Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mengejar Restu
5.0
Komentar
2
Penayangan
1
Bab

Kehilangan yang dialami oleh Giyan Keegan membawa Ginela Kasih hadir sebagai pengganti sang istri yang meninggal akibat kecelakaan. Namun hubungan keduanya mendapat penolakan dari Harsha Jelita-anak pertama Giyan. Menurut dia, tidak ada yang bisa menggantikan posisi sang ibunda dalam kehidupannya. Dengan sabar Ginela menghadapi semuanya. Apakah ia berhasil merebut hati dan mengejar restu Harsha untuk menerimanya sebagai ibu? Belum lagi, ia harus menghadapi bumbu-bumbu yang memberi rasa dalam rumah tangganya? Jawaban hanya akan ditemui, ketika kalian membacanya sampai selesai.

Bab 1 Bukan Wanita Penggoda

Rasa nyeri begitu menyesakkan sampai ia tak kuasa membendung air mata yang tumpah.

Padahal ia sudah menguatkan hati, tapi tetap saja, bagi Ginela, penolakan Harsha Jelita -anak pertama dari kekasihnya itu, di luar perkiraannya.

"Shasa gak perlu ibu baru Ayah, gak ada yang bisa gantiin posisi Bunda di hidup Shasa!"

Gadis yang kerap kali dipanggil Shasa itu berteriak kencang. Membuat semua pengunjung kafe itu menatap ke arah mereka berempat; Ginela, Giyan, Harsha dan Hasya.

"Sha, Ayah mohon. Kalian hanya perlu saling mengenal." Giyan berusaha untuk menjelaskan pada Harsha.

"Mas-"

"Ini semua gara-gara kamu ya, kamu kan yang menggoda Ayahku?" Harsha memotong ucapan Ginela.

"Cukup Sha! Dia bukan wanita penggoda, sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari keluarga kita," tegas Giyan.

Ginela diam, dia tidak bisa mengucapkan satu patahkatapun untuk membalas Harsha.

Setelah membuat suasana tegang, Harsha meraih tas branded yang ia letakan di atas meja dan berlalu pergi.

Ginela menjatuhkan tubuhnya di kursi. Duduk memandang Giyan yang terlihat menahan emosi. Diliriknya Hasya yang terlihat masih memandangi sang ayah.

"Mas, mungkin kita berdua memang tidak ditakdirkan untuk hidup bersama," lanjut Ginela sembari menghembuskan napas berat.

"Engga sayang. Aku sayang banget sama kamu, aku tidak akan menyerah begitu saja!" Giyan mempertegas ucapannya.

Pertemuannya dengan Ginela kala itu, membuat dia jatuh cinta. Wanita cantik yang mandiri, baik hati, dan penuh kesabaran.

"Jika memang tidak ada uang, gak papa Bu. Biar saya yang bayarkan," ucap seorang wanita yang terdengar oleh Giyan.

"Saya bukannya gak ada uang Kak, dompet saya ketinggalan. Saya bukan orang miskin seperti kamu," jawab seorang wanita paruh baya yang terlihat kaya.

Mendengar jawaban yang terlontar dari ibu itu, membuat Giyan kesal. Namun berbeda dengan wanita yang memiliki nama Ginela Kasih, terlihat dari nametag yang dikenakan.

"Ya sudah mau Ibu bagaimana?" balas Ginela.

Giyan memperhatikan Ginela yang menanggapinya dengan penuh kesabaran. Bahkan setelah di kucilkan pun dia masih bisa tersenyum, batin Giyan.

"Ayah!"

"Yah!"

Giyan tercengkat saat mendengar seseorang mengejutkannya. Dia berhasil keluar dari lamunannya.

"Eh maaf," balas Giyan.

"Kalian gak usah khawatir, Hasya bakal coba ngomong sama Kakak," lanjut Hasya, dia mengusap punggung tangan keduanya.

Sesak dadanya sedikit berpudar saat mendengar ucapan Hasya.

"Maafin aku ya, gara-gara aku, kalian harus bertengkar seperti itu."

"Engga sayang, ini bukan salah kamu."

"Bener kata Ayah, Kak Sha memang seperti itu. Hasya setuju kok kalau Ayah nikah sama Tante Gine," lanjut Hasya sembari tersenyum.

Hal itu membuat Giyan sedikit lega, setidaknya salah satu dari anaknya ada yang merestui hubungannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka baru saja sampai di rumah Ginela, sebelum pulang ke rumah, Giyan dan Hasya sepakat untuk mengantarkan Ginela terlebih dulu.

"Selamat istirahat, dan ingat, soal Shasa jangan kamu pikirkan. Setuju atau tidak setuju, pernikahan ini akan tetap berjalan," tutur Giyan.

Entah bagaimana dia harus menanggapi ucapan Giyan. Di satu sisi, dia amat bahagia karena sebentar lagi akan menikah dengan lelaki yang juga ia cintai. Namun di sisi lain, dia sedih karena salah satu calon anaknya tidak bisa menerima.

"Baik Mas, terima kasih. Take care," lanjut Ginela, sembari mencium punggung tangan kanan Giyan.

Hasya menyaksikan semua itu. Tidak ada yang buruk dari calon ibunya, justru mengenal Ginela, ia seperti kembali menemukan sosok ibunya ditubuh orang lain.

Mobil berwarna hitam itu melesat jauh dari pekarangan rumah Ginela. Setelah tak terlihat lagi, Ginela segera masuk ke dalam rumah.

"Baru pulang?" tanya wanita paruh baya.

"Seperti yang Ibu lihat, Gine pamit masuk kamar ya," jawab Gine lemas.

"Tapi kamu jadi menikah dengan Giyan kan?"

Pertanyaan itu membuat Ginela menatap lesu ke arah sang ibu. Bukan apa-apa, saat ini dia hanya tidak ingin membahas soal itu.

"Kita akan bicara besok, Bu. Gine lelah."

Ditempat berbeda namun dengan waktu yang sama. Giyan duduk dan berbicara empat mata dengan Shasa.

"Ayah, mau beribu kali pun Ayah mohon sama Shasa, Shasa gak akan pernah setuju. Titik!"

"Sha!"

Saat Giyan pulang dan sampai di rumah. Dia sengaja mengajak Shasa untuk kembali berbincang dengannya.

Bagaimanapun pernikahan itu harus tetap berlangsung. Dia tidak mau kehilangan kesempatan itu. Terlebih, sejak kehilangan istrinya, tidak ada satu pun wanita yang menarik di hatinya.

Dan sekarang dia menemukannya!

"Nanti malam Ayah akan melamar Ginela, Ayah harap Shasa dan Hasya ikut serta," ucap Giyan saat mereka makan bersama, lebih tepatnya sarapan bersama.

"Laksanakan, Yah!" Hasya membalasnya antusias.

Tentu saja berbeda dengan Shasa yang terlihat enggan menanggapinya.

"Terserah Ayah!"

"Tapi kamu harus ikut, Ayah gak mau tau. Atau-"

"Atau apa Yah?" Shasa memotong ucapan sang ayah.

"Atau Ayah akan bersikap tegas," lanjut Giyan, tadinya berniat untuk mengancam. Namun lagi-lagi dia teringat ucapan Ginela untuk tetap sabar menghadapi Shasa.

Shasa menyudahi sarapannya. Dengan cepat dia berpaling dari tempat itu, dia melakukan itu semua karena dia benci siapapun yang bisa menggantikan posisi ibunya.

Dia tidak mau itu terjadi.

"Jam tujuh malam kita harus berangkat, ingat, jangan sampe pulang lebih dari jam yang sudah Ayah kasih tahu!" Giyan sedikit berteriak, Shasa memutar bola mata sinis.

'Dasar bawel!'

Ginela masuk ke dalam mobil, mobil yang akan membawanya ke pusat perbelanjaan. Giyan berada di sampingnya, dia mengajak serta Ginela untuk memilih cincin pertunangan mereka.

"Kamu cantik banget hari ini sayang," ucap Giyan menggoda.

"Berarti hari-hari kemarin, aku gak cantik Mas?" balas Ginela, manyun.

"Bukan gitu, kalo kemarin cantik, sekarang luar biasa cantik," balasnya.

"Ah, kamu bisa aja!" Ginela tersenyum, pipinya bersemu merah.

Setelah itu, Giyan fokus pada jalanan yang cukup ramai. Begitupun dengan Ginela. Namun di sela-sela itu, dia memecahkan keheningan.

"Mas, gimana sama Shasa?" tanya Ginela dengan ragu.

"Kamu tenang aja, nanti, setelah kita nikah aku yakin kok, dia pasti mau terima kamu sebagai ibunya," jelas Giyan.

"Aku harap begitu," balas Ginela lalu memalingkan wajahnya.

Saat dia asik menatap ke luar kaca mobil, dan Giyan sengaja memanggil namanya, hal itu tentu saja membuat Ginela menoleh dengan cepat.

Cup!

"Mas!"

"Gimana kecupan ku?"

"Ih, ngeselin. Kamu ngerjain aku ya?" jawab Ginela manja, lalu mencubit pinggang Giyan.

"Kamu gemesin kalo lagi marah," lanjut Giyan yang membuat Ginela berhenti dari aktivitasnya.

Dia tidak menyangka bahwa perasaannya akan senyaman itu dengan Giyan yang statusnya seorang duda.

Dia tidak peduli pada status, yang dia tahu, Giyan adalah laki-laki yang bertanggung jawab.

Merasa diperhatikan, Giyan mulai menepikan mobilnya.

"Kok berhenti?" tanya Ginela yang menyadari hal itu.

Tiba-tiba Giyan mendekat, tidak lama kemudian dia menempelkan bibir ke bibir. Ginela terkesiap, entah harus membalas, atau justru melawan.

"A-a-Mas."

Bibir merah itu, sungguh menggoda Giyan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku