Terjebak dalam Godaan Ipar
amkan mata. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan wajah Damian kembali men
a hilang begitu saja. Namun hati kecilnya justru semakin gaduh. Ia tak bisa menyangkal l
Apa yang sudah aku lakukan? Aku ak
pan sambil menyenandungkan lagu pelan, seolah dunia baik-baik saja. Damian duduk me
ka melihat Damian. Mereka hanya sempat bertukar tatapan sekilas sebel
gkin ke restoran Italia favoritmu," kata Clarissa sambil tersen
h yang baru diteguknya. "
i. "Aku, kamu, dan Damian.
pura membaca koran. Ia menelan ludah. "Bu
rlahan. "Aku ikut saja. Ka
ide itu. Bagaimana mungkin ia bisa duduk satu meja deng
tapi pikirannya dipenuhi bayangan makan malam itu. Seolah tak cuk
Aku akan jaga agar t
membalas, tapi ia memilih menghapus pesan itu tanpa menanggapi. Ia ta
uk ke restoran Italia mewah di pusat kota. Lampu gantung kristal ber
ian tetap memukau dengan setelan gelapnya. Selina sendiri memilih gaun put
danya, membuatnya sulit bernapas. Ia mencoba menghindar, berpura-pura
pesan apa?" tany
asagna saja," ja
n menggema di telinga Selina. "Aku pesan ha
erasa panas. Clarissa tertawa kecil. "Wah, cocok sekali
au di hati Selina. Kalau Kakak ta
, sementara Damian sesekali menanggapi. Selina lebih banyak diam, berusaha terlihat tenang, padah
a pamit ke toilet sebentar. Begitu ia
ya sedikit. "Kamu terlihat
gan bicara seperti it
Aku tidak peduli kalau aku terdengar salah. Aku
ba menahan air mata. "Damian, tolong. J
, penuh tekad. "Dan kamu... membuatku merasa hid
annya, detik itu juga Clariss
an panjang sekali
pernah ada yang terjadi. Sementara Selina sibuk
ana liburan, sementara Selina di kursi belakang hanya menatap keluar jendela. Damian menyetir deng
angsung masuk kamar, meninggalka
jadi men
angga, tapi Damian menahan per
" bisiknya, su
pnya tajam. "Katakan padaku kalau kamu tidak me
air mata mulai mengalir.
nya sejengkal dari wajah Sel
kehilangan kekuatan. Ia tahu malk Damian, setiap tatapan, semakin mengikat dirinya. Ia berusa
mendapat panggilan mendadak dari kantor dan
a Clarissa sambil merapikan koper. "Ja
atap Damian yang berdiri tak
endadak berubah. Sunyi, mencekam, seak
i diri di kamar, tapi
bicara. Kita tidak b
am itu akan menjadi titik balik. A
tamu, menunggu. Selina masih di balik pin
ika aku membuka pintu itu
tapi perlahan iadan tatapan Damian lan
erjadi malam itu akan meng
u keras di telinga Selina. Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat, tangan dingin. Pikiran dan hatinya terus
at sosok itu hadir. Tatapan matanya, suaranya yang berat, sent
r ketukan di pintu
balik pintu. Dalam, rendah, dan mema
ngannya. "Damian, tolong... jangan la
i, kali ini lebih lirih. "Aku tida
uju pintu. Setiap langkah terasa seperti membawa dirinya semakin dtegapnya disinari cahaya lampu koridor. Tatapannya da
hindar. "Damian... aku mohon,
tu di belakangnya. Ruangan seketika
anya dengan suara bergetar menahan emosi. "Semakin
entuh dinding. "Kamu suami kakakku," bi
g Damian cepat. Ia mendekat, jarak mereka hanya tinggal sejengka
pi Selina. "Aku benci ini.
na dengan lembut. "Kalau memang kita benci ini,
r setiap sisa pertahanan yang ia punya. Hatinya bh, bibirnya hampir menyentuh kening Selina.
g..." suara Se
ian. "Izinkan aku jujur,
gnya dengan lembut. Hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat tubuh
us aku?" ta
h kepada siapa hatiku jatuh,"
dirinya. "Kalau kita teruskan ini... kita akan
panjang, wajahnya menegang. "Aku tidak ingin kehilangan
wajah yang penuh air mata. "Damian, aku tidak seku
kan aku yang menanggungnya. Aku yang salah. Aku yang lema
ang berkilat oleh air mata dan amarah. "Ya! Aku merasakannya! Aku b
as berat. "Aku tidak ingin kepuasan,
wajahnya tertunduk, bahunya terguncang oleh tangis. Damian duduk di l
," bisik Selina di sela t
g takdir kita adalah kehancuran, maka biarlah aku yang terba
-
ninggalkan gadis itu dalam lautan air mata. Namun, sesuatu telah berubah. Batas yang
-
menghindari Damian sepanjang pagi, memilih berdiam di
gi, kali ini hanya sebentar. Ia meninggalkan seca
a. Tapi aku akan selal
, tubuhnya gemetar. Ia tahu, perlahan-lahan, dirinya semak
-
h tapi bahagia menghiasi wajahnya. Ia lang
riang. "Semoga kalian baik
angguk pelan. Hanya mereka berdua yang tahu,
-
Selina keluar ke balkon kamarnya. Udara dingin
terbuka. Dan entah kenapa, seakan sudah disepakati tan
uara, tanpa gerakan. Hanya tatapan panjang, penuh pe
-erat, berusaha menahan air mata. Da