Dian, seorang istri yang tampak menjalani kehidupan harmonis, menyembunyikan luka batin dan rahasia kelam yang mulai menguasai hidupnya. Hubungan terlarangnya dengan Raihan, pria yang juga terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, semakin membawa keduanya ke dalam pusaran dosa. Pagi itu, setelah malam panjang yang penuh kesalahan, Dian diliputi rasa bersalah yang mendalam. Ia menyadari bahwa perbuatannya bukan hanya melukai suaminya, Galih, tetapi juga Laras, istri Raihan, yang selama ini menganggapnya sebagai sahabat sekaligus saudara. Saat Dian berusaha menjauh dari Raihan dan menghentikan hubungan mereka, Raihan justru semakin menunjukkan cintanya yang obsesif. Namun, konflik semakin memuncak ketika Laras tiba-tiba muncul di depan kamar Dian tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah dilema moral dan tekanan emosional, Dian merasa semakin terjebak dalam bayangan kelam yang mengancam untuk menghancurkan segalanya-pernikahan, persahabatan, dan masa depannya. Akankah ia mampu keluar dari jeratan ini sebelum semuanya terlambat?
Malam itu, hujan mengguyur deras di luar rumah besar keluarga Wijaya. Dian duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kamar tamu yang kini ia tempati terasa begitu sunyi, jauh dari hangatnya perhatian seorang suami yang selama ini ia rindukan. Galih, suaminya, sudah terlalu lama sibuk dengan pekerjaannya, meninggalkan kekosongan yang perlahan menggerogoti hatinya.
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Raihan yang melangkah masuk. Wajahnya penuh dengan keraguan, namun di balik itu, ada dorongan yang tak bisa ia tahan lagi.
"Dian," panggil Raihan pelan, suaranya rendah namun penuh intensi.
Dian menoleh, pandangan mereka bertemu. Tatapan Raihan menusuk ke dalam hatinya, membangkitkan rasa yang selama ini ia pendam. "Mas Raihan, ini nggak benar. Kamu nggak seharusnya di sini," bisiknya, namun nada suaranya terdengar rapuh.
Raihan mendekat, duduk di sisi tempat tidur, hanya beberapa inci dari Dian. "Aku tahu ini salah. Tapi aku nggak bisa lagi berpura-pura, Dian. Aku mencintaimu. Dari dulu."
Dian menggelengkan kepala, mencoba menyangkal perasaannya sendiri. "Aku istri adikmu, Mas. Dan kamu... kamu suami Kak Laras. Apa kamu nggak pikirin dia?"
"Aku pikirkan," jawab Raihan tanpa ragu. "Tapi Laras nggak pernah mencintaiku seperti aku mencintaimu. Dian, aku selalu ada di sini, melihat kamu terluka karena Galih. Aku nggak tahan lagi."
Dian terdiam, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Kata-kata Raihan mencabik hatinya, membuka luka yang selama ini ia tutupi dengan keheningan. Raihan menyentuh pipinya, menyeka air mata itu dengan lembut.
"Dian," bisiknya, mendekatkan wajahnya hingga napas mereka saling bertemu. "Kamu juga ngerasain ini, kan?"
Dian tak mampu menjawab, dan di keheningan itu, bibir Raihan menyentuh bibirnya. Awalnya lembut, penuh keraguan, namun perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih penuh gairah.
Dian mencoba menarik diri, tapi tubuhnya seakan mengkhianati pikirannya. Hatinya menjerit, mencoba mengingatkan bahwa ini salah. Namun, setiap sentuhan Raihan menghapus logika itu, meninggalkan hanya rasa yang menguasai dirinya.
"Mas... kita nggak bisa," gumam Dian di sela napasnya yang memburu.
"Kita sudah terlalu jauh, Dian," balas Raihan, membaringkannya di ranjang. "Aku nggak peduli lagi. Aku hanya ingin kamu."
Dian terdiam saat tangan Raihan menyusuri wajahnya, lehernya, hingga ke pinggangnya. Setiap sentuhan membuat tubuhnya merespons, meski hatinya masih berperang dengan rasa bersalah.
Dalam keheningan malam yang hanya diiringi suara hujan, mereka tenggelam dalam gairah yang tak terbendung. Dian tahu ini salah, namun di pelukan Raihan, ia merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Hujan terus mengguyur, seolah menjadi saksi bisu dari dosa yang kini melibatkan dua hati yang seharusnya saling menjaga batas. Dan malam itu, di kamar yang remang, hubungan mereka berubah selamanya.
Apakah ada elemen tertentu yang ingin Anda tambahkan atau perhalus pada bagian ini?**Bab 1: Larut dalam Dosa**
Malam itu, hujan mengguyur deras di luar rumah besar keluarga Wijaya. Dian duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kamar tamu yang kini ia tempati terasa begitu sunyi, jauh dari hangatnya perhatian seorang suami yang selama ini ia rindukan. Galih, suaminya, sudah terlalu lama sibuk dengan pekerjaannya, meninggalkan kekosongan yang perlahan menggerogoti hatinya.
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Raihan yang melangkah masuk. Wajahnya penuh dengan keraguan, namun di balik itu, ada dorongan yang tak bisa ia tahan lagi.
"Dian," panggil Raihan pelan, suaranya rendah namun penuh intensi.
Dian menoleh, pandangan mereka bertemu. Tatapan Raihan menusuk ke dalam hatinya, membangkitkan rasa yang selama ini ia pendam. "Mas Raihan, ini nggak benar. Kamu nggak seharusnya di sini," bisiknya, namun nada suaranya terdengar rapuh.
Raihan mendekat, duduk di sisi tempat tidur, hanya beberapa inci dari Dian. "Aku tahu ini salah. Tapi aku nggak bisa lagi berpura-pura, Dian. Aku mencintaimu. Dari dulu."
Dian menggelengkan kepala, mencoba menyangkal perasaannya sendiri. "Aku istri adikmu, Mas. Dan kamu... kamu suami Kak Laras. Apa kamu nggak pikirin dia?"
"Aku pikirkan," jawab Raihan tanpa ragu. "Tapi Laras nggak pernah mencintaiku seperti aku mencintaimu. Dian, aku selalu ada di sini, melihat kamu terluka karena Galih. Aku nggak tahan lagi."
Dian terdiam, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Kata-kata Raihan mencabik hatinya, membuka luka yang selama ini ia tutupi dengan keheningan. Raihan menyentuh pipinya, menyeka air mata itu dengan lembut.
"Dian," bisiknya, mendekatkan wajahnya hingga napas mereka saling bertemu. "Kamu juga ngerasain ini, kan?"
Dian tak mampu menjawab, dan di keheningan itu, bibir Raihan menyentuh bibirnya. Awalnya lembut, penuh keraguan, namun perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih penuh gairah.
Dian mencoba menarik diri, tapi tubuhnya seakan mengkhianati pikirannya. Hatinya menjerit, mencoba mengingatkan bahwa ini salah. Namun, setiap sentuhan Raihan menghapus logika itu, meninggalkan hanya rasa yang menguasai dirinya.
"Mas... kita nggak bisa," gumam Dian di sela napasnya yang memburu.
"Kita sudah terlalu jauh, Dian," balas Raihan, membaringkannya di ranjang. "Aku nggak peduli lagi. Aku hanya ingin kamu."
Dian terdiam saat tangan Raihan menyusuri wajahnya, lehernya, hingga ke pinggangnya. Setiap sentuhan membuat tubuhnya merespons, meski hatinya masih berperang dengan rasa bersalah.
Dalam keheningan malam yang hanya diiringi suara hujan, mereka tenggelam dalam gairah yang tak terbendung. Dian tahu ini salah, namun di pelukan Raihan, ia merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Hujan terus mengguyur, seolah menjadi saksi bisu dari dosa yang kini melibatkan dua hati yang seharusnya saling menjaga batas. Dan malam itu, di kamar yang remang, hubungan mereka berubah selamanya.
Buku lain oleh Gustini
Selebihnya