Ketika Keabadian Runtuh: Kenyataan Pahit Cinta

Ketika Keabadian Runtuh: Kenyataan Pahit Cinta

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
17
Bab

Suamiku, Baskara Aditama, seorang miliarder teknologi, adalah pria yang sempurna. Selama dua tahun, dia memujaku, dan pernikahan kami membuat semua orang yang kami kenal iri. Lalu seorang wanita dari masa lalunya muncul, menggandeng tangan seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang pucat dan sakit-sakitan. Anaknya. Anak itu menderita leukemia, dan Baskara menjadi terobsesi untuk menyelamatkannya. Setelah sebuah insiden di rumah sakit, anaknya mengalami kejang. Dalam kekacauan itu, aku terjatuh dengan keras, rasa sakit yang hebat melilit perutku. Baskara berlari melewatiku begitu saja sambil menggendong anaknya, dan meninggalkanku bersimbah darah di lantai. Aku kehilangan bayi kami hari itu, sendirian. Dia bahkan tidak pernah menelepon. Ketika dia akhirnya muncul di ranjang rumah sakitku keesokan paginya, dia mengenakan setelan jas yang berbeda. Dia memohon ampun karena tidak ada di sisiku, tanpa tahu alasan sebenarnya di balik air mataku. Lalu aku melihatnya. Sebuah bekas ciuman berwarna gelap di lehernya. Dia telah bersama wanita itu saat aku kehilangan anak kami. Dia memberitahuku bahwa keinginan terakhir putranya yang sekarat adalah melihat orang tuanya menikah. Dia memohon padaku untuk menyetujui perpisahan sementara dan pernikahan palsu dengannya. Aku menatap wajahnya yang putus asa dan egois, dan sebuah ketenangan yang aneh menyelimutiku. "Baiklah," kataku. "Aku akan melakukannya."

Bab 1

Suamiku, Baskara Aditama, seorang miliarder teknologi, adalah pria yang sempurna. Selama dua tahun, dia memujaku, dan pernikahan kami membuat semua orang yang kami kenal iri.

Lalu seorang wanita dari masa lalunya muncul, menggandeng tangan seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang pucat dan sakit-sakitan. Anaknya.

Anak itu menderita leukemia, dan Baskara menjadi terobsesi untuk menyelamatkannya. Setelah sebuah insiden di rumah sakit, anaknya mengalami kejang. Dalam kekacauan itu, aku terjatuh dengan keras, rasa sakit yang hebat melilit perutku.

Baskara berlari melewatiku begitu saja sambil menggendong anaknya, dan meninggalkanku bersimbah darah di lantai.

Aku kehilangan bayi kami hari itu, sendirian. Dia bahkan tidak pernah menelepon.

Ketika dia akhirnya muncul di ranjang rumah sakitku keesokan paginya, dia mengenakan setelan jas yang berbeda. Dia memohon ampun karena tidak ada di sisiku, tanpa tahu alasan sebenarnya di balik air mataku.

Lalu aku melihatnya. Sebuah bekas ciuman berwarna gelap di lehernya.

Dia telah bersama wanita itu saat aku kehilangan anak kami.

Dia memberitahuku bahwa keinginan terakhir putranya yang sekarat adalah melihat orang tuanya menikah. Dia memohon padaku untuk menyetujui perpisahan sementara dan pernikahan palsu dengannya.

Aku menatap wajahnya yang putus asa dan egois, dan sebuah ketenangan yang aneh menyelimutiku.

"Baiklah," kataku. "Aku akan melakukannya."

Bab 1

Bau antiseptik yang khas memenuhi hidungku di klinik. Aku duduk di tepi ranjang pemeriksaan, memperhatikan seorang perawat dengan rapi membalut luka kecil di tanganku. Goresan bodoh karena pisau dapur.

Ini bukan apa-apa, sungguh, tapi Baskara memaksa aku memeriksakannya.

Pintu klinik terbuka dengan kasar dan dia bergegas masuk, setelan jas mahalnya sedikit kusut.

"Elara, kamu baik-baik saja?"

Matanya, mata yang sama yang biasa memerintah di ruang rapat, kini melebar karena cemas. Dia bergegas menghampiri, mengabaikan perawat, dan meraih tanganku yang tidak terluka.

"Baskara, aku baik-baik saja. Ini hanya luka gores kecil."

Dia sepertinya tidak mendengarku. Dia memeriksa perban baru itu seolah-olah itu adalah luka besar, ibu jarinya dengan lembut mengelus pergelangan tanganku.

"Kamu harus lebih hati-hati," gumamnya, suaranya rendah dan penuh dengan rasa cemas posesif yang familier, yang selalu membuat jantungku berdebar kencang.

Perawat itu, seorang wanita muda dengan wajah ramah, tersenyum pada kami.

"Ibu sungguh beruntung. Suami Ibu pasti sangat mencintai Ibu."

Aku balas tersenyum, perasaan hangat menyebar di dadaku. "Aku tahu."

Kami adalah pasangan yang sempurna. Elara Wijaya dan Baskara Aditama. Mantan mixologist yang melepaskan kariernya demi miliarder teknologi yang memujanya. Dua tahun pernikahan yang menjadi idaman semua orang yang kami kenal.

Tiba-tiba, tangisan anak kecil yang menyayat hati memecah keheningan klinik. Itu adalah suara kesakitan murni, diikuti oleh suara seorang wanita yang putus asa mencoba menenangkan.

Suara itu datang dari kamar sebelah. Senyumku memudar.

Perawat itu menghela napas, ekspresinya berubah sedih. "Kasihan anak itu. Dia datang untuk kemoterapi."

"Kemoterapi?" tanyaku, luka kecilku sendiri terlupakan.

"Leukemia," katanya pelan. "Baru berumur empat tahun. Sungguh malang."

Gelombang simpati menyelimutiku. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakit yang dialami anak itu dan ibunya.

"Mengerikan sekali," bisikku.

Baskara meremas tanganku, nadanya acuh tak acuh. "Itu menyedihkan, tapi tidak ada hubungannya dengan kita, Elara. Ayo kita pulang."

Dia selalu seperti itu-fokus, sedikit dingin jika menyangkut hal-hal di luar dunia kami yang sempurna. Dia mulai membantuku turun dari ranjang, siap untuk pergi.

Tapi kemudian pintu kamar sebelah terbuka. Seorang wanita dengan mata lelah dan pakaian murah keluar, menggandeng tangan seorang anak laki-laki kecil yang pucat.

Anak itu menangis pelan, wajahnya basah oleh air mata. Wanita itu tampak putus asa, matanya memindai ruangan sampai mendarat pada Baskara.

Dia membeku. Lalu, wajahnya berubah kaget bercampur dengan sesuatu yang lain yang tidak bisa kuberi nama.

Dia maju selangkah, menarik anak kecil itu bersamanya.

"Baskara?" katanya, suaranya bergetar. "Baskara Aditama?"

Tubuh Baskara menegang di sampingku. Dia tidak berbalik. Dia tidak berbicara.

Wanita itu mengambil langkah lagi. "Ini aku. Karin. Dari Bali? Empat tahun yang lalu."

Aku memandang dari wanita itu ke suamiku, jantungku mulai berdetak sedikit terlalu cepat. Aku merasakan firasat buruk yang dingin merayap di tulang punggungku.

Anak kecil itu, Leo, menatap Baskara. Dan di wajahnya yang kecil dan pucat, aku melihatnya. Garis rahangnya yang tajam. Matanya yang dalam. Dia adalah versi mini dari suamiku.

Baskara akhirnya berbalik, wajahnya bagai topeng ketidakpercayaan. "Aku tidak kenal kau."

Penyangkalannya cepat, terlalu cepat.

"Di Mulia Resort," desak Karin, suaranya menguat. "Kau di sana untuk konferensi teknologi. Kita... kita menghabiskan malam bersama."

Sebuah ingatan muncul, sesuatu yang pernah Baskara ceritakan padaku dulu sekali. Kesalahan mabuk di Bali sebelum dia bertemu denganku. Dia bilang itu hanya cinta satu malam yang tidak berarti, sebuah kesalahan bodoh yang dia sesali.

Pandanganku kembali tertuju pada anak itu, Leo. Empat tahun.

Perhitungannya sederhana. Perhitungannya brutal.

Gelembung hangat dan bahagia tempatku hidup tidak hanya pecah. Gelembung itu hancur berkeping-keping es yang dingin.

Aku menatap Baskara, suaraku nyaris tak terdengar. "Apa itu benar?"

Dia tidak mau menatap mataku.

"Kita butuh tes DNA," kataku, kata-kata itu terasa asing di mulutku. Suaraku sendiri terdengar jauh, seperti milik orang lain.

Menunggu hasilnya adalah satu jam terpanjang dalam hidupku. Karin duduk diam, memeluk putranya, ekspresinya tenang, nyaris penuh kemenangan. Baskara mondar-mandir, wajahnya muram, karismanya lenyap, digantikan oleh rasa bersalah yang mentah dan membara.

Aku hanya duduk di sana, tangan terkepal di pangkuanku, mencoba menahan diri. Aku merasa mati rasa, seolah sedang menonton film tentang hidupku yang berantakan.

Akhirnya, perawat itu kembali dengan selembar kertas. Dia tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun. Raut wajahnya sudah cukup.

Hasilnya mengonfirmasi. 99,9% kemungkinan.

Leo adalah putra Baskara.

Baskara menatap kertas itu, wajahnya pucat pasi. Dia menatapku, mulutnya membuka dan menutup, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dia hanya tampak tersesat, hancur.

Karin mulai terisak, suara yang dibuat-buat agar terdengar menyedihkan. Dia menarik Leo lebih dekat.

"Baskara, dia sekarat," isaknya. "Dokter bilang dia butuh transplantasi sumsum tulang. Kau satu-satunya harapannya. Tolong, dia putramu."

Kata 'putra' seolah menghantam Baskara seperti pukulan fisik. Dia menatap anak laki-laki kecil yang sakit itu, pada air mata di wajahnya, dan sesuatu dalam diri suamiku berubah. Rasa bersalah di matanya digantikan oleh rasa tanggung jawab yang kuat dan putus asa.

Dia menatapku, tapi tatapannya jauh. Seolah-olah dia sudah berada di dunia lain, dunia di mana aku tidak ada.

"Elara," katanya, suaranya tegang. "Pulanglah. Aku... aku akan menangani ini. Pulang saja dan istirahat."

Pulanglah.

Kata-kata itu bergema di kepalaku. Dia mengusirku. Dalam krisis nyata pertama pernikahan kami, dia memilih mereka. Dia mendorongku keluar.

Itu adalah sebuah penghakiman. Sebuah vonis. Dan pada saat itu, aku tahu aku telah kalah.

Aku bahkan tidak bisa menemukan amarah untuk melawan. Aku hanya merasakan kesedihan yang mendalam dan mengosongkan jiwa. Inilah pria yang telah berjanji untuk mencintai dan melindungiku selamanya. Pria yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku.

Tapi dia punya rahasia. Rahasia berusia empat tahun yang kini sedang sekarat. Dan aku tidak bisa membencinya karena ingin menyelamatkan anaknya.

Aku berdiri, kakiku terasa goyah. Dunia sedikit miring. Aku berjalan keluar dari klinik, meninggalkannya di sana dengan masa lalunya, putranya, dan wanita yang baru saja menghancurkan masa depanku.

Aku kembali ke rumah kami yang indah dan kosong. Potret pernikahan besar di lobi seolah mengejekku. Wajah kami yang tersenyum, begitu penuh harapan. Itu membuatku mual.

Gelombang pusing yang hebat menghantamku, dan dunia menjadi gelap.

Ketika aku sadar, aku berada di tempat tidurku sendiri. Asisten rumah tangga kami, Bi Imah, menatapku dengan cemas.

"Nyonya Baskara pingsan. Saya sudah panggil dokter."

Dokter, seorang pria berwajah ramah, sedang membereskan tasnya. Dia tersenyum lembut.

"Selamat, Nyonya Baskara. Anda hamil."

Hamil.

Kata itu menggantung di udara. Percikan kecil kegembiraan berkedip di dalam diriku, segera diikuti oleh gelombang ketidakpastian yang menghancurkan. Seorang bayi. Bayi kami.

Tapi apakah Baskara masih menginginkan bayi kami sekarang?

"Di mana dia?" tanyaku pada Bi Imah, suaraku lemah. "Di mana Baskara?"

"Beliau belum pulang, Nyonya. Beliau belum menelepon."

Dia masih di rumah sakit. Bersama mereka.

Aku berbaring di sana, satu tangan di perutku yang rata, tangan lainnya menggenggam ponselku, badai kegembiraan dan ketakutan berkecamuk di dalam diriku.

Dia tinggal di rumah sakit sepanjang malam. Dia tidak pernah menelepon. Dia tidak pernah mengirim pesan.

Keesokan paginya, saat aku duduk sendirian di meja makan besar mencoba memaksakan diri makan roti panggang, ponselku bergetar.

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

Aku tahu kau sedang mencari keluargamu. Kurasa aku bisa membantu.

Aku menatap layar, jantungku berdebar kencang. Keluargaku. Keluarga yang tidak bisa kuingat. Keluarga yang kukira telah hilang selamanya.

Aku mengetik balasan dengan satu kata gemetar.

Siapa ini?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

xuanhuan

5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Romantis

5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku