Terjebak dalam Godaan Ipar

Terjebak dalam Godaan Ipar

Ike Vianis

5.0
Komentar
20
Penayangan
11
Bab

Terperangkap dalam rahasia dan godaan yang berbahaya, Elara tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis karena keluarga. Gadis cantik, cerdas, dan mandiri ini dikenal keras kepala dan tidak suka diperintah siapa pun. Namun, saat ia masuk ke dunia keluarga Kaden, seorang pria tampan, kaya, dan sangat mencintai istrinya, hidupnya mulai berantakan. Kaden adalah suami dari kakak angkat Elara, Marisol, seorang perempuan lembut yang selalu menjadi pusat perhatian keluarga. Meski mencintai istrinya sepenuh hati, Kaden justru merasa tergoda oleh Elara - adik iparnya sendiri, yang polos namun menantang. Dilema, rahasia, dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh antara mereka membuat Elara harus memilih: apakah ia akan menyerah pada godaan dan terus menanggung hubungan yang terlarang ini, ataukah ia akan menjauh demi menjaga hati semua orang yang dicintainya?

Bab 1 mencoba menenangkan hati yang berdebar tak karuan

Elara menatap langit senja dari jendela apartemennya yang mungil. Warna oranye keemasan yang perlahan berubah menjadi ungu gelap seakan mencerminkan perasaan campur aduknya: rindu, bingung, dan, entah mengapa, sedikit takut. Ia meneguk kopi pahit di tangannya, mencoba menenangkan hati yang berdebar tak karuan. Hari ini-atau lebih tepatnya, beberapa jam yang lalu-hidupnya berubah tanpa bisa ia cegah.

Kakak angkatnya, Marisol, yang selalu menjadi panutan, tiba-tiba meminta bantuannya. Marisol, dengan senyum lembutnya yang menenangkan, tersenyum sambil menatap Elara. "El, aku butuh kamu tinggal di rumah kami beberapa minggu. Aku ada urusan mendadak ke luar kota. Aku tidak mau repot, tapi aku tahu kamu bisa membantu."

Elara mengangkat alis. "Beberapa minggu? Marisol, aku-"

"Silakan, El," potong Marisol sambil menaruh tangan di pundak Elara. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu kamu selalu bisa menjaga semuanya tetap baik-baik saja."

Elara tersenyum tipis, walaupun hatinya tidak tenang. Ia sudah sering membantu Marisol, tapi entah mengapa kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa seolah akan masuk ke dunia yang jauh lebih kompleks dari sekadar urusan rumah tangga biasa.

Di rumah Marisol, semuanya tampak sempurna. Ruangan luas, dekorasi minimalis nan elegan, dan aroma bunga segar yang menyebar ke setiap sudut. Namun, ketenangan itu justru membuat jantung Elara berdebar lebih cepat. Ia tahu Kaden, suami Marisol, akan ada di sana.

Kaden. Nama itu saja membuat pipinya memerah meskipun ia mencoba menenangkannya sendiri. Pria itu-tampan, berkarisma, dan penuh wibawa-selalu berhasil membuat Elara merasa terguncang setiap kali mereka bertemu. Ia bukan tipe pria yang ramah tanpa sebab; setiap tatapan, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu menimbulkan rasa penasaran, sekaligus rasa bersalah.

Saat Elara membuka pintu ruang tamu, ia melihat Kaden sedang duduk di sofa besar, memegang cangkir kopi hitam dengan ekspresi serius. Matanya yang tajam seolah langsung menelusuri seluruh tubuh Elara begitu ia melangkah masuk.

"Elara," sapanya dengan suara hangat namun berat, membuat jantung Elara berdetak kencang.

"Pak Kaden," jawab Elara, sedikit gugup tapi tetap berusaha terdengar tenang. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa tatapan Kaden membuatnya tak nyaman sekaligus tergoda.

Kaden mengangguk, setengah tersenyum, lalu menundukkan kepala kembali pada kopinya. Ada sesuatu dalam cara ia menatap Elara, sesuatu yang membuatnya merasakan kombinasi aneh antara aman dan bahaya.

"Marisol bilang kamu akan tinggal di sini beberapa minggu," katanya akhirnya. Suaranya rendah, hampir berbisik. "Aku senang, tapi juga sedikit khawatir."

Elara menelan ludah. "Aku... aku akan berusaha sebisa mungkin."

Kaden menatapnya lagi, kali ini lebih lama. Ada pertanyaan, ada penilaian, dan entah mengapa, ada rasa... sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan terhadap adik iparnya sendiri.

Hari pertama Elara tinggal di rumah itu terasa seperti labirin emosi yang rumit. Ia harus memasak, membersihkan, mengurus dokumen kecil, dan tentu saja menjaga Marisol yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Tapi yang paling membuatnya cemas adalah kehadiran Kaden.

Kaden bukan pria yang kasar atau menyinggung. Justru sebaliknya, ia sangat sopan, perhatian, dan terkadang terlalu hangat untuk orang yang seharusnya "hanya" menjadi menantunya. Ada saat-saat di mana ia menatap Elara dengan tatapan yang terlalu dalam, membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaan rumah.

Suatu malam, ketika Elara sedang membereskan ruang kerja Marisol, Kaden muncul di pintu.

"El, boleh aku bicara sebentar?" tanyanya, suaranya rendah.

Elara menelan ludah. "Tentu, Pak Kaden," jawabnya, walaupun hatinya sudah berdebar seperti gila.

Mereka berdiri bersebelahan, tetapi jarak itu terasa terlalu dekat. Kaden menatapnya, dan Elara merasa seolah seluruh pikirannya dibaca.

"Aku tahu ini tidak mudah untukmu," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Tinggal di sini, membantu Marisol... aku tahu kamu mungkin merasa canggung atau... terganggu oleh kehadiranku."

Elara tersenyum tipis, mencoba terdengar santai. "Tidak, tidak begitu. Aku hanya... belum terbiasa."

Kaden mengangguk perlahan. Ada keheningan yang aneh di antara mereka, bukan canggung, tapi... listrik. Sesuatu yang membuat Elara merasa campur aduk, antara aman dan terlarang.

"Aku... menghargai kamu, El," katanya akhirnya, hampir berbisik. "Aku tahu kamu adik iparku, dan aku tidak boleh merasa seperti ini. Tapi... aku tidak bisa membohongi diri sendiri."

Elara menahan napas. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Ia tahu, apa yang dirasakan Kaden-bahkan hanya diucapkan-sangat salah. Terlarang. Tapi entah mengapa, hatinya bergetar, dan keinginan untuk menolaknya terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Hari-hari berikutnya penuh dengan ketegangan yang manis sekaligus menyiksa. Setiap senyum Kaden, setiap sentuhan ringan di lengan saat memberi buku atau kertas, membuat Elara merasa bersalah, sekaligus tergoda. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, Kenapa aku merasakan ini? Ini salah... benar-benar salah.

Namun, pada saat yang sama, ada kepuasan aneh saat berada dekat dengannya. Kaden adalah pria yang sempurna, bahkan untuk orang yang seharusnya "tidak boleh" diinginkan. Tatapannya, suaranya, bahkan cara ia tersenyum saat Elara berhasil melakukan sesuatu membuatnya ingin lebih dekat-bahkan ketika ia tahu itu berarti melangkah ke wilayah yang berbahaya.

Suatu malam, saat Marisol masih sibuk di luar kota, Kaden memanggil Elara ke ruang tamu. Lampu temaram, aroma parfum Marisol yang lembut masih terasa di udara.

"Duduklah," katanya, menunjuk sofa.

Elara duduk, dan mereka berdua diam sejenak. Ada ketegangan yang begitu pekat hingga Elara bisa merasakannya di kulitnya.

"Kamu tahu aku mencintai Marisol," Kaden memulai, suaranya bergetar tipis. "Tapi... aku juga tidak bisa menolak perasaanku terhadapmu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menutup mata."

Elara menunduk, mencoba menenangkan napasnya yang semakin cepat. "Pak Kaden... ini salah. Kita tidak boleh-"

"Ku tahu," potong Kaden, suaranya lebih rendah, hampir berbisik di telinganya. "Tapi kenyataannya, aku menginginkanmu. Dan aku tidak bisa berbohong tentang itu."

Elara menatap matanya, berusaha menahan diri, tapi hatinya berontak. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran yang membuatnya ingin tahu lebih jauh tentang perasaan yang seharusnya terlarang ini.

Malam itu berakhir dengan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Elara tahu ia harus membuat pilihan-tetap menjaga jarak dan melindungi hati semua orang, atau membiarkan perasaan terlarang itu tumbuh lebih dalam, meskipun berisiko menghancurkan hidup mereka semua.

Ketika ia menutup mata, pikiran tentang Kaden tidak pernah jauh. Tatapan itu, suara itu, dan kata-kata yang membuatnya gemetar tetap berputar di kepalanya. Ia sadar satu hal: kehidupan yang aman dan biasa kini sudah menjadi hal yang mustahil.

Dan Elara pun memulai perjalanan yang berbahaya, penuh godaan, rahasia, dan konflik batin yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Hari-hari berikutnya di rumah Kaden dan Marisol menjadi semakin sulit bagi Elara. Setiap langkah, setiap gerakan, bahkan setiap kata yang diucapkan terasa seolah ada pengawas tak terlihat yang menilai. Namun bukan Marisol yang menjadi pengawas itu, melainkan hatinya sendiri yang terus dipertaruhkan di ujung tebing perasaan yang terlarang.

Pagi itu, Elara bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak mampu menghangatkan hatinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi hari yang pasti akan penuh ketegangan.

Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara. Kaden sudah duduk di meja makan, membaca koran pagi, dengan ekspresi serius namun tenang. Ketika Elara masuk, ia menatapnya sekilas, dan jantung Elara langsung berdetak lebih cepat.

"Pagi," sapa Kaden, suaranya lembut tapi ada nada yang sulit untuk diabaikan.

"Pagi, Pak Kaden," jawab Elara sambil tersenyum tipis, mencoba terlihat santai. Namun hatinya terasa seperti terikat dalam jaring emosi yang rumit.

Kaden menurunkan koran, menatapnya lebih lama. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Elara merasa seperti ia menjadi pusat dunia Kaden, meskipun ia tahu itu salah.

"Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Kaden, suaranya rendah dan berat, membuat Elara menelan ludah.

"Ya... cukup," jawabnya, menunduk. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya.

Namun, Kaden tidak membiarkan percakapan itu berhenti begitu saja. Ia menggeser cangkir kopi, mendekat sedikit, dan menatap mata Elara dengan intensitas yang membuatnya tak berkedip.

"El, aku ingin kita jujur satu sama lain," katanya pelan. "Tentang perasaan yang... tidak seharusnya ada."

Elara menahan napas, hatinya bergejolak. Ia tahu Kaden benar. Perasaan itu memang ada, dan semakin hari semakin sulit ia bendung. Namun, kata-kata itu seperti ledakan di hatinya-antara takut, bersalah, dan penasaran yang memabukkan.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Kaden tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan yang jelas di wajahnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kamu tahu... aku tidak akan memaksamu. Aku... menghargai setiap batas yang kamu tetapkan. Tapi... aku juga tidak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini tidak ada."

Elara menunduk, merasakan panas menyebar di pipinya. Ia tahu jalan yang mereka lalui sangat berbahaya. Bahkan satu langkah kecil bisa menghancurkan segalanya-hubungan keluarganya dengan Marisol, reputasinya, dan hati yang kini mulai terguncang.

Hari-hari berikutnya menjadi permainan halus antara jarak dan kedekatan. Kaden selalu memperhatikannya, menawarkan bantuan kecil, menatapnya di saat yang salah, atau tersenyum di momen yang seharusnya netral. Elara merasakan gelombang emosi yang tidak pernah ia alami sebelumnya-antara ingin menolak dan ingin menyerah.

Suatu sore, saat ia membersihkan rak buku di ruang kerja Marisol, Kaden masuk tanpa mengetuk.

"El, aku... bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya rendah.

Elara menoleh, sedikit kaget. "Tentu, Pak Kaden."

Kaden menutup pintu di belakangnya, membuat suasana menjadi sepi dan intens. Ia mendekat, tetapi tetap menjaga jarak yang sopan.

"Aku tahu ini salah. Aku tahu kita tidak boleh merasakan apa yang kita rasakan," katanya, suaranya hampir berbisik. "Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Aku ingin kamu, El. Aku... tidak tahu bagaimana menahannya lagi."

Elara menunduk, napasnya tersengal. Ia ingin menolak, ingin lari, tapi tubuhnya terasa membeku. Ada ketertarikan yang kuat, sesuatu yang lebih besar dari yang ia bisa kendalikan.

"Pak Kaden... ini salah," bisiknya, suaranya nyaris pecah. "Kita tidak boleh-"

"Tapi kenyataannya, aku menginginkanmu," potong Kaden, matanya menatap dalam ke matanya. "Aku tidak akan memaksa, aku berjanji. Tapi... aku tidak bisa menahan diri lagi."

Elara menahan napas, hatinya bergejolak. Ia tahu satu langkah kecil bisa membuatnya jatuh ke jurang yang berbahaya. Namun, pada saat yang sama, ada rasa penasaran yang memabukkan, membuatnya ingin tahu lebih jauh tentang perasaan yang seharusnya terlarang ini.

Beberapa hari kemudian, Marisol kembali. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan di antara Elara dan Kaden semakin terasa. Marisol ceria, penuh perhatian, dan sama sekali tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di rumahnya. Ia sering memuji Elara, memintanya melakukan hal-hal kecil, dan berbicara tentang urusan bisnis yang membuat Elara merasa seolah hidupnya hanyalah alat untuk menjaga semuanya tetap berjalan normal.

Namun, Elara mulai merasakan adanya kecurigaan kecil dari Marisol. Beberapa kali, Marisol menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, seperti mencoba membaca sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

"El, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Marisol suatu malam, saat mereka duduk di ruang tamu. "Kamu terlihat agak... berbeda."

Elara tersenyum tipis, berusaha terdengar santai. "Ya, aku baik-baik saja, Marisol. Hanya sedikit lelah karena banyak pekerjaan."

Marisol mengangguk, tetapi tatapannya masih tajam. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa bilang padaku, ya?"

Elara menelan ludah. Ia tahu Marisol tidak akan pernah menyangka apa yang sebenarnya terjadi. Namun, rasa bersalah perlahan muncul di hatinya. Setiap hari ia merasa semakin dekat dengan Kaden, dan setiap detik membuatnya merasa bersalah terhadap wanita yang dianggapnya kakak sendiri.

Suatu malam, ketegangan itu mencapai puncaknya. Elara sedang menyiapkan teh di dapur ketika Kaden muncul dari belakang, memegang dua cangkir panas.

"El, sini," katanya pelan. "Aku ingin bicara sebentar."

Elara menoleh, jantungnya berdetak cepat. "Apa, Pak Kaden?"

Kaden menyerahkan satu cangkir kepadanya dan duduk di bangku dekat meja. Suasana hening, hanya terdengar desisan air dari ketel yang baru dimatikan.

"Aku tahu kita tidak boleh, El. Aku tahu perasaan ini salah," katanya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi aku... aku tidak bisa mengubahnya. Aku ingin kamu, dan aku tidak bisa menahan diri lagi."

Elara menunduk, mencoba menenangkan napasnya. Hatinya berdebar, tetapi pikirannya berkata untuk lari, menjauh, melindungi Marisol, dan menjaga dirinya sendiri.

"Pak Kaden... kita tidak boleh," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Kaden mendekat sedikit, jaraknya hampir menyentuhnya. "Aku tahu, El. Aku tahu. Tapi aku... tidak bisa menahan diri. Aku menghargai setiap batas yang kamu tetapkan, aku janji. Tapi aku... aku tidak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini tidak ada."

Elara merasakan panas menyebar di pipinya. Ia tahu satu langkah kecil bisa menghancurkan semuanya, tetapi godaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.

Malam itu, Elara terbaring di kamar, pikirannya kacau. Setiap tatapan Kaden, setiap kata yang keluar dari mulutnya, terus berputar di kepala. Ia tahu jalan yang mereka lalui sangat berbahaya, tetapi ada rasa penasaran dan ketertarikan yang memabukkan.

Ia menyadari satu hal: kehidupan yang aman dan biasa kini sudah menjadi hal yang mustahil. Godaan, rahasia, dan ketegangan batin yang terus meningkat membuatnya berada di tepi jurang emosional yang berbahaya.

Dan Elara tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Semakin ia menolak, semakin kuat godaan itu. Semakin ia mencoba menjaga hati semua orang, semakin sulit ia menahan perasaan yang terlarang ini.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ike Vianis

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku