Seorang istri yang merasa kesepian karena suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya menemukan kenyamanan dalam pelukan pria lain. Namun, ketika suaminya akhirnya mengetahui, keputusan yang dibuat akan mengubah nasib mereka selamanya.
Matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang lembut ke seluruh ruang tamu. Sarah duduk di sofa, memeluk bantal empuk sambil menatap kosong ke arah jendela. Suara detak jam dinding yang monoton seolah menggema di dalam kepalanya, mengingatkannya akan waktu yang terbuang sia-sia.
"Dimas, kapan kau pulang?" gumamnya pelan, seolah berharap suaranya bisa menembus kesibukan suaminya yang tak pernah ada habisnya.
Ponselnya bergetar, menarik perhatian Sarah. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rina.
Rina: Hei, sayang! Apa kabar? Sudah lama kita tidak nongkrong!
Sarah tersenyum tipis, mencoba meredakan kesepian yang mengurungnya. Sarah: Baik, Rina. Hanya saja... Dimas lagi sibuk kerja. Sepertinya dia tidak ada waktu untukku.
Rina: Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kita bisa bertemu besok!
Sarah mengetik balasan dengan cepat. Sarah: Iya, boleh juga. Aku butuh keluar dari rumah.
Setelah mengirimkan pesan, Sarah kembali terbenam dalam pikirannya. Dia mengingat kembali momen-momen ketika Dimas masih sering menghabiskan waktu bersamanya-berjalan-jalan di taman, menonton film bersama, atau sekadar berbagi cerita sebelum tidur. Namun, semua itu kini terasa seperti kenangan samar yang semakin memudar.
Dari dapur, suara pintu lemari es yang dibuka dan ditutup mengalihkan perhatiannya. Sarah berdiri dan melangkah menuju dapur, berharap bisa menemukan Dimas di sana. Namun, ia hanya menemukan sisa-sisa makan malam yang sudah ditinggalkan.
"Dimas?" panggilnya, suaranya bergetar, harapannya hampir padam.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan.
Sarah membuka lemari, mengambil sekotak es krim dan sendok. Saat dia menyendok es krim pertama, suara kunci yang berputar di pintu membuat jantungnya berdebar. Dimas masuk dengan raut wajah lelah, kemeja yang sudah sedikit berkerut, dan dasi yang sudah dibuka.
"Maaf, sayang. Aku terlambat lagi," katanya, menyapa dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya... menunggu," jawab Sarah pelan, berusaha menahan rasa kecewa yang membara di dalam hati.
Dimas meraih segelas air dan meneguknya dengan cepat. "Tadi ada meeting yang tak terduga. Kau tahu betapa sibuknya proyek ini."
"Ya, aku mengerti," ucap Sarah, meski hatinya merintih. "Tapi aku merasa kita sudah jarang berbicara. Sepertinya kita semakin jauh satu sama lain."
Dimas menghentikan gerakannya, menatap Sarah dengan tatapan bingung. "Kita bisa berbicara nanti, bukan? Sekarang aku benar-benar lelah."
Sarah mengangguk, meski merasa ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Dia ingin berteriak, tetapi suara itu terjebak di tenggorokannya. Alih-alih, dia mencoba tersenyum, berharap itu bisa menutupi luka yang mendalam.
"Baiklah," katanya, suara yang hampir tak terdengar.
Setelah beberapa menit hening, Sarah mencoba memecah kesunyian. "Bagaimana jika kita pergi makan malam bersama akhir pekan ini? Hanya kita berdua."
"Hmm, biarkan aku periksa jadwal kerjaku," Dimas menjawab sambil melihat ponselnya, tidak memberikan perhatian penuh pada Sarah.
"Dimas, aku butuh waktu bersamamu," pinta Sarah, nada suaranya sedikit mendesak.
"Aku tahu, Sarah. Tapi pekerjaan ini penting untuk kita. Aku akan mencoba mencari waktu," jawabnya, kembali menatap layar ponselnya.
Sarah merasa hatinya teriris. "Apa aku tidak penting bagimu lagi?" Dia tidak bisa menahan pertanyaan itu.
Dimas menatapnya dengan kaget, seolah terbangun dari lamunannya. "Tentu saja kau penting. Tapi... kadang aku harus mengutamakan pekerjaan untuk masa depan kita."
"Masa depan?" Sarah mengulang, merasa kata itu hanya hampa. "Kau tahu apa yang aku butuhkan saat ini? Kau ada di sampingku, bukan sekadar berjanji."
Dimas terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan kata-kata Sarah. "Aku akan memperbaikinya, Sarah. Beri aku waktu."
Sarah menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Seperti pasangan yang saling berbagi, bukan hanya sekadar teman serumah."
Dimas meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. "Aku akan berusaha. Maafkan aku jika aku membuatmu merasa terabaikan."
Tapi kata-kata itu terasa seolah mengalir di udara. Sarah merindukan tindakan nyata, bukan sekadar janji-janji kosong. Saat Dimas melanjutkan percakapan tentang pekerjaan, pikiran Sarah melayang pada perasaannya yang semakin mendalam terhadap Arman, teman lama yang selalu ada untuknya.
Dalam keheningan itu, dia tahu bahwa kesepian yang menghimpit hatinya semakin dalam, dan mungkin, hanya waktu yang bisa membuktikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah percakapan yang menegangkan itu, Sarah beranjak dari dapur dan kembali ke ruang tamu. Dia duduk di sofa dengan pikiran yang melayang. Rasa sunyi mulai merayapi jiwa, dan dia merasa seperti berada di tengah lautan tanpa ada harapan untuk diselamatkan.
Sarah meraih ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik pesan untuk Rina. Sarah: Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Mungkin aku perlu pergi sejenak dari semua ini.
Pesan itu segera terkirim, dan dalam beberapa detik, balasan Rina muncul. Rina: Kau bisa! Mari kita bertemu besok. Kita bisa berbicara lebih banyak!
Sarah merasa sedikit lega. Ada harapan kecil untuk mendapatkan dukungan dari sahabatnya. Dia menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Ketika waktu berlalu, pikirannya berputar pada apa yang telah hilang dalam hidupnya.
Suara langkah kaki membuatnya menoleh. Dimas muncul di pintu, terlihat lebih tenang setelah momen canggung sebelumnya. "Aku sudah memikirkan apa yang kau katakan," katanya pelan, duduk di sebelahnya. "Kau benar. Kita harus lebih banyak berbicara."
"Ya," jawab Sarah, suaranya pelan. "Tapi aku merasa kita lebih sering bicara tentang pekerjaanmu daripada tentang kita."
Dimas menghela napas. "Aku tahu, sayang. Kadang-kadang, aku terlalu fokus pada pekerjaan hingga melupakan hal-hal penting di rumah."
Sarah menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Dimas, aku merasa kesepian. Aku merasa tidak ada yang peduli tentang diriku."
"Sarah, itu tidak benar!" Dimas berkata dengan nada lembut. "Aku peduli padamu. Aku mencintaimu."
"Cinta seperti apa yang kau tawarkan ketika kau lebih memilih pekerjaanmu?" Sarah merasa tertekan, dan emosinya tak tertahankan lagi. "Seolah-olah aku hanyalah nomor dua dalam hidupmu."
Dimas terdiam, menatap Sarah dengan penuh penyesalan. "Aku minta maaf jika kau merasa begitu. Aku berjanji akan berusaha lebih baik. Aku akan mengatur jadwal untuk kita berdua."
Sarah menatapnya, berharap ada perubahan nyata. "Tapi bagaimana? Kau selalu memiliki alasan untuk tidak ada di sini. Apakah kita hanya bisa saling berjanji tanpa melakukan apa-apa?"
Satu detik, dua detik-keduanya terdiam, hanya terdengar suara detakan jam dinding. Dimas akhirnya berkata, "Apa yang bisa aku lakukan agar kau merasa lebih diperhatikan?"
"Bisa kita pergi makan malam bersama? Atau nonton film? Sesuatu yang sederhana," pinta Sarah, hatinya bergetar penuh harapan.
Dimas mengangguk. "Tentu. Kita bisa melakukannya akhir pekan ini. Aku akan pastikan tidak ada yang mengganggu kita."
Sarah tersenyum kecil, meskipun keraguan masih menghantui pikirannya. "Baiklah. Aku ingin percaya."
Setelah beberapa saat berbincang, Sarah berusaha mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran. Namun, saat Dimas pergi ke kamar mandi, dia merasakan kepulan rasa cemas menyelimutinya. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengambil ponsel dan membuka kontak Arman.
Sarah: Arman, apa kau ada waktu untuk bertemu?
Tak lama kemudian, pesan itu terkirim dan Sarah menunggu dengan berdebar. Saat Dimas kembali, dia menemukan Sarah memandangi ponselnya dengan tatapan penuh harap.
"Ada apa?" Dimas bertanya, curiga dengan ekspresi Sarah.
"Tidak, hanya pesan dari Rina," jawab Sarah cepat. "Dia ingin bertemu besok."
Dimas mengangguk, tetapi Sarah bisa merasakan ketidaknyamanan di dalam dirinya. Dia tidak ingin menambah beban Dimas, tapi perasaannya terhadap Arman semakin sulit untuk diabaikan.
Ketika Dimas kembali ke sofa, mereka melanjutkan percakapan ringan tentang berita terbaru. Namun, dalam hati Sarah, perasaannya semakin rumit. Dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran Arman dalam hidupnya mulai menjadi pelarian yang nyaman, meskipun dia tahu itu tidak seharusnya terjadi.
Beberapa saat kemudian, Dimas meminta izin untuk melanjutkan bekerja di laptopnya. Sarah memutuskan untuk pergi ke balkon, merasakan angin malam yang lembut menyapu wajahnya. Di luar, bintang-bintang bersinar cerah, seolah menantangnya untuk memikirkan kembali pilihan yang ada di depan.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan pikiran yang berkecamuk. Bagaimana bisa dia merasa terjebak di antara dua dunia? Dengan Dimas, suami yang seharusnya dicintainya, dan Arman, pria yang selalu memberikan perhatian dan pengertian.
Saat ponselnya bergetar lagi, Sarah cepat-cepat melihatnya. Arman: Aku bisa ketemu jam 7 malam besok. Apa kau bisa?
Sarah menatap pesan itu, jantungnya berdebar. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Arman dapat membuka jalan yang tak terduga. Namun, apakah dia siap untuk mengambil langkah itu?
Dengan hati yang berat, dia menjawab. Sarah: Baik, kita bisa bertemu.
Saat dia menekan tombol kirim, dia merasa seolah-olah berada di ambang jurang, siap melangkah maju, tetapi juga terjebak dalam dilema yang mengancam untuk menghancurkan semua yang telah dia bangun.
Ketika malam semakin larut, Sarah kembali ke dalam rumah, berusaha menghadapi kenyataan di depannya-kesepian yang menghimpit dan keputusan yang harus segera diambil.
Bersambung...
Buku lain oleh eskayeer
Selebihnya