/0/29393/coverbig.jpg?v=20251205185344&imageMogr2/format/webp)
Nayra Lestienne datang ke Prague untuk menemui tunangannya, sekaligus menjalani sesi foto pre-wedding karena pernikahan mereka tinggal dua bulan lagi. Namun semua rencana berubah menjadi bencana ketika Nayra memergoki tunangannya-Calvin Roux-berciuman mesra dengan perempuan lain di depan hotel tempat mereka menginap. Terlalu marah untuk berpikir jernih, Nayra melakukan hal paling gila dalam hidupnya: menciumnya pria pertama yang lewat. Pria itu bernama Dr. Elias Marek, seorang peneliti sejarah berusia 30 tahun yang baru saja menerima penghargaan internasional atas temuannya. Yang awalnya hanya ciuman balas dendam tanpa makna, berubah menjadi skandal besar setelah video mereka viral di seluruh kota. Untuk melindungi reputasi masing-masing, Nayra dan Elias terpaksa menikah secara kontrak-dan tinggal di bawah satu atap selama enam bulan ke depan. Namun, siapa sangka, dari hubungan yang dimulai dengan amarah dan kesepakatan dingin, perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa mereka tolak?
Udara sore di Prague terasa dingin dan lembab. Angin musim semi berembus lembut melewati jalan berbatu di kawasan Lesser Town, membawa aroma kopi dan bunga dari kafe-kafe kecil di sepanjang trotoar.
Nayra Lestienne menarik koper hitamnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang amplop berisi undangan pernikahannya sendiri-sesuatu yang kini terasa hampir seperti lelucon.
Ia datang dari Paris pagi tadi. Dua belas jam perjalanan, tiga kali transit, dan seharusnya semuanya berakhir manis dengan pelukan tunangannya, Calvin Roux, di depan bandara Václav Havel. Tapi, Calvin tidak datang. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Hanya pesan singkat dari asistennya: "Calvin menunggu Anda di Hotel Royal Belle. Langsung ke sana saja."
Nayra sempat menertawakan ironi itu. Tunangannya yang dulu selalu cerewet soal kesetiaan dan waktu, justru tak repot-repot menjemput calon istrinya di bandara. Ia hanya menenangkan diri dengan berpikir bahwa Calvin mungkin terlalu sibuk dengan persiapan pre-wedding mereka.
"Dua bulan lagi. Dua bulan lagi semua ini akan berakhir indah," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Ia mengenakan mantel krem dan syal biru laut yang menutupi lehernya. Rambut hitam bergelombang terurai dari balik topinya, dan wajah lelahnya tak bisa disembunyikan. Nayra adalah editor mode di salah satu majalah bergengsi di Paris, terbiasa tampil rapi dan anggun. Tapi hari ini, wajahnya hanya dihiasi make-up tipis dan mata sembab akibat kurang tidur.
Begitu memasuki halaman Hotel Royal Belle, langkahnya melambat. Ia tersenyum kecil ketika melihat taman yang dihiasi lampu-lampu gantung dan bunga sakura yang bermekaran. Di bawah salah satu pohon, ada seorang fotografer yang tengah sibuk mengatur kamera, sementara dua orang tampak berdiri saling berhadapan di tengah taman.
Nayra mengerutkan dahi.
Sepasang kekasih-laki-laki tinggi dengan jas abu-abu, dan perempuan bergaun merah muda yang menggantung anggun di tubuhnya. Dari sudut wajah lelaki itu, Nayra melihat sesuatu yang terlalu familiar.
Langkahnya berhenti total.
Tidak mungkin. Itu tidak mungkin Calvin.
Tapi semakin lama ia menatap, semakin jelas bentuk rahang itu, potongan rambut itu, dan cara lelaki itu menyentuh wajah si perempuan.
Ia tahu benar sentuhan itu. Sentuhan yang dulu membuatnya merasa istimewa.
Sampai bibir mereka bersatu.
Sampai tangan Calvin memeluk pinggang perempuan itu seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Sampai suara fotografer berkata riang, "Beautiful! Perfect shot!"
Dunia Nayra runtuh.
Untuk beberapa detik, ia bahkan tak bisa bernapas.
Rasa sakit merambat cepat ke dadanya, bercampur antara marah, jijik, dan tidak percaya.
Tubuhnya bergetar. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih. "Jadi ini alasan kau tak datang menjemputku?" bisiknya parau.
Ia melangkah cepat ke arah taman, tanpa peduli tatapan orang-orang yang duduk di kafe terdekat. Suara langkah sepatu haknya terdengar keras di atas batu. Ia bahkan tidak tahu apa yang ingin ia lakukan-berteriak, menampar, atau menangis.
Tapi sebelum ia sempat menghampiri Calvin, seorang pria berjas hitam keluar dari pintu hotel, berjalan tepat di hadapannya. Ia membawa beberapa buku tebal dan kertas catatan, wajahnya tenang dan tampan dengan tatapan dingin di balik kacamata.
Dalam sepersekian detik, otak Nayra yang sudah kalut menemukan ide paling gila dalam hidupnya.
"Kalau dia bisa, aku juga bisa."
Ia berhenti di depan pria asing itu, menarik napas panjang, dan sebelum pria itu sempat bereaksi-Nayra menangkup wajahnya dan menciumnya.
Dunia seolah berhenti.
Aroma mint bercampur kopi memenuhi indera penciumannya. Bibir mereka bersentuhan, lembut tapi tegas. Tubuh pria itu menegang, buku-bukunya hampir terjatuh.
Sekitar mereka, orang-orang terdiam. Beberapa menutup mulut, beberapa lainnya mengeluarkan ponsel.
Nayra memejamkan mata, bukan karena menikmati, tapi karena tidak tahu harus bagaimana lagi melampiaskan rasa sakitnya. Saat akhirnya ia melepaskan ciuman itu, wajahnya memanas, jantungnya berdegup keras.
Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, tapi matanya jelas menunjukkan keterkejutan.
"Apa... barusan kau-"
"Diam." Nayra memotong cepat, suaranya rendah dan bergetar. "Aku hanya butuh... satu detik untuk melupakan seseorang."
Ia berbalik, meninggalkan pria itu begitu saja, tanpa sempat memperhatikan kerumunan yang mulai berbisik. Namun sebelum ia sempat melangkah jauh, suara bariton dalam dan tenang itu memanggilnya.
"Miss, kau tahu kau baru saja mencium Dr. Elias Marek, bukan?"
Langkah Nayra terhenti. Ia menatap ke belakang dengan alis berkerut. "Siapa?"
"Orang yang sedang diwawancarai oleh BBC lima menit lalu. Dan orang-orang itu-" pria itu menatap kerumunan yang masih menahan tawa kecil sambil mengangkat ponsel- "merekam semuanya."
Nayra menatap sekitar, dan darahnya terasa berhenti mengalir.
Beberapa orang benar-benar sedang merekam. Bahkan seorang turis tampak tersenyum lebar sambil berkata ke temannya, "I can't believe it! The historian just got kissed in public!"
"Ya Tuhan..." desis Nayra lirih.
Ia segera memutar badan, berlari ke arah pintu hotel, nyaris tersandung koper yang tadi ia tinggal di lobi. Sementara dari belakang, Elias memandangi punggung perempuan itu dengan ekspresi campuran antara bingung dan... kagum entah kenapa.
Beberapa jam kemudian, kamar hotel terasa seperti ruang interogasi.
Nayra duduk di tepi ranjang, wajahnya ditutupi kedua tangan. Ponselnya terus bergetar, notifikasi dari media sosial masuk tanpa henti. Tagar #TheKissInPrague sudah menjadi trending. Ada puluhan video dari berbagai sudut menampilkan ciumannya dengan pria asing tadi.
"Bodoh. Aku benar-benar bodoh," desisnya pelan.
Ia ingin menelepon Calvin, tapi apa gunanya? Ia sudah melihat sendiri pengkhianatan itu. Ia ingin menghapus semua video, tapi itu mustahil. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada keluarganya, kepada kantor majalah, atau kepada siapapun.
Ketukan di pintu membuatnya terlonjak.
Ia berdiri cepat, menghapus air mata, lalu membuka pintu.
Dan di sana, berdiri pria itu-Dr. Elias Marek-dengan jas hitam dan wajah yang sama tenangnya seperti sebelumnya.
Di tangannya, ada koran sore dengan foto mereka di halaman depan.
"Aku rasa kita perlu bicara," katanya datar.
Nayra menelan ludah. "Aku... aku bisa jelaskan. Itu tidak seperti yang kau pikirkan-"
"Tidak seperti yang kupikirkan?" Elias menaikkan alisnya. "Kau menciumku di depan umum, lalu kabur, dan sekarang seluruh kota membicarakan kita. Aku bahkan baru tahu aku punya 'kekasih misterius dari Paris' setelah membaca ini." Ia mengangkat koran.
Nayra menutup wajahnya. "Aku minta maaf. Aku kehilangan kendali. Aku... aku baru saja melihat tunanganku berselingkuh."
Elias menatapnya lama, lalu menghela napas pelan. "Jadi aku korban pelarian emosional?"
"Ya. Dan aku menyesal."
Hening sejenak.
Elias meletakkan koran di meja dan bersandar di pintu, menatapnya dengan tatapan peneliti yang menganalisis objek rumit. "Masalahnya, Nona Lestienne, ini tidak akan berhenti di sini. Kantorku sudah dihubungi oleh media. Sponsor risetku meminta klarifikasi. Dan aku tidak punya waktu untuk skandal murahan."
Nada suaranya tenang tapi tajam, membuat Nayra merasa seperti murid sekolah yang sedang dimarahi profesor.
"Aku akan urus semuanya," kata Nayra cepat. "Aku akan hubungi pengacaraku dan minta mereka bantu menurunkan video itu."
Elias menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Kau tidak tahu cara kerja internet, ya?"
Nayra menatapnya tak berdaya. "Lalu apa yang kau mau dariku?"
"Aku ingin masalah ini selesai tanpa menghancurkan karierku," katanya singkat. "Dan mungkin juga reputasimu."
Ia berjalan ke arah meja, mengambil koran itu, dan meletakkannya di hadapan Nayra.
"Besok pagi, aku akan mengadakan konferensi pers. Jika kau setuju, kita akan mengatakan bahwa kita memang memiliki hubungan pribadi. Aku tidak mau menjelaskan detailnya, hanya ingin menenangkan publik."
Nayra terpaku. "Kau ingin... berpura-pura kalau kita pacaran?"
Elias menatapnya lurus. "Untuk sementara."
"Aku tidak bisa-"
"Kalau tidak, mereka akan memburu kita lebih lama. Dan kau akan kehilangan pekerjaanmu lebih cepat daripada aku kehilangan dana penelitian."
Kata-katanya seperti tamparan halus tapi menyakitkan. Nayra terdiam.
Ia tahu Elias benar. Skandal ini sudah terlalu besar. Ia sudah jadi topik gosip di seluruh media, bahkan beberapa situs berita mode sudah menulis tentang "Ciuman Publik Editor Paris dengan Sejarawan Muda dari Prague".
Ia menarik napas panjang. "Baik. Tapi hanya sampai semuanya tenang."
Elias mengangguk kecil. "Setelah itu, kau bebas. Tapi... kau harus tetap tinggal di kota ini selama beberapa minggu. Jika kau pergi sekarang, justru akan memperburuk keadaan."
"Berapa lama?"
"Enam bulan, paling lama."
Nayra melotot. "Enam bulan?"
"Kontrak publikasi dan sponsorku berjalan sampai itu selesai. Aku tidak bisa membiarkan mereka berpikir aku menjalani hubungan palsu tanpa bukti."
Nayra ingin protes, tapi kata-kata itu tak keluar. Ia hanya menatap pria itu lama-lama, menyadari betapa dingin dan rasionalnya Elias. Tapi entah kenapa, di balik dingin itu, ada ketenangan yang aneh.
Mungkin karena untuk pertama kalinya hari itu, seseorang tidak berteriak padanya.
Keesokan paginya, dunia benar-benar gila.
Foto-foto mereka terpampang di semua portal berita online. Tagar baru muncul: #DrEliasAndNayra. Beberapa artikel bahkan menyebut mereka "pasangan ilmuwan dan editor mode yang tak terduga".
Elias menepati janjinya. Dalam konferensi pers singkat, ia hanya berkata, "Saya mohon privasi. Kami sedang dalam hubungan pribadi dan tidak ingin mengomentari lebih jauh."
Setelah itu, ia meninggalkan ruangan tanpa ekspresi, meninggalkan wartawan yang bingung dan media yang semakin haus cerita.
Sementara Nayra duduk di kafe kecil di seberang hotel, menatap layar ponselnya kosong. Pesan dari Calvin sudah masuk sejak pagi.
"Kau sudah gila? Apa maksudmu mencium pria lain?"
"Kau mempermalukanku di depan publik!"
Nayra mengetik balasan pelan-pelan.
"Kau sudah melakukannya duluan. Bedanya, aku tidak sembunyi-sembunyi."
Lalu ia menutup ponselnya, dan untuk pertama kalinya sejak kemarin, ia tersenyum-pahit, tapi lega.
Saat itulah seseorang duduk di kursi depan, meletakkan dua cangkir kopi di meja.
Elias.
"Pagi yang indah untuk orang yang hidupnya baru hancur, ya?" katanya tenang.
Nayra mendesah. "Kau ini selalu sarkastik, atau hanya kalau bicara denganku?"
Elias tersenyum tipis. "Aku tidak sarkastik. Aku realistis."
"Kau sadar, kan, kita baru saja menandatangani kontrak paling absurd di dunia?"
"Setidaknya tidak seabsurd menciummu di depan publik," balasnya cepat, membuat Nayra mendengus kecil.
Untuk sesaat, mereka sama-sama terdiam, menikmati aroma kopi dan lalu lintas kota yang mulai ramai. Di luar sana, mungkin dunia sedang membicarakan mereka dengan segala versi cerita. Tapi di antara dua cangkir kopi itu, ada sepi yang ganjil-dan awal dari sesuatu yang bahkan mereka sendiri belum bisa mengerti.
Dan di saat matahari perlahan naik di atas langit Prague, Nayra sadar satu hal:
Kadang, satu kesalahan impulsif bisa mengubah seluruh arah hidup seseorang.
Ia hanya tidak tahu, apakah perubahan ini akan berakhir sebagai penyesalan... atau justru takdir yang tak terduga.
Bab 1 terasa hampir seperti lelucon
29/10/2025
Bab 2 Hari pertama tinggal serumah
29/10/2025
Bab 3 terbangun dengan suara riuh
29/10/2025
Bab 4 Hari ini bukan hari kerja
29/10/2025
Bab 5 memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri
29/10/2025
Bab 6 semakin rumit
29/10/2025
Bab 7 masa lalu
29/10/2025
Bab 8 Pria itu terlihat dingin
29/10/2025
Bab 9 kejauhan nyaris tak terdengar
29/10/2025
Bab 10 tajam tapi berbeda tujuan
29/10/2025
Bab 11 tinggal sementara
29/10/2025
Bab 12 mereka mengerti sepenuhnya
29/10/2025
Bab 13 seakan semua orang mengetahui sesuatu
29/10/2025
Bab 14 Kita prioritaskan anak
29/10/2025
Bab 15 Apakah ini tentang tantangan
29/10/2025
Bab 16 Ia tahu hari ini tidak akan sama
29/10/2025
Bab 17 undangan
29/10/2025
Bab 18 harus diserahkan
29/10/2025
Bab 19 tidak kunjung reda
29/10/2025
Bab 20 riwayat pribadinya
29/10/2025
Bab 21 hubungan
29/10/2025
Bab 22 perlahan mendingin
29/10/2025
Bab 23 Bagaimana perasaanmu hari ini
29/10/2025
Bab 24 di balkon apartemen
29/10/2025
Bab 25 Sesuatu yang tidak bisa kuabaikan
29/10/2025
Bab 26 beberapa jam
29/10/2025
Buku lain oleh Jecky Jhon
Selebihnya