/0/30469/coverbig.jpg?v=20251203182454&imageMogr2/format/webp)
Laila, seorang gadis yang awalnya polos, terperosok dalam jerat pergaulan yang salah, menyeretnya ke dalam jurang penyesalan yang dalam. Puncaknya, ia terpaksa melahirkan seorang bayi di tempat yang paling sunyi dan tak layak: sebuah gedung tua yang terbengkalai. Keputusan dan kesalahan fatal di masa mudanya itu menjadi awal dari babak baru yang penuh duri. Di hari-hari berikutnya, hidup Laila tak pernah lepas dari rentetan ujian, stigma, dan perjuangan berat demi menghidupi dan melindungi buah hatinya. Mampukah Laila, sang ibu muda yang dihantui masa lalu, menemukan jalan untuk membersihkan luka batinnya? Bisakah ia melewati badai penyesalan, meraih kembali kehormatan diri, dan akhirnya menemukan kebahagiaan sejati yang selalu ia idamkan?
Laila meremas seonggok kain lusuh di tangannya. Rasa sakit itu datang lagi, jauh lebih kuat dari yang sebelumnya, seolah-olah ada tangan raksasa yang meremas tulang punggungnya sampai hancur. Ia menggigit bibirnya, menahan suara jeritan yang tercekat di tenggorokan. Ini bukan lagi sakit biasa, ini puncaknya. Ia tahu. Setelah sembilan bulan menyangkal, setelah berbulan-bulan lari dari kenyataan, sekarang alam menariknya paksa untuk menghadapi segala konsekuensi dari pergaulan yang salah itu.
"Nggak, nggak sekarang," bisiknya pada dinding bata yang dingin dan berlumut.
Ia ada di lantai tiga sebuah gedung terbengkalai. Tempat ini dulunya mungkin akan jadi kantor mewah, tapi proyeknya berhenti lima tahun lalu. Sekarang, ia hanyalah kerangka beton tanpa jendela, berbau apek, lembap, dan menjadi rumah bagi laba-laba serta tikus-tikus. Laila memilih tempat ini, bukan karena ia punya pilihan, tapi karena di sini-di antara sisa-sisa kemewahan yang gagal-ia bisa menyembunyikan aibnya. Tidak ada yang akan mencarinya di sini, tidak ada yang akan mendengar suaranya, dan yang paling penting, tidak ada yang akan menghakimi.
Laila berusaha bangkit, lututnya gemetar. Ia harus pindah ke sudut yang lebih terlindung, tapi gelombang kontraksi berikutnya menghantam, membuatnya kembali terhuyung. Ia merangkak, menyeret perut besarnya melintasi lantai semen yang kasar. Setiap inci gerakan terasa seperti siksaan. Air matanya sudah kering, digantikan oleh keringat dingin yang membasahi dahi. Ia tidak bisa menelepon siapa pun. Nomor teman-teman lamanya sudah diblokir, dan keluarganya? Ah, keluarganya. Ingatan itu datang seperti belati.
"Kalau kau keluar dari pintu itu, jangan pernah anggap kami orang tuamu lagi. Jangan pernah bawa aib ini kembali!"
Itu kata terakhir Bapaknya, diucapkan dengan suara yang berat dan mata yang memancarkan rasa malu sekaligus kekecewaan yang tak terhingga. Malam itu, tiga bulan lalu, Laila berjalan keluar, membawa tas ransel berisi beberapa potong baju dan beban penyesalan sebesar gunung. Sejak itu, ia hidup dari sisa uang tabungan, bekerja serabutan yang menerima ibu hamil, dan akhirnya, bersembunyi di sini.
Kontraksi kembali datang. Laila mencengkeram besi tua yang menjulur dari dinding. Kali ini, ia tidak bisa menahan suara rintihan yang lolos. Ia terengah-engah, merasakan sesuatu yang dingin dan basah mengalir di kakinya. Air ketuban pecah. Waktunya sudah habis.
Panik mulai merayap naik, menggantikan rasa sakit. Ia sendirian. Tidak ada bidan, tidak ada handuk bersih, tidak ada air hangat, apalagi obat pereda nyeri. Yang ada hanya kegelapan yang mulai turun, memeluk lantai semen, dan bayangan-bayangan seram dari besi-besi konstruksi di sekelilingnya.
"Ya Tuhan, tolong aku... Tolong aku," ratapnya, suaranya parau dan kecil, hilang ditelan ruangan besar yang kosong.
Ia mencoba mengingat-ingat film atau drama yang pernah ia tonton tentang melahirkan. Apa yang harus dilakukan? Mendorong? Menarik napas? Hanya ada satu insting yang tersisa: insting untuk bertahan hidup, dan insting untuk memastikan makhluk kecil di perutnya ini juga bertahan.
Laila memosisikan dirinya bersandar pada tumpukan karung bekas. Dinginnya semen menjalar cepat ke punggungnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dorongan untuk menjerit. Otaknya bekerja keras, menyaring informasi di tengah kabut rasa sakit. Ia meraba sekeliling, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alas atau pembalut. Ia menemukan beberapa lembar koran bekas yang sedikit kering, dan sebuah plastik pembungkus makanan sisa. Tidak higienis, tapi ini satu-satunya yang ia punya.
Setiap sepuluh menit, rasa sakit itu datang, menguat seperti gelombang pasang, memaksa tubuhnya melakukan hal yang tidak pernah ia latih. Ia mendorong, bukan karena kemauan, tapi karena tubuhnya memerintahkannya.
Sambil merintih, pikirannya berkelana liar. Ia memikirkan Emon, si biang kerok yang membawanya ke lingkungan itu. Emon yang memberinya janji manis, yang menghambur-hamburkan uang sewa kos yang ternyata uang haram, dan yang meninggalkannya begitu tahu Laila hamil. Laki-laki pengecut. Laila tidak membencinya, ia sudah melampaui fase itu. Yang ia rasakan hanya penyesalan konyol. Kenapa ia bisa begitu bodoh, begitu rapuh, dan begitu mudah percaya?
Rasa sakit berikutnya datang lagi, kali ini disertai sensasi perih yang merobek. Laila berteriak, suara teriakannya memantul dari dinding ke dinding, terdengar asing dan menyedihkan di ruang kosong itu. Itu adalah jeritan keputusasaan dan penyerahan diri. Ia tidak lagi peduli jika ada gelandangan lain yang mendengarnya.
Ia merasakan ada tekanan luar biasa di bawah sana. Ia mendorong sekuat tenaga, memanggil semua energi yang tersisa dari tubuh yang sudah berhari-hari hanya makan mi instan. Ia mendorong lagi, dan lagi. Kepalanya terasa pusing, matanya berkunang-kunang.
Tiba-tiba, ada sensasi licin dan hangat, diikuti oleh suara pluk yang tidak disengaja.
Laila berhenti bernapas.
Dalam remang-remang senja yang masuk dari celah atap, ia melihatnya. Sosok kecil, ungu kemerahan, tergeletak di atas tumpukan koran bekas. Tangan mungilnya yang terkepal. Keheningan selama sepersekian detik terasa seperti keabadian. Hanya suara napas Laila yang tersengal-sengal yang memecah kesunyian.
Lalu, tangisan itu datang.
Bukan tangisan manja, bukan tangisan lembut. Itu adalah tangisan perjuangan, tangisan marah, tangisan nyaring yang mengisi seluruh ruangan kosong. Tangisan itu adalah konfirmasi. Konfirmasi bahwa ia berhasil. Konfirmasi bahwa ia adalah seorang ibu. Dan konfirmasi bahwa hidupnya, yang sudah hancur, kini akan menjadi jauh lebih rumit.
Air mata Laila akhirnya turun, bukan karena sakit lagi, tapi karena rasa lega, takut, dan cinta yang tumpah ruah dalam satu waktu. Ia mengulurkan tangan yang gemetar, menyentuh kulit basah bayi itu.
"Anakku..." bisiknya, suaranya pecah.
Ia menyeka pandangannya, mencari cara. Tali pusat. Ia harus memotongnya. Ia sudah menyiapkan sepotong pecahan kaca yang ia temukan dua hari lalu, ia cuci dengan air sisa minumannya. Ini bukan gunting yang steril, ini adalah benda tajam kotor yang harus ia gunakan, risiko infeksi ada di depan mata. Namun, ia tidak punya pilihan.
Dengan hati-hati, ia mengambil pecahan kaca itu. Tangannya gemetar hebat. Ia harus melakukannya sekali tebas. Jika ia gagal, bayinya akan terluka. Ia menarik napas panjang, menenangkan jantungnya yang berdebar seperti genderang perang.
"Aku nggak boleh salah. Demi kamu," ucapnya pada bayi itu, yang kini hanya menangis pelan, mencari kehangatan.
Cret!
Bukan tebasan bersih, tapi cukup. Laila segera membalut ujung tali pusatnya seadanya dengan sobekan kain yang ia siapkan, lalu segera memeluk bayinya ke dada. Kehangatan kulit bertemu kulit. Insting keibuan mengambil alih sepenuhnya.
Ia menggendongnya erat. Rasa dingin dari gedung, rasa sakit di tubuhnya, rasa lapar yang menusuk-semuanya seolah lenyap, digantikan oleh keajaiban kecil yang menggeliat di pelukannya. Ia menyandarkan punggungnya di dinding, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah perang yang panjang.
Bayi itu laki-laki. Ia meraba-raba wajah mungil itu, matanya masih tertutup. Ia melihat hidungnya, mirip dengan hidung Bapaknya. Ya, Bapaknya yang kini tak mau ia pandang. Tapi ia tak mau itu merusak momen ini.
"Siapa namamu, Nak?" gumam Laila, sambil tersenyum tipis-senyum pertama yang ia rasakan dalam waktu yang lama.
Di tengah keheningan, ia melihat ke sekeliling ruangan lagi. Kerangka-kerangka baja, debu tebal, bau kotoran burung. Ini adalah tempat kelahiranmu, Nak. Bukan rumah sakit bersih, bukan kamar berpendingin, tapi gudang penuh aib dan kesendirian.
Penyesalan itu kembali. Bukan penyesalan memiliki anak ini, tidak. Anak ini adalah harta dan anugerahnya. Penyesalannya adalah kenapa ia bisa membuat masa depan anak ini begitu sulit bahkan sebelum ia sempat menghirup udara bersih. Anak ini lahir dari kesalahan dan kini harus membayar harga yang mahal.
Laila tahu, malam ini hanya permulaan. Begitu matahari terbit, ia harus membuat keputusan besar. Apakah ia harus meninggalkan anak ini di panti asuhan agar mendapat hidup yang layak? Atau ia harus menggenggamnya erat, menghadapi dunia yang kejam sendirian, dan membuktikan bahwa ia mampu menjadi ibu yang baik, meskipun dari awal ia sudah salah jalan?
Ia memeluk bayinya lebih erat. Beratnya bayi itu di lengannya adalah berat tanggung jawab yang luar biasa. Ia adalah satu-satunya pelindung bagi jiwa kecil ini.
"Aku nggak akan kasih kamu nama yang berat, Nak. Kamu sudah bawa beban yang cukup besar. Namamu... Aku akan kasih kamu nama Arka. Pelangi yang melengkung. Harapan," bisik Laila, menamai putranya di bawah atap langit-langit yang bocor.
Arka. Harapan.
Laila menatap mata Arka yang kini terbuka, sepasang mata gelap dan polos. Mata yang tidak menghakimi. Mata yang hanya membutuhkan ibunya.
Ia harus kuat. Demi Arka, ia harus bertahan. Rasa sakit fisik bisa hilang, tapi rasa sakit kehilangan anak akan membunuhnya. Ia memilih untuk berjuang. Ia memilih jalan yang paling terjal.
Malam itu, di antara dinginnya beton dan bau apek, Laila tidur, bukan sebagai gadis bodoh yang terjerumus, melainkan sebagai seorang ibu yang baru lahir, memeluk harapan kecilnya erat-erat, siap menghadapi badai ujian yang akan datang sebentar lagi. Ujian itu akan jauh lebih besar daripada rasa sakit melahirkan tadi.
Bab 1 Rasa sakit itu datang lagi
01/12/2025
Bab 2 anaknya diambil paksa
01/12/2025
Bab 3 Setelah dua hari tidur di emperan toko
01/12/2025
Bab 4 Tangisan yang berbeda
01/12/2025
Bab 5 Siapa ayah bayi ini
01/12/2025
Bab 6 Bu Siti menepati janjinya
01/12/2025
Bab 7 insiden pingsan di pabrik
01/12/2025
Bab 8 Kesehatan bayi
01/12/2025
Bab 9 Godaan masa lalu
01/12/2025
Bab 10 membayar lunas hutang
01/12/2025
Bab 11 shift malam
01/12/2025
Bab 12 Minggu pertama Laila bekerja
01/12/2025
Bab 13 ia bayar dari gajinya sendiri
01/12/2025
Bab 14 pemberian Bu Siti
01/12/2025
Bab 15 Semua berkat dukungan
01/12/2025
Bab 16 kehidupannya dengan penuh kewaspadaan
01/12/2025
Bab 17 Bulan-bulan berlalu dengan cepat
01/12/2025
Bab 18 Keputusan untuk menikah
01/12/2025
Bab 19 pernikahan yang sederhana
01/12/2025
Bab 20 Rumah baru
01/12/2025
Bab 21 suami paling protektif
01/12/2025
Bab 22 Sepulang Papa dari kantor
01/12/2025
Buku lain oleh Miftakhul
Selebihnya