pucatnya.
"Enggak kok, enggak apa-apa." ucapnya.
"Kemarin emang capek banget, sebelas jam kan kita duduk dan berdiri. Aku juga ngerasa badanku remuk semua. Kamu masuk angin ini." tebakku seraya menguruti tengkuk maupun bahunya.
"Kamu tidurin dulu deh, Mas. Aku bikinin bubur dulu ya sekarang?" tanyaku.
"Udah enggak usah Lis." ucap Mas Indra.
"Udah kamu enggak usah ngerasa direpotin. Aku kan istri sah kamu sekarang. Aku bakal siap dua puluh empat jam menjalankan tugasku sebagai istri yang baik." ucapku seraya mendekatkan wajahku ke hadapannya dengan ceria.
Ia balik tersenyum dan mencubit hidungku. "Udah jadi istri bawelnya gak hilang." ucapnya terkekeh.
"Iya lah. Kan itu yang membuat kamu cinta sama aku haha. Aku ke dapur dulu." ucapku seraya pergi meninggalkannya.
Aku segera membuatkan bubur di dapur beserta juga memasak lauk mentah yang kubeli dari tukang sayur.
Selesai matang semua, aku pun membawakan makanan itu ke kamar setelah sebelumnya kuintip terlebih dahulu apakah Mas Indra masih melek. Ternyata masih.
"Nah ini dia makanannya sudah dataang Tuan raja." ucapku seraya menyediakan makanan itu ke depannya.
"Wah Ratu baik sekali yaa." ucapnya terkekeh.
"Iya dong, Tuan Raja kan harus dilayani dengan baik di rumah ini." ucapku.
"Ayo coba, dicicipin. Gimana rasanya?" tanyaku.
Ia segera mengambil sendok dan mengunyahnya perlahan.
"Umm, enak. Apalagi kalo makannya sambil ngeliat kamu. Kayak ada manis-manisnya." ucapnya. Aku tersipu.
"Apa sih, emang aku iklan aer." ucapku.
"Beneran nih enggak mau disuapin? Kan lumayan gratis, enggak perlu bayar." tanyaku lagi.
"Nanti aja kalo tanganku capek." ucapnya terkekeh.
Aku ikut terkekeh. "Yaudah kalo tangannya capek, kamu panggil aku ya?" pintaku.
"Iyaaaa."
Aku balik ke dapur lagi untuk membereskan dapur, memasukkan sampah ke dalam plastik lalu taruh wajan dan peralatan memasak yang tadi dipakai ke atas wastafel. Aku mencucinya.
Tiba-tiiba sebuah nada dering terdengar, aku menerima teleponnya.