Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Ipar Duda

Cinta Ipar Duda

Dean Han

5.0
Komentar
16.9K
Penayangan
49
Bab

"Lepaskan aku, Mas! Apa-apaan ini?" tanyaku gusar. Aku resah dan geram, takut kalau-kalau ada yang melihat aku dan Mas Dion dalam keadaan sedekat ini. Seberapa pun benarnya aku, tetap akan salah dimata mereka. "Kamu gila, Mas!" *** Viona tak menyangka, keputusannya untuk bersedia tinggal di rumah mertua, membuat ia terpuruk dalam problema pelik. Ia terperangkap dalam prilaku konyol Dion. Upaya Viona menyelesaikan permasalahan rumit rumah tangganya, membawa Viona pada fakta-fakta mengejutkan dan fakta tentang Dion. Sanggupkah, Viona bertahan? Mengapa Dion begitu berani menganggu Viona yang merupakan iparnya sendiri? Siapa Dion sebenarnya?

Bab 1 Kepergian Mas Divo

Suasana rumah berlantai dua ini sepi. Hanya ada aku dan Bayu-bayi sembilan bulanku yang telah tertidur pulas, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Bayu kubiarkan tertidur di dalam Box Bayi, yang terletak di ruang tengah. Sementara aku di dapur menyiapkan semua pekerjaan yang masih terbengkalai. Tak lupa semua pintu kukunci, agar aku terbebas dari rasa was-was saat asyik bekerja nanti.

Kuraih piring kotor yang menumpuk di wastafel, dan mencucinya dengan cekatan. Karena, masih banyak pekerjaan yang menantiku setelahnya.

Terlarut beberapa saat oleh tugas-tugas yang masih menumpuk, tiba-tiba, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan beruntun dipintu, diiringi suara laki-laki yang memanggil namaku. Aku melirik ke pintu kaca yang berada di sisi kiriku. Wajah lesu Mas Dion membias dari balik kaca, sambil memberikan isyarat padaku untuk membukakan pintu.

Bergegas kucuci tangan yang masih berlumuran busa sabun, mematikan air keran, dan menyeka kedua tangan pada washlap yang menggantung di hadapanku, lalu melangkah cepat ke pintu. Lelaki itu menatapku lesu.

Pintu kubuka pelan, sambil mengamati wajah Mas Dion-lelaki itu. Pasti ia mau ngetem lagi di kamar lamanya pagi ini. Padahal setiap ia pulang ke rumah di jam-jam segini, hatiku selalu risih, karena hanya ada aku, dia dan bayi sembilan bulanku di rumah yang cukup besar ini.

Mas Dion adalah kakak iparku yang kedua setelah Kak Dea, yang kini mengikuti suaminya tinggal di Jakarta. Kemudian baru suamiku-Mas Divo.

Mertuaku dua-duanya masih bekerja, Papa tahun ini pensiun sementara Mama dua tahun lagi. Nyaris setiap hari mereka tak pernah di rumah, selain hari libur kerja. Suamiku sendiri sudah dua bulan dipindah-tugaskan ke ibu kota. Ia hanya bisa pulang di hari Sabtu saja. Minggu sore sudah harus berangkat kembali ke ibu kota.

Sementara itu, Mas Dion? Dua bulan sudah ia juga tinggal disini.

Bertepatan dengan kepindahan suamiku, Mas Dion malah mendapatkan permasalahan dalam rumah tangganya. Hubungannya dengan Mbak Vera sedang dalam masa ujian berat. Khabar yang kudengar, Mas Dion telah mengucapkan kata cerai padanya.

Sebenarnya, Mas Dion itu ganteng. Tubuhnya atletis, kulit putih dan berhidung mancung. Walaupun ia dan Mas Divo sama-sama putih, tapi aku harus akui, Mas Dion lebih unggul selangkah dilihat dari face dan tubuhnya.

Keunggulan itulah yang membuat seorang putri konglomerat tergila-gila padanya. Mbak Vera yang merupakan putri tunggal pengusaha property di ibu kota. Sayang, hubungan mereka sedang melewati masa sulitnya.

"Nggak kerja ya, Mas?" tanyaku setelah pintu kubuka.

"Enggak! Mas masih pusing." jawabnya singkat, masih dengan ekspresi lesu. Ia melangkah ke dalam, kemudian duduk di kursi santai ruang keluarga yang terpajang televisi ukuran cukup besar di dindingnya.

"Vi, bikinkan Mas minum, ya?" pintanya kemudian setelah bobotnya ia henyakkan di lantai. Ia menyandarkan punggungnya di bibir kursi.

"Iya, Mas." jawabku kemudian. Aku langsung menuju dapur, mengambil gelas dan wadah. Kemudian memasukkan gula, kopi dan menyiramnya dengan air panas. Asap mengepul dari kopi yang kuseduh. Kemudian kuaduk dan membawanya ke hadapan Mas Dion.

"Makasi, ya? Kamu memang isteri idaman," ucapnya sambil tersenyum.

Aku terkejut. Kulihat ia kembali tersenyum sambil menatap padaku.

"Sayangnya ...."

"Sayangnya apa, Mas?" tanyaku heran.

"Sayangnya aku tak menemukan perempuan seperti kamu."

Aku makin kaget. Serasa dua pupil mata membesar karenanya. Sambil mengernyitkan kening, aku pun berlalu darinya dari hadapan Mas Dion. Sudut mataku masih dapat menangkap sunggingan senyum aneh di bibirnya.

Aku kembali ke dapur dan larut dengan pekerjaanku sebagai pengganti Mama mertuaku. Karena Mama memang tidak suka dengan ART. Tanpa peduli lagi apa yang ia kerjakan di ruang itu. Pekerjaan yang menumpuk menguras tenaga dan konsentrasiku. Cucuran keringat jatuh di pelipis dan kening.

Beberapa menit berlalu, gerakanku terhenti. Aku dikejutkan dengan suara tangisan Bayu dari ruang tengah--tempat ia kuletakkan tadi. Tanpa menunggu lagi segera kuberlari cepat menghampiri putra semata wayangku itu. Takut terjadi apa-apa bila terlalu lama membiarkan ia terbangun dan menangis sendiri.

Namun, baru saja tiba di pembatas ruang tengah dan ruang makan, langkahku tiba-tiba terhenti. Bayu sudah berada dalam gendongan Mas Dion. Ia terlihat berupaya menenangkan tangis Bayu sambil memeluk dan menciumi dengan hangat. Melebihi sikap yang pernah dilakukan Mas Divo. Aku terdiam mengamatinya.

Menyadari kehadiranku, ia mengangkat wajahnya menatapku, sambil mengusap-usap punggung Bayu yang menghadap padanya. Aku tersenyum, dia balas tersenyum.

Bayu masih saja merengek. Tak sanggup membiarkan anakku dengan tangisannya, kuulurkan tangan meraih Bayu dari gendongan Mas Dion. Ia menyerahkan Bayu padaku. Tanpa sadar tangannya sedikit menyentuh tubuh bagian depanku.

Aku terperanjat. Namun, ekspresi lelaki itu hanya datar saja. Ia seakan tak menyadarinya. Walau awalnya aku kaget, tapi melihat ia seperti tak menyadasinya, aku pun mengacuhkannya. Kurasa aku tak perlu membesar-besarkan masalah ini. Mungkin ia memang tak sengaja.

"Hai, ganteng. Jangan nangjs lagi! Kasian Mimi, capek kerja sendirian," ujarnya pada Bayu. Aku cuma tersenyum. Kemudian bersipa-siap hendak berlalu darinya. Namun, lagi-lagi langkahku terhenti. Mas Dion meraih jemari Bayu, dan mengajak Bayu bermain.

"Ganteng, sayang Papa Dion. Ci-luk ... ba! Ci-luk ... ba!" Aku tetsenyum, sekedar menghargai itikad baiknya menenangkan Bayu.

Bayu tertawa, Mas Dion ikut tertawa melihat tawa lucu anakku. Ia kemudian mendekat dan menciumi Bayu yang sedang dalam gendonganku. Aku terperanjat. Wajahnya terasa amat dekat denganku. Rambut ikalnya yang masih menguarkan aroma shampo, berada tepat di bawah wajahku. Aku merenggangkan tubuh dari Bayu. Menghindari rasa tak nyamanku.

"M-maaf, M-mas. A-aku bawa Bayu dulu, ya? Sepertinya dia haus," ujarku menghentikan keteganganku. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum, "Oh .... ya udah! Disini aja!" Aku mendelik. What!

"N-nggak, Mas. Di dalam aja. Bayu biasa sambil tiduran," kilahku padanya. Kemudian tanpa menunggu jawabannya, aku pun berlalu darinya dengan mentralkan rasa bergidik yang kurasakan. Masih dapat kulihat sungingan senyuman yang tiba-tiba hadir di sudut bibirnya. Entah apa maksudnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku