/0/29378/coverbig.jpg?v=20251205185357&imageMogr2/format/webp)
Nayra Adeline, seorang dokter spesialis ortopedi muda yang terkenal perfeksionis dan pekerja keras, meninggal mendadak di usia 32 tahun akibat kelelahan setelah melakukan operasi selama 48 jam tanpa henti. Namun saat membuka mata, ia tidak lagi berada di dunia modern yang penuh alat medis canggih - melainkan di tahun 1975, di sebuah kompleks militer kecil di kota Bandung. Lebih mengejutkan lagi, ia kini hidup dalam tubuh Ratri Larasati, perempuan bertubuh gemuk dan pemalas, yang terkenal karena kelakuannya yang buruk di lingkungan asrama militer. Suaminya? Kapten Ardan Wicaksana, seorang perwira muda yang disegani, tetapi sudah lama menolak menyentuh atau berbicara dengan Ratri karena reputasinya yang memalukan.
Suara mesin monitor berbunyi datar.
"Dokter Nayra... detak jantungnya-!"
Seseorang berteriak, tapi suara itu terdengar semakin jauh, tenggelam dalam kabut putih. Semua cahaya lampu operasi yang sebelumnya menyilaukan perlahan memudar, berganti dengan keheningan.
Tubuh Nayra Adeline terasa ringan. Tangannya yang tadi memegang pisau bedah sudah tak bisa ia rasakan. Ia mencoba berbicara, tapi lidahnya kelu. Hanya satu pikiran yang muncul di kepalanya sebelum kesadarannya menghilang: "Aku bahkan belum sempat tidur."
Ketika kesadarannya kembali, hal pertama yang ia rasakan adalah rasa lengket di kulitnya. Bukan darah pasien. Tapi keringat-tebal dan asin, mengalir dari pelipis ke leher. Ia membuka mata, tapi yang terlihat bukan langit-langit ruang operasi berwarna putih bersih. Melainkan papan kayu dengan sarang laba-laba di sudutnya.
"Apa... ini?" gumamnya pelan.
Telinganya menangkap suara ayam berkokok, lalu suara perempuan menjerit dari luar, "Ratri! Bangun! Sudah jam tujuh, kau belum juga cuci piring semalam!"
Nayra mengerjap. Ratri? Siapa Ratri?
Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya berat seperti karung beras. Kakinya terasa kaku, dan ketika ia menurunkan pandangan, ia terbelalak.
Tubuhnya membesar dua kali lipat dari sebelumnya. Lengan bergelambir, perut menonjol, dan kulitnya tampak kusam. Ia memandangi dirinya di cermin kecil yang tergantung di dinding kamar. Wajah bulat dengan pipi tembam menatap balik, rambut awut-awutan, dan di bibirnya ada sisa cokelat.
"Tidak..." suaranya tercekat. "Ini bukan aku."
Ia berlari kecil ke arah pintu, tapi langkahnya goyah. Begitu membuka daun pintu, udara pagi yang dingin menyapa wajahnya, disertai bau arang dan sabun cuci. Di luar, ia melihat rumah-rumah kayu berjajar rapi. Di ujung jalan ada papan bertuliskan "Kompleks Perwira Militer Kodam Siliwangi – 1975."
1975?
Jantungnya berdebar keras. Tidak mungkin. Aku... mati?
Seorang perempuan paruh baya dengan daster batik dan rambut digelung mendekat, sambil membawa ember berisi cucian. "Ratri, kau sakit apa? Mukamu pucat sekali. Jangan-jangan kau begadang lagi makan keripik sampai habis setoples?"
Nayra mematung. Otaknya bekerja cepat. Ia memutar nama itu di kepalanya. Ratri... jadi aku Ratri sekarang?
"Bu?" tanyanya ragu.
Perempuan itu mengerutkan dahi. "Ya ampun, apa sekarang kau panggil ibumu pakai 'Bu' segala? Biasanya 'Mamah', kan? Ada apa denganmu, Ratri?"
Nayra menelan ludah. "Aku... hanya sedikit pusing, Mah."
"Oh, pasti karena kebanyakan tidur," omel ibunya. "Lihat badanmu, makin besar saja. Nanti Kapten Ardan makin muak. Sudah seminggu dia tidak pulang makan siang karena malu punya istri seperti ini."
Nama itu-Kapten Ardan.
Seketika, memori samar muncul di kepalanya. Potongan wajah laki-laki tegap berseragam, dengan rahang keras dan tatapan dingin. Jadi suami Ratri itu seorang perwira militer?
"Sudah, cepat mandi," kata sang ibu lagi. "Nanti ikut aku ke arisan istri perwira. Jangan bikin malu."
Kamar mandi yang dipakai Nayra sederhana, berdinding semen abu-abu dan hanya memiliki ember besar penuh air. Ia menatap bayangan dirinya di air bening itu. Dingin merambat ke tulang.
Napasnya berat.
"Jadi begini caranya Tuhan memberi kesempatan kedua?" katanya lirih. "Memberiku tubuh baru... tapi penuh masalah."
Ia mencelupkan wajah ke air, berharap itu hanya mimpi. Tapi sensasi dingin membuatnya yakin-ini nyata. Ia benar-benar hidup kembali, dan kali ini sebagai perempuan yang dibenci banyak orang.
Selesai mandi, Nayra membuka lemari pakaian. Hampir semua isi lemari adalah daster longgar dan baju dengan motif ramai. Ia menemukan satu rok panjang dan kemeja sederhana, lalu mengenakannya. Begitu keluar kamar, ibunya melotot.
"Ratri! Kenapa pakai baju itu? Itu baju yang Ardan belikan dulu waktu kalian masih baru menikah. Sudah kusimpan karena tidak muat di badanmu."
Nayra tersenyum kecil. "Sekarang muat kok, Mah."
Padahal kenyataannya kancingnya hampir copot.
Ibunya menatapnya aneh, tapi tak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan bersama menuju rumah salah satu tetangga di blok depan.
Sepanjang jalan, Nayra merasa semua mata menatapnya.
Beberapa perempuan berbisik-bisik.
"Itu dia, si Ratri. Katanya makan uang suami tapi nggak pernah masak."
"Iya, kemarin malah teriak di pasar karena harga telur naik. Malu banget jadi istri perwira."
Nayra menegakkan punggung. Dulu, ia terbiasa menghadapi tatapan orang di ruang operasi-tapi bukan tatapan meremehkan seperti ini.
Saat duduk di kursi bambu, ia hanya diam dan memperhatikan. Para istri perwira berbicara tentang ransum, pesta dinas, dan kabar terbaru tentang latihan militer di luar kota. Tapi Nayra merasa terasing. Semua pembicaraan itu terasa asing baginya.
"Bu Ratri," sapa seorang perempuan muda dengan senyum tipis. "Saya dengar kemarin Kapten Ardan tidak pulang karena sedang tugas. Tapi... apa betul beliau tidur di barak saja, bukan di rumah?"
Nada suaranya jelas mengejek. Nayra menatapnya dengan tenang. "Kalau iya, kenapa? Beliau punya tanggung jawab besar. Lebih baik di barak daripada membiarkan pasukannya tanpa pengawasan."
Seketika suasana terdiam. Perempuan itu terbatuk kecil, lalu pura-pura sibuk dengan cangkir tehnya.
Ibunya menatap Nayra, antara kaget dan bangga. Karena biasanya, Ratri hanya diam atau malah menangis kalau diejek.
Dalam hati, Nayra menghela napas. Kalau mereka ingin melihatku sebagai lelucon, aku akan ubah pandangan mereka.
Sore itu, Nayra duduk di halaman belakang sambil membawa buku catatan yang ia temukan di meja rias. Di dalamnya, tertulis tulisan tangan Ratri: "Aku ingin kuliah, tapi Mamah bilang perempuan cukup di rumah."
Hatinya mencubit. Jadi bahkan di masa ini, keinginan perempuan untuk belajar masih dianggap aneh.
Ia membuka halaman berikutnya. Ada coretan daftar makanan, jam tidur, dan keluhan tentang Ardan yang jarang pulang. Semakin dibaca, semakin ia mengerti mengapa pernikahan mereka dingin. Ratri hidup tanpa arah, mencari kasih sayang dengan cara salah, dan akhirnya kehilangan hormat suaminya.
Nayra menatap langit sore. "Ratri, aku akan hidupkan mimpi yang kau tulis di sini. Aku akan perbaiki hidupmu-hidup kita."
Malam tiba. Rumah sepi. Ibunya sudah tidur. Nayra sedang menulis di meja kecil ketika pintu depan berderit. Seorang pria tinggi berseragam hijau gelap masuk, membawa aroma asap rokok dan udara malam.
Kapten Ardan.
Tatapannya tajam dan dingin. Wajahnya keras, tapi lelah. Ia melepas topi dan sarung tangannya, lalu berhenti ketika melihat Nayra di ruang tamu.
"Kau masih bangun," katanya datar. Suaranya berat, rendah, mengandung wibawa yang sulit diabaikan.
Nayra berdiri. "Selamat malam, Kapten."
Ia menatapnya lama, alisnya terangkat. "Sejak kapan kau memanggilku Kapten? Biasanya kau teriak memanggil namaku sambil marah karena aku pulang malam."
Nayra menunduk. "Mungkin aku sudah berubah."
Ardan meletakkan berkas di meja. "Berubah? Besok kau akan lupa lagi. Seperti biasanya."
Nada sinisnya menusuk, tapi Nayra menahan diri.
"Boleh aku bicara sebentar?" tanyanya lembut.
Ardan menatapnya curiga. "Tentang apa?"
"Perceraian."
Suasana seketika membeku.
Pria itu menatapnya tajam. "Apa kau ulangi?"
"Aku tahu kau tidak menyukaiku," katanya pelan. "Aku tidak akan memaksa bertahan. Aku hanya ingin hidup dengan damai, melakukan sesuatu yang berarti."
Kapten Ardan menatap wajahnya, seolah mencari tanda-tanda bahwa ini lelucon. Namun tatapan mata Nayra tenang, jernih-tidak seperti biasanya.
Akhirnya ia berkata dingin, "Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak akan melarang. Tapi jangan bawa nama Wicaksana kalau hanya untuk mempermalukan keluarga ini lagi."
Nayra mengangguk. "Aku mengerti."
Ardan berbalik menuju kamarnya tanpa berkata lagi. Tapi sebelum pintu tertutup, ia sempat menoleh sekilas. Ada sesuatu yang berubah pada perempuan di depannya.
Suaranya tak lagi melengking, matanya tak lagi kosong.
Hari-hari berikutnya, Nayra memulai rutinitas baru. Ia bangun lebih pagi dari ayam jantan, berjalan keliling kompleks selama tiga puluh menit, lalu membantu ibunya di dapur. Ia mengatur porsi makan, mengganti nasi putih dengan ubi rebus, dan menolak gorengan yang biasa menjadi menu wajib pagi hari.
Ibunya mengeluh, "Kau ini kenapa sih, Ratri? Takut mati kelaparan?"
"Bukan, Mah," jawabnya sambil tersenyum. "Aku hanya ingin sehat."
"Kalau sehat tapi kurus nanti Ardan makin tak suka!"
Nayra menatapnya lembut. "Mah, kalau Ardan menyukaiku hanya karena bentuk badan, berarti selama ini aku tidak punya nilai apa-apa."
Perempuan tua itu terdiam, tidak terbiasa mendengar anaknya berbicara sebijak itu.
Setiap malam, Nayra belajar sendiri di kamar. Ia menemukan buku-buku lama tentang biologi dan kedokteran yang disimpan di gudang. Tulisan-tulisannya rapi, catatannya penuh diagram.
Kadang, ia tersenyum sendiri. Meski waktuku bergeser, aku tetap dokter dalam hati.
Di luar rumah, para tetangga mulai memperhatikan perubahan Ratri.
"Lihat deh, dia sekarang rajin lari pagi."
"Wajahnya juga beda, ya. Kayak lebih cerah."
"Jangan-jangan dia mau cari suami baru."
Nayra pura-pura tidak dengar. Ia sibuk berlatih menulis esai untuk ujian masuk universitas negeri yang baru dibuka tahun itu.
Suatu sore, ketika ia sedang menyapu halaman, Ardan pulang lebih awal. Biasanya ia langsung masuk kamar. Tapi kali ini, langkahnya berhenti. Matanya menatap istrinya yang berkeringat, tapi tampak segar dengan rambut dikepang sederhana.
"Kau kenapa berkeringat begitu?" tanyanya datar.
"Lari sore, Kapten."
"Untuk apa?"
"Untuk hidup lebih lama," jawab Nayra ringan.
Ardan mengerutkan kening, menatapnya lama, lalu berjalan masuk tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi kali ini, langkahnya tidak sekeras biasanya.
Beberapa minggu berlalu. Berat badan Nayra turun perlahan, wajahnya mulai menampakkan bentuk aslinya. Ia juga mulai menjahit baju sendiri dari kain bekas agar lebih pantas dipakai. Di pasar, orang-orang mulai memanggilnya dengan nada berbeda-tidak lagi mengejek.
Namun kehidupan tak serta merta mudah.
Suatu hari, saat ia mengantar ibunya ke arisan, seorang istri perwira tua menghampiri. "Bu Ratri, kami dengar kau mau ikut ujian universitas? Kau yakin? Perempuan seperti kita kan tugasnya di rumah, bukan di kampus."
Nayra menatap wanita itu dengan sopan. "Saya percaya ilmu tidak punya jenis kelamin, Bu. Kalau Tuhan memberi otak, berarti Tuhan juga ingin kita menggunakannya."
Kalimat itu membuat seisi ruangan terdiam.
Bahkan ibunya sampai menepuk bahunya pelan setelahnya. "Kau ini makin berani saja sekarang, Nak."
Malam itu, Ardan pulang terlambat lagi. Nayra sudah hampir tertidur ketika mendengar suara pintu dibuka pelan. Ia berpura-pura tidur. Tapi matanya terbuka sedikit, mengintip dari sela selimut.
Kapten Ardan berdiri lama di pintu, menatapnya. Tatapannya kali ini bukan dingin-lebih kepada heran. Ia lalu berjalan pelan, menaruh sesuatu di meja kecil di sebelah tempat tidur: seikat bunga kertas yang biasa tumbuh di halaman depan.
Keesokan paginya, Nayra menemukannya. Sebuah kertas kecil terselip di bawah bunga.
Tulisannya singkat:
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu berubah, tapi jangan berhenti."
Nayra tersenyum. Di dada, sesuatu hangat mengembang.
Untuk pertama kalinya sejak terbangun di dunia baru ini, ia merasa tidak sendiri.
Dan dalam hati, ia berbisik,
"Ratri, lihatlah... hidupmu akan kutulis ulang. Kali ini, tanpa penyesalan."
Bab 1 Dokter Nayra
29/10/2025
Bab 2 Suara seragam disetrika bergesekan
29/10/2025
Bab 3 bukan hanya untuk hidup
29/10/2025
Bab 4 dulunya gemuk dan malas
29/10/2025
Bab 5 menata kehidupan rumah tangga
29/10/2025
Bab 6 perubahan
29/10/2025
Bab 7 membuatnya semakin diperhatikan
29/10/2025
Bab 8 seandainya ia datang lima menit lebih cepat
29/10/2025
Bab 9 Kau sudah melampaui batas waktu
29/10/2025
Bab 10 ketenangan siapa pun yang ditahan
29/10/2025
Bab 11 kesibukan tetap berjalan
29/10/2025
Bab 12 Siapa kau
29/10/2025
Bab 13 tentang kebakaran
29/10/2025
Bab 14 apakah kau yakin
29/10/2025
Bab 15 kesejukan
29/10/2025
Bab 16 terlihat tenang
29/10/2025
Bab 17 Malam sebelumnya
29/10/2025
Bab 18 waspada yang berbeda
29/10/2025
Bab 19 tampak normal tapi menyimpan
29/10/2025
Bab 20 baru ditemukan
29/10/2025
Bab 21 Tidak ada yang boleh terlewat
29/10/2025
Bab 22 Tatapannya serius
29/10/2025
Bab 23 Tangannya menulis cepat
29/10/2025
Bab 24 Ardan muncul di belakangnya
29/10/2025
Bab 25 korban yang tergeletak
29/10/2025
Buku lain oleh Jecky Jhon
Selebihnya