Dipaksa Menjadi Boneka di Hadapan Istri Palsu

Dipaksa Menjadi Boneka di Hadapan Istri Palsu

Miftakhul

5.0
Komentar
Penayangan
20
Bab

Sakti, seorang pemuda dari keluarga terpandang yang jatuh hati pada Anjani, gadis yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Jelas, hubungan mereka ditentang keras oleh kedua orang tua Sakti yang menjunjung tinggi status sosial. Demi cintanya, Sakti nekat menikahi Anjani secara diam-diam tanpa restu keluarga. Namun, sehari setelah janji suci terucap, badai menerjang. Kakek Sakti, yang sangat disayanginya, tiba-tiba mendapatkan donor jantung sebuah kesempatan emas untuk hidupnya. Pendonornya adalah sahabat lama sang Kakek. Namun, ada syarat mengejutkan: operasi transplantasi hanya bisa dilakukan jika Sakti mau menikahi cucu si pendonor, Mala, gadis yang sudah dianggap Sakti seperti adiknya sendiri. Sakti benar-benar terjepit. Di satu sisi, ada nyawa kakeknya yang terancam. Di sisi lain, papanya menekan dan mengancam akan mencelakai Anjani jika Sakti menolak. Tak punya pilihan, Sakti akhirnya menikahi Mala. Satu tahun berlalu, rahasia pernikahan poligami Sakti terbongkar oleh Anjani. Rumah tangga yang dibangun di atas kebohongan dan pengorbanan itu kini di ambang kehancuran. Mampukah pernikahan segitiga ini bertahan? Dan mampukah cinta sejati menemukan jalannya di tengah badai pengkhianatan dan restu yang tak kunjung datang?

Bab 1 Cinta terlarang

Langit Jakarta malam itu bertabur bintang, tapi bagi Sakti, cuma ada satu bintang yang dia mau lihat: mata Anjani. Mereka duduk di bangku kayu usang di taman panti asuhan tempat Anjani tinggal. Tempat ini, walau sederhana, sudah jadi surga rahasia mereka selama dua tahun terakhir.

"Dingin, Sakti," bisik Anjani pelan, suaranya kayak angin malam yang lembut. Anjani selalu begitu. Semua gerakannya halus, nggak pernah tergesa-gesa. Beda banget sama Sakti, cowok yang hidupnya selalu dipacu adrenalin, baik di kantor ayahnya yang sebesar gedung pencakar langit, atau di trek balap mobil.

Sakti cuma tersenyum, melonggarkan jaket kulitnya, lalu menyampirkannya ke bahu Anjani. "Kalau dingin, harusnya kamu protes dari tadi, bukan malah diam. Nanti sakit."

"Aku nggak mau kehilangan momen," jawab Anjani, bersandar ke lengan Sakti. "Momen di mana kamu cuma milik aku, bukan milik rapat, bukan milik saham, atau milik..." Dia berhenti, nggak mau menyelesaikan kalimatnya.

Sakti tahu apa yang Anjani maksud: bukan milik 'dunia' Sakti. Dunia yang dipenuhi marmer dingin, janji bisnis miliaran, dan harapan keluarga besarnya. Sakti Valentino, nama belakang yang membawa beban seberat emas batangan. Anjani, nggak punya nama belakang yang istimewa, cuma nama yang diberikan pengurus panti.

"Aku selalu milik kamu, Anjani. Di mana pun aku berada," kata Sakti, menarik Anjani mendekat dan mencium pucuk kepalanya. Aroma sampo murah tapi segar dari rambut Anjani adalah satu-satunya wewangian yang benar-benar menenangkan Sakti.

Malam itu seharusnya berjalan seperti biasa: penuh bisikan janji, rasa aman yang singkat, dan perpisahan yang berat. Tapi malam itu terasa berbeda. Ada firasat aneh yang merayap di punggung Sakti, kayak bayangan hitam yang nggak bisa dia sentuh.

"Kamu kenapa, Sakti? Dari tadi senyumnya agak tegang," tanya Anjani, mengusap pipi Sakti.

Sakti menghela napas. "Nggak tahu. Mungkin cuma capek. Papa lagi gila-gilaan dengan proyek baru. Dia mau aku ambil alih semua urusan investasi luar negeri."

Anjani membenarkan jaket Sakti. "Pulanglah. Kamu butuh istirahat. Aku juga nggak mau kamu kena masalah gara-gara sering telat pulang."

Masalah. Kata itu terngiang di telinga Sakti. Masalah terbesar dalam hidup Sakti itu bukan saham atau proyek, tapi fakta bahwa cintanya adalah sebuah anomali di mata keluarganya.

"Aku janji, kita nggak akan lama-lama sembunyi begini," ucap Sakti penuh tekad. "Aku akan bicara dengan orang tuaku. Mereka harus tahu, kamu bukan cuma pacar biasa. Kamu..."

Tiba-tiba, ponsel Sakti berdering kencang di saku celananya. Nomor Papanya.

Sakti merasa jantungnya langsung mencelos ke perut. Dia nggak pernah dapat telepon dari Papanya jam 11 malam, kecuali ada... keadaan darurat.

"Ya, Pa?" suara Sakti terdengar lebih formal dan kaku dari yang dia inginkan.

"Sakti. Pulang sekarang juga. Sekarang." Suara Ayahnya, Bapak Hardian Valentino, dingin, tajam, dan sama sekali nggak menerima bantahan. Nggak ada basa-basi, nggak ada pertanyaan tentang apa yang sedang Sakti lakukan.

"Ada apa, Pa? Kakek kenapa?" Sakti langsung panik.

"Kakekmu baik-baik saja. Ini tentang kamu. Dan... gadis panti asuhanmu itu. Cepat pulang, Sakti. Atau Papah yang akan menjemputmu ke sana."

Telepon itu langsung diputus.

Sakti berdiri tegak, wajahnya pucat. Skenario terburuk yang selama ini dia takuti, terjadi. Keluarga besarnya sudah tahu. Rahasia yang mereka jaga rapat-rapat, bocor.

"Sakti? Ada apa? Gadis panti asuhan? Siapa yang dimaksud Papamu?" tanya Anjani, matanya membesar ketakutan. Dia pasti mendengar sedikit percakapan itu.

Sakti memegang kedua tangan Anjani erat-erat. "Nggak apa-apa, sayang. Dengar aku. Ini akan berat. Mereka sudah tahu tentang kita. Tapi nggak ada yang perlu kamu takutkan. Aku akan hadapi mereka. Kamu tunggu di sini, ya. Janji sama aku, jangan keluar dari panti malam ini, apa pun yang terjadi."

Anjani hanya mengangguk, terlalu terkejut untuk bicara.

Perjalanan dari panti asuhan ke rumah keluarga Valentino terasa seperti perjalanan ke jurang. Lima belas menit yang dipenuhi adrenalin dan rencana di kepala Sakti.

Rumah besar itu, atau lebih tepatnya 'Istana Valentino', berdiri megah dengan gerbang besi tempa yang selalu tertutup. Saat Sakti masuk, lampu-lampu di ruang tamu utama menyala terang benderang. Terlalu terang.

Di sana, sudah menunggu Ayahnya, Hardian Valentino, duduk di kursi berlengan kulit dengan ekspresi datar yang mematikan. Di sampingnya, Mamanya, Ibu Diana, yang kelihatan sudah menangis, tisu basah ada di tangannya.

Suasana ruangan itu begitu hening, kecuali suara jam kuno yang berdetak pelan, kayak menghitung mundur waktu kehancuran.

Sakti melepas jaketnya, berusaha terlihat tenang. "Ada apa, Pa? Bisa dijelaskan kenapa kamu harus pakai cara begini?"

Ayahnya nggak menjawab. Dia cuma melempar selembar foto ke meja kopi di depan Sakti. Foto itu adalah foto candid Sakti dan Anjani yang diambil beberapa hari lalu, saat mereka makan di warung soto pinggir jalan-salah satu tempat kencan favorit mereka.

Foto itu bukan cuma menampilkan kedekatan fisik mereka, tapi yang lebih penting, kontras latar belakang mereka: Sakti dengan kemeja mahal yang dia gulung, Anjani dengan sweater rajutnya, dan di latar belakang, sebuah becak lewat. Itu adalah bukti nyata, visual, yang nggak bisa dibantah.

"Kamu pikir kamu sedang main film, Sakti?" Hardian akhirnya membuka suara, nadanya rendah, tapi setiap kata menusuk kayak belati es. "Menjalin hubungan serius, selama dua tahun, dengan... pengemis cinta dari panti asuhan? Di mana otakmu? Di mana harga diri keluarga ini?"

Sakti nggak bergeming. "Dia bukan pengemis cinta. Namanya Anjani. Dan dia perempuan paling baik yang pernah aku kenal."

"Baik? Kami tidak butuh yang baik! Kami butuh yang sepadan!" Ibu Diana, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara dengan suara bergetar. "Kami sudah menyiapkan segalanya untuk masa depanmu. Calon istrimu, Tifany, sudah siap menunggu. Keluarganya akan memperkuat jaringan bisnis kita di Eropa. Dan kamu? Kamu malah berkubang dengan lumpur di panti asuhan!"

"Mama, aku nggak cinta Tifany. Dan aku nggak akan pernah menjadikan pernikahan sebagai alat bisnis!" balas Sakti, mencoba mengendalikan nada suaranya.

"Cinta? Cinta itu omong kosong, Sakti! Yang ada di dunia kita adalah aliansi, kekuatan, dan warisan! Dan kamu, anak tunggal yang akan mewarisi semua ini, seenaknya merusak semuanya demi wanita yang bahkan nggak punya apa-apa selain... air mata drama," bentak Hardian, kini suaranya meninggi.

Hardian berdiri, berjalan mendekati Sakti, matanya menyala marah. "Aku nggak mau tahu bagaimana kamu mengenalnya. Aku nggak mau tahu apa yang sudah kamu janjikan padanya. Malam ini, aku mau kamu dengar baik-baik: Ini adalah ultimatum. Kamu putuskan dia. Sekarang. Telepon dia, katakan semua sudah berakhir. Atau..."

Sakti menahan napas. "Atau apa, Pa?"

"Atau aku pastikan, panti asuhan itu akan kehilangan semua donasi yang mereka terima. Semua. Dan akan aku buat dia dan semua temannya di sana, hidup menderita. Kamu pilih. Masa depanmu, atau panti asuhan itu."

Ancaman itu menghantam Sakti lebih keras daripada pukulan fisik. Ayahnya bukan main-main. Ayahnya punya kekuatan untuk menghancurkan hidup banyak orang hanya dengan satu panggilan telepon.

Sakti memejamkan mata sebentar, mencoba menelan kemarahannya yang memuncak. Dia sadar, kali ini dia nggak cuma berhadapan dengan egonya sendiri, tapi dengan nyawa dan tempat berlindung Anjani.

Dia menarik napas panjang. "Aku nggak akan putusin Anjani."

Hardian terdiam sesaat, seolah nggak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa kamu bilang?"

"Aku nggak akan putusin Anjani," ulang Sakti, kali ini lebih tenang, lebih tegas. "Kamu boleh ambil semua asetku, semua kartu kreditku, semua yang aku punya. Kamu boleh memecatku dari perusahaan. Tapi kamu nggak berhak mengancam panti asuhan itu."

"Jangan bodoh, Sakti! Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa uangku? Tanpa nama belakang Valentino?" Hardian tertawa sinis, tawa yang nggak lucu sama sekali.

"Aku bisa. Dulu aku nggak punya apa-apa sebelum aku lahir. Aku bisa mulai lagi dari nol. Tapi aku nggak akan pernah membiarkan kamu menyentuh Anjani atau orang-orang di sana. Kalau kamu nekat mengusik mereka, aku akan pastikan semua rahasia bisnis gelapmu akan terbongkar ke publik, Pa. Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu duga."

Hardian terpaku. Dia tahu Sakti adalah anak yang cerdas dan selama ini memang memegang banyak kunci penting di perusahaan. Ancaman Sakti bukan gertakan kosong.

Hardian mengepalkan tangan. "Baik. Kamu pilih perang, Sakti. Perang yang akan kamu sesali seumur hidup."

"Itu pilihanmu, Pa," balas Sakti, mengambil foto Anjani dari meja. Dia melipatnya rapi dan menyimpannya di saku kemejanya, dekat dengan jantungnya.

Sakti berbalik, meninggalkan ruang tamu. Ibu Diana hanya bisa menutup wajahnya, menangis histeris melihat anak tunggalnya memilih jalan yang paling sulit.

Sakti menyalakan mobilnya, meninggalkan 'istana' itu tanpa menoleh. Dia tahu, mulai detik ini, dia adalah orang asing di rumahnya sendiri. Statusnya sudah dicabut.

Dia mengemudi kembali ke panti asuhan. Janjinya pada Anjani tadi harus ditepati: dia harus meyakinkan Anjani, bahwa ini semua belum berakhir.

Saat Sakti tiba di panti, jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Lampu di jendela kamar Anjani sudah mati. Sakti mengirim pesan singkat: Aku di sini. Jangan tidur.

Tak lama kemudian, pintu belakang panti terbuka pelan. Anjani keluar, masih mengenakan jaket kulit Sakti, wajahnya sembab.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Anjani, langsung memeluk Sakti erat-erat. Pelukan yang penuh ketakutan.

"Aku baik. Kita baik-baik saja," bisik Sakti, mendekap Anjani. "Mereka sudah tahu. Papaku marah besar. Dia kasih aku ultimatum."

Anjani menarik diri sedikit, menatap mata Sakti dalam-dalam. "Dia minta kamu putusin aku, kan? Aku tahu. Sakti, aku nggak mau kamu menderita. Aku nggak mau kamu kehilangan semua yang kamu punya. Kalau memang... kalau memang ini jalannya..."

"Nggak," potong Sakti cepat. "Nggak akan ada kata 'putus'. Aku sudah putuskan. Aku pilih kamu. Aku bilang ke dia, dia boleh ambil semuanya, tapi aku nggak akan melepaskan kamu."

Anjani menggeleng, air matanya tumpah lagi. "Sakti, kenapa kamu bodoh? Kamu nggak ngerti risiko apa yang kamu ambil? Kamu bisa kehilangan segalanya! Panti ini... Papamu bisa benar-benar menghancurkan panti ini kalau kamu terus begini!"

"Panti ini aman, aku janji. Aku sudah buat 'jaring pengaman'. Aku bilang ke Papaku, kalau dia nekat mengusik panti, aku akan bocorkan rahasia bisnisnya. Dia nggak akan ambil risiko itu, Anjani." Sakti memaksakan senyum meyakinkan. "Dia bisa ambil uangku, tapi dia nggak bisa ambil hatiku. Dia nggak bisa ambil kamu."

Sakti memegang wajah Anjani, menyeka air matanya dengan ibu jari. "Kita akan hadapi ini, tapi kita hadapi sebagai suami istri."

"Suami istri?" Anjani bingung.

"Ya. Kita nggak bisa menunggu restu yang nggak akan pernah datang. Aku nggak mau sehari pun hidup dalam ketakutan Papaku akan memisahkan kita. Besok, kita harus lakukan apa yang kita bicarakan dulu. Kita akan nikah siri, secepatnya. Sebelum dia bisa bergerak lagi."

Anjani menatap mata Sakti, mencari keraguan, tapi nggak ada. Yang ada cuma tekad membara, dan cinta yang begitu tulus. Dia tahu, pernikahan itu akan jadi pengkhianatan besar bagi keluarga Sakti, sebuah tamparan keras di wajah Hardian Valentino. Tapi, itu juga satu-satunya cara untuk mengikat diri mereka secara sah di mata Tuhan.

"Tapi... dengan cara siri? Kamu yakin?" tanya Anjani lirih.

"Yakin. Seribu persen yakin," jawab Sakti, mencium kening Anjani lama. "Mulai sekarang, kita resmi jadi musuh keluarga Valentino. Dan kita akan berjuang bersama."

Malam itu, di bawah bayangan pohon mangga di halaman panti asuhan, janji suci yang belum terucap secara resmi, terpatri kuat. Mereka berdua tahu, mereka baru saja menyalakan api peperangan yang akan membakar habis segalanya.

Pagi menjelang. Sakti harus pergi untuk mengatur semuanya, mencari saksi, mencari penghulu. Dia nggak bisa kembali ke rumahnya. Dia hanya bisa kembali ke Anjani, sebagai suaminya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Miftakhul

Selebihnya

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku