Ketika Cinta Pertama Berujung Penderitaan
sannya bukan lagi tangis lapar biasa, tapi tangis bayi yang kedinginan, yang tidur di alas keras, yang tidak mendapatkan perawatan yang lay
dengan rasa pahit di
yang benar, dan mungkin, sedikit ampunan. Ia harus menelan harga dirinya, rasa malu yang ia bawa, d
g. Laila harus menumpang angkot sekali, lalu berjalan kaki sekitar sa
bus kakinya, naik ke punggungnya, dan menghantam lukanya. Arka ia gendong erat-erat di balik jaket lusuh. Ia sering berhenti,
sampai," bisiknya pada Arka, lebih s
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, tapi karena ketakutan. Rumah itu. Rumah kecil dengan pagar ka
n akan kata-kata terakhir Bapaknya menggema di
ar, tapi juga rentan. Ia harus memohon belas kasihan, tapi ti
erit terdengar memekakkan telinga dalam k
an. Satu ketukan, lalu
ny
, kali ini sedi
ung Laila melompat ke tenggorokan. Ia merasakan Arka men
u berputar
an di sudut mata Ibu tampak lebih dalam. Tapi begitu mata Ibu melihat siapa yang berdiri di depan pintu-
lega. Tapi terkejut yan
nyaris tak terdengar,
i yang keluar hanyalah tarikan bibi, seolah takut ada tetangga yang melihat. Lalu ma
uaranya mulai naik satu
ya, memperlihatkan wajah Arka yang t
dari dalam rumah, seolah
n, hanya menatap nanar wajah Arka, lalu wajah Laila. Matanya pen
k menggelegar dari dalam, lebih keras,
a mendorong pintu, mencoba menutupny
nggak punya apa-apa lagi. Aku cuma butuh tempat istirahat sebentar, aku jan
g Ibu. Wajahnya merah padam, urat di lehernya menegang. Ia mengenakan kaus rumah
ntak Bapak. Suaranya
osa. Hukum aku, tapi jangan hukum anak ini, Pak!" Laila memohon, suaranya sudah beruba
encoreng nama baik kami di lingkungan ini. Kau tahu betapa malunya kami? Aku harus mengha
ari pecahan kaca yang ia gunakan untuk memotong tali p
Nak... kau tahu bagaimana Bapakmu. Kami nggak bisa. Kami nggak punya apa-apa lagi. Kami
"Aku demam. Arka butuh susu. Aku nggak bisa
angga-tetangga itu menyindir kami, Laila! Kau pergi tiga bulan lalu, dan sekarang kau kembali, membawa makhluk kecil
tidak ada belas kasihan, hanya rasa malu yang meluap-luap. Di mata me
menatap Bapaknya tepat di mata. "Aku mengerti. Aku pergi. Aku nggak akan kembali lagi. Jangan khaw
ungannya. Rasa sakit di tubuhnya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang me
kini berat, mati rasa. Ia berjalan seolah tubuhnya hanya digerakkan oleh tali. D
erat-erat, membiarkan tangisnya pecah tanpa suara. Ia menangis terisak-isak, meratapi nasibny
aja. Kita akan buktikan kita bisa. Kita nggak butuh siapa-siapa," sumpahnya,
lan ke arah yang berlawanan dari rumah itu, berjalan menuju pusat keramaian kota, mencari t
-satunya alasan ia tidak bunuh diri saat itu juga. Ia tidak akan membiarkan penolakan ini
proyek baru. Di sanalah ia memutuskan untuk bermalam. Ia harus mencari pekerjaan besok pagi, apa pun itu, peke
ya untuk menghidupi Arka. Konflik berikutnya sudah menanti: perjuangan melawan kemiskinan dan eksploitasi. Laila memejamkan