Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Malam semakin larut. Tidak terasa biasan jingga sudah sedari tadi menghilang digantikan cahaya bulan yang bersinar terang. Disalah satu pemukiman warga yang tidak jauh dari kota Jakarta. Di sebuah rumah sederhana dengan cat tembok berwarna hijau, halaman depan yang tidak terlalu luas, dan pagar pembatas yang mengelilingi rumah tersebut agar terpisah dengan para tetangganya.
Di dalam rumah, terlihat tiga orang berbeda jenis dan usai tengah berkumpul di ruang keluarga. Pandangan mata mereka fokus melihat ke televisi yang sekarang tengah menyiarkan berita sidang isbat penentuan puasa.
"Baiklah ... setelah kami mendapatkan laporan dari petugas yang melihat hilal. Maka kami selaku anggota kementrian agama menyatakan, mulai besok kita akan menjalankan ibadah puasa," jelas ketua menteri agama yang ada di dalam televisi, membuat ketiga orang yang tengah berkumpul didepan televisi itu tersenyum.
"Alhamdullilah!" seru bahagia ketiga orang yang berbeda usai dan jenis itu secara bersamaan.
"Jadi ... ayok kita ke masjid," ajar Abi Rasyid seorang pria paruh baya yang sudah siap dengan peci dan sarung diikuti baju koko laki-laki berwarna coklat.
"Abi, tunggu sebentar. Umi dan Ais akan bersiap-siap," ujar Umi Rohana wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan tubuh tertutup oleh baju muslim dan jangan lupakan hijab yang melingkar di kepalanya, "Ayok Ais, kita bersiap-siap pergi tarawih," ajak Umi Rohana dan langsung dihadiahkan senyum oleh wanita cantik dengan pakaian hampir menutupi seluruh tubuhnya dan juga sebuah hijab yang melingkar cantik menyembunyikan aurat di bagian kepalanya.
"Baik Umi," patuh Ais yang bernama lengkap Aisyah Putri Rasyid, wanita dewasa berusia 25 tahun yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dia wanita cantik yang selalu mengenakan pakaian yang menutupi auratnya dan sangat patuh pada kedua orang tuanya.
Aisyah dan keluarganya tidak begitu kaya raya. Namun, dengan kehidupan yang serba pas-pasan itu, mereka mampu menjadikan anaknya sebagai seorang wanita muslim yang baik, tidak pernah sombong, dan selalu patuh pada perintah kedua orang tuanya. Karena hal itu, banyak pemuda yang sangat mendambakan Aisyah untuk menjadikan wanita itu sebagai istrinya.
Aisyah dan Umi Rohana hendak melangkah meninggalkan ruang tamu. Namun, suara bariton dari Abi Rasyid menghentikan langkah mereka berdua.
"Tunggu sebentar Ais," intrupsi Abi Rasyid, membuat Aisyah dan Umi Rohana menghentikan langkah mereka.
Kedua wanita berjenis kelamin sama namun berusia berbeda itu memutar tubuh dan kembali menghadap ke Abi Rasyid yang entah sejak kapan ekspresinya mulai terlihat serius.
"Ada apa, Abi?" tanya Aisyah dengan menunduk takut saat melihat raut Abi yang seperti itu. Wanita cantik itu mulai menautkan jari telunjuknya menandakan dia tengah gugup saat ini.
"Angkat kepalamu jika berbicara dengan Abi, Ais," perintah Abi Rasyid dan langsung diikuti oleh Aisyah.
Nampak jelas raut takut dan keringat dingin sudah memenuhi wajah putih Aisyah, 'apa Abi tau yang aku lakukan?' batin Aisyah menerka-nerka kenapa Abi nya berubah seperti itu.
Hanya satu kemungkinan yang membuat Abi Rasyid menjadi seperti itu. Pasti itu gara-gara Aisyah melakukan kesalahan. Kalian semua harus tahu, kalau Abi Rasyid itu Pria yang sangat keras. Dia keras, karena ingin melindungi anak gadis satu-satunya yang mereka punya.
Pria itu tidak mau, anak gadis yang di titipkan Allah padanya melakukan kesalahan. Maka dari itu, dia sebagai orang tua sangat keras jika bersangkutan dengan Aisyah.
"Setelah bekerja kamu kemana?" tanya dingin Abi Rasyid dan membuat Aisyah sulit menelan ludahnya.
Keheningan terjadi diantara mereka bertiga. Umi Rohana yang tadinya berdiri disebalah Aisyah, sekarang sudah berdiri tepat dibelakang sang suami.
"Abi, tolong bertanya dengan biasa saja. Jangan buat Ais tak-...."
"Diam...." potong Abi Rasyid dan membuat Umi Rohana langsung bungkam, dan menatap nanar putri yang sangat dia sayangi saat ini tengah berkeringat dingin, "apa mulutmu bisu Ais? Abi bertanya, kamu pergi kemana setelah pulang bekerja tadi?"
"A—Ais, tid—tidak kem-...."
"Jangan berbicara seperti itu! Bicara yang jelas, Ais!" seru Abi Rasyid dan membuat Aisyah tersentak kaget.
"Ais, tadi pergi mengantar teman ke toko buku, Abi," jujur Aisyah dengan menatap wajah Abi nya dengan takut.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya Rasyid dengan masih bernada dingin.
"Perempuan Abi," jawab jujur Aisyah dengan masih bernada takut.
"Siapa?" tanya singkat Abi Rasyid.
"Layla Abi, Layla anak paman Fauzan," jawab Aisyah dengan nada yang masih sama.
"Kenapa tidak minta izin dulu pada Abi atau Umi? Apa kamu menganggap kami sudah tidak ada lagi, sehingga kamu pergi tanpa izin?!" teriak Abi Rasyid menggelegar memenuhi ruang keluarga itu.
Aisyah memejamkan mata. Degup jantungnya mulai berdetak kencang. Wanita itu sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Dia sedari tadi sudah menyiapkan diri, tapi tetap saja wanita itu masih merasa ketakutan.
Terlihat Abi Rasyid mengeluarkan sesuatu dari saku baju Koko ya. Pria paruh baya itu tanpa hati langsung melempar sebuah ponsel, dan itu tepat ke arah tembok, membuat benda itu beradu dengan dinding hijau itu.