Terjebak dalam Godaan Ipar
asa biasa saja bagi orang luar, tetapi bagi Elara, setiap detik di rumah Kaden dan Marisol sepert
ens yang seakan membaca seluruh isi hatinya. Ia meneguk air putih, mencoba menenangkan diri, tapi rasa bersal
lebih awal, duduk di meja makan dengan ekspresi serius. Matanya menata
sapa Kaden, suaran
encoba tersenyum. Namun ia sadar bahwa se
. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Elara merasa seperti
katanya akhirnya, suaranya rendah. "Tenta
mang ada, dan semakin hari semakin sulit ia bendung. Namun kata-kata itu sepe
i Elara mulai menangkap tatapan-tatapannya yang lebih lama dari biasanya, seperti sedang menilai sesuatu yang tak bisa dijel
mbereskan rak buku di ruang kerja
ra sebentar?" tanya
ya berdetak cepat. "Ten
t suasana menjadi sepi dan intens. Ia mend
kan," katanya, suaranya hampir berbisik. "Tapi aku tidak bisa membohongi di
lari, tapi tubuhnya terasa membeku. Ada ketertarikan yang
bisiknya, suaranya nyaris
enatap dalam ke matanya. "Aku tidak akan memaksa, aku berjanji.
tuh ke jurang yang berbahaya. Namun pada saat yang sama, ada rasa penasaran yang memab
hatikannya, menawarkan bantuan kecil, menatapnya di saat yang salah, atau tersenyum di momen yang seharusnya netr
melindungi hatinya, dan menjaga keluarga tetap harmonis. Di sisi lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan ter
u kristal yang bergantung di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, m
us pada makanan. Marisol berbicara tentang perjalanannya ke luar negeri, tentang bisnis bar
orang. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Kaden. Ia menatap Elara, jarak di
ya. "Tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku ingin kamu, dan
rti racun yang perlahan menyebar di hatinya. Ia ingin menolak, tapi ada
boleh," bisiknya, suara
ku tidak bisa berpura-pura. Aku menghargai setiap batas yang kamu
r satu langkah kecil bisa menghancurkan semuanya
dengan Kaden. Namun, setiap interaksi, sekecil apa pun, selalu membuat hatinya berdebar. Kaden juga tampak menyadari
en, hatinya bergejolak. Ia mulai merasa bersalah, takut, tapi juga penas
ata. Ia sering menatap Elara dengan pertanyaan yang tak diucapkan, menanya
angan ini," ucap Marisol suatu sore.
ntai. "Tidak, Marisol. Aku baik-baik saja. H
ernah menyangka apa yang sebenarnya terjadi, tetapi rasa bersalah mulai muncul di hatinya. Setiap hari ia merasa se
semakin sulit dikendalikan. Setiap tatapan, setiap kata Kaden, terus berputar di kepalan
ang berbahaya. Dan Elara tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Semakin ia menolak, semakin kuat godaa
lisah. Malam tadi pikirannya terus berkelana, mengulang setiap detik kejadian di ruang tamu, ketika Damian nyaris saja mencium dirinya. I
u ingin ka
a tangan, merasa malu sekaligus marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia, seo
h jatuh ke dalam juran
dirinya yang tak bisa membohongi perasaan: tatapan Damian semalam me
-
i ada gurat lelah di sekitar matanya. Ia meneguk kopi hitam, lalu menatap sekila
ak bisa menghindar. Pandangan mereka saling bertaut seper
singkat, nyaris
mian, suaranya d
ar. Selina berusaha memusatkan perhatiannya pada roti panggang di pi
asih dengan senyum hangat, tak menyadari
idak enak badan?" tanya Clarissa
ku baik-baik saja, Kak. M
enangkap kebohongan itu.
-
e kecil dekat rumah, berharap suasana berbeda bisa menenangkan pikirannya. N
seperti orang bodoh? pikirnya. Seharusnya
, ponselnya bergetar
Kita per
s atau tidak. Bagian dirinya ingin menolak, ingin kabur sejauh mungkengetik balasa
: Tent
tang hampi
pa. Temui aku di taman deka
sak. Ia tahu ini berbahaya, tapi e
-
jalan redup, memberikan cahaya samar pada jalan setapak yang dipenuhi
balutan kemeja gelap. Langkahnya mantap, tatapannya tajam, me
p Damian, suaranya
Damian?" Selina mencoba tegas,
apannya. Mata mereka bertemu
Damian. "Jangan bilang aku sa
iam. Napasn
suaranya hampi
Maksudku... aku tahu kamu juga merasakannya. Tatapanmu, caramu
Berhenti, Damian. Ini sa
"Dan aku mencintai Clarissa. T
enghantam Selin
an itu," bisik Selina,
menahan diri. "Kamu pikir aku tidak berjuang melawan ini? Setiap
pipi Selina. "Kenapa
nuh rasa sakit. "Kamu membuatku merasa hidup den
tubuhnya gemetar. Ia benci mengakuinya, ta
-
rdengar dari kejauhan. "Dami
ara Cl
epat, wajahnya berubah tegang. Selina buru-buru m
ukurlah aku menemukan kalian. Aku kira kalian
butuh udara segar, dan kebetulan bert
h, baguslah kalian tidak apa-
takut matanya mem
terasa seperti jurang yang dalam. Mereka berdua tahu sesuatu
-
ayangan dirinya di cermin. Ma
u lakukan?" tanyanya
. Satu langkah salah, dan semua akan hancur. Bukan hanya
, semakin hatinya justru bergetar
k termenung, menatap kosong ke dinding. Ia sadar, malam ini ia sudah mel