/0/26438/coverorgin.jpg?v=a62374ef56376f88395da900a2247285&imageMogr2/format/webp)
"Eh, liat tu, Bu Ibu, tetangga sombong lewat," celetuk Bu Tut. Bu Tuti atau biasa dipanggil Bu Tut, memulai kebiasaannya menyindir Rani.
Rani yang mendengar hanya melengos begitu saja. Ia malas kalau berhadapan dengan Bu Tuti. Tak akan ada habisnya kalau melayani sindirannya.
Melihat Rani yang tidak terpancing, membuat Bu Tuti kesal. Ia kembali menyindir, "Kok, bisa ya, si Irwan betah punya istri sombong kaya gini? Kadang saya juga liat loh, Bu Ibu, suaminya mau aja disuruh melakukan pekerjaan rumah. Padahal 'kan itu tugasnya perempuan. Laki-laki itu tugasnya hanya mencari nafkah. Kasihan banget 'kan yang jadi suaminya? Sudahlah bekerja, di rumah pun harus melakukan pekerjaan rumah tangga lagi! Punya istri, kok ya, ga guna." Mulut Bu Tuti memang nggak pernah pake rem kalo ngomong.
Rani terdiam mendengar ucapan Bu Tut. Tangan kanannya yang memegang sayur gemetar saking geramnya dia. Dia mulai terpancing emosi.
"Bu Tut, ini memang nggak bisa didiemin, ya!" ucapnya terlihat geram. Matanya menampakan kemarahan.
Seketika nyali Bu Tut menciut."Memang apa salahnya kalau suami membantu istri? Yang bantuin juga suami saya, bukan suaminya Bu Tut. Mas Irwan-nya aja nggak keberatan, kenapa jadi Bu Tut yang repot?" ketus Rani.
Suasana di tukang sayur pagi itu memanas, Rani yang biasanya diam saja ketika mulut pedas Bu Tut berbicara, kali ini tak tinggal diam.
"Bu, minta tolong sama suami sendiri itu ga dosa dan nggak ada yang larang, yang nggak boleh itu minta tolong sama suami orang, secara paksa pula. Habis itu, dengan tidak tau malunya menggoda suami orang," Rani menyindir Bu Tut. Ia mengingatkan Bu Tut ketika anak perempuannya yang sudah menjadi janda meminta tolong kepada suaminya membetulkan lampu di rumahnya.
Bukan hanya meminta tolong, Ratih-- anaknya Bu Tut bahkan tidak segan-segan menggoda suami Rani. Untungnya, Irwan tidak tergoda. Dia lelaki yang kuat iman.
Bu Tut kena mental. Ia merasa sangat malu. Meski tidak ada satu pun warga yang tau, tapi perkataan Rani sukses membuat Bu Tut terdiam.
Rani menarik sudut bibirnya melihat Bu Tut berhenti mengoceh. "Berapa, Bang, total belanjaan saya?"
"Dua puluh lima ribu, Mbak Rani!" Rani menyodorkan uang pas dan segera berlalu dari perkumpulan ibu-ibu rese itu tanpa mencoba berbasa-basi dengan mereka.
"Liat tuh! Anak muda zaman sekarang ga ada sopan santunnya sama orang tua," celetuk Bu Susi, salah seorang gengnya Bu Tut. "Kurang ajar banget ngomong seperti itu."
"Sudah, Bu!" tegur Bu Midah salah satu tetangga yang rumahnya dekat dengan rumah Rani. "Nanti, orangnya dengar! Ibu mau disamperin si Rani lagi?" Bu Midah mencoba menakuti.
Bu Midah salah satu tetangga yang ga suka berkumpul dengan ibu-ibu penggosip seperti gengnya Bu Tut. Beliau sama seperti Rani. Lebih suka di rumah berkumpul bersama suami dan anaknya.
Beliau juga tau, kalau gengnya Bu Tut selalu membicarakan dia di belakang. "Itu lah resiko kalau sudah kenal dengan orang yang suka menggosip. Kalau kalian tidak ada, kalian lah yang akan dijadikan bahan gosipan," batinnya.
"Emang bener 'kan. Si Rani itu memang kurang ajar. Masa sama Bu Tut bicara seperti itu. Bu Tut ini seumuran loh sama ibunya."
"Bukannya saya membela Rani, tapi 'kan Bu Tut duluan yang memulai. Coba kalau Bu Tut diam aja, mungkin Rani nggak akan bicara seperti itu," bela Bu Midah.
"Bu Midah, ini apa-apaan, sih? Segitunya membela Rani! Dibayar Rani berapa memangnya?" ketus Bu Tut.
Bu Midah yang tau sifat Rani tak seperti yang digosipkan tetangga hanya geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Bu Tut.
"Bukan begitu, Bu Tut. Ya, sudah kalau begitu saya permisi duluan, ya! Mau segera masak untuk suami saya." Daripada semakin panjang Bu Midah segera berlalu meninggalkan mereka.
Yang tersisa tinggal gengnya Bu Tut. Mereka bergosip ke sana ke mari, membicarakan orang yang tak sefrekuensi dengan mereka.
"Bu, ini masih lama lagi milih belanjaannya? Saya mau keliling lagi ke gang sebelah!" tanya Kang Parto, tukang sayur langganan mereka.
/0/3565/coverorgin.jpg?v=e3cb0343bbd128c218a354b3ab719c21&imageMogr2/format/webp)
/0/4131/coverorgin.jpg?v=fc0e1c0faf3eed5589e00c9f6b3b814d&imageMogr2/format/webp)
/0/16726/coverorgin.jpg?v=efe350198bc12824dac0039d2c800dbc&imageMogr2/format/webp)
/0/18326/coverorgin.jpg?v=0107b6913a2885be76710c1a85e10c41&imageMogr2/format/webp)
/0/17369/coverorgin.jpg?v=c636ecfb089e67f8a572620eb4174d8f&imageMogr2/format/webp)
/0/7539/coverorgin.jpg?v=ed8fe97d5a9ca68a26b7170cd08632de&imageMogr2/format/webp)
/0/2912/coverorgin.jpg?v=65e5ee1869245948981668c5cd42cdc6&imageMogr2/format/webp)
/0/2920/coverorgin.jpg?v=98acc4a30862b06bcde37c55161ec75e&imageMogr2/format/webp)
/0/12710/coverorgin.jpg?v=744a608d2c902474986a4e5c13ac6375&imageMogr2/format/webp)
/0/19210/coverorgin.jpg?v=ea7afdd953f090bd13df17bc73fec027&imageMogr2/format/webp)
/0/28398/coverorgin.jpg?v=b6753d55de50fdeda83199c069830624&imageMogr2/format/webp)
/0/18453/coverorgin.jpg?v=e5e9a83888769727e77b41bd16e4dcf1&imageMogr2/format/webp)
/0/21226/coverorgin.jpg?v=e13efa5f6553a71befb5eec17f044060&imageMogr2/format/webp)
/0/4363/coverorgin.jpg?v=579bd1987aba38d90c313a7ff49b27c5&imageMogr2/format/webp)
/0/10339/coverorgin.jpg?v=7244edee781154bedeaf59222cc144ab&imageMogr2/format/webp)
/0/24618/coverorgin.jpg?v=3621c3cfbe55b5c5fe7bc3624d76b81c&imageMogr2/format/webp)
/0/2993/coverorgin.jpg?v=54f882673b3091c398ef98ac273eafa8&imageMogr2/format/webp)