Cinta Ipar Duda
bangkit dari ranjang meninggalkan Mas Divo dengan dengkuran halusnya. Ia tampa
inya semaksimal mungkin, urusan ranjang, makan dan penampilan selalu kunomor-satukan, a
an pun telah tersedia. Itulah target juga obsesi terindah dalam hidupku, s
yang di bawa-bawa. Padahal apa urusannya? Toh, aku begini karena rasa tanggung jawabku pada keluarga kecilku, Mas Divo dan Bay
ra di telinga Mas Divo. Aku tersenyum k
" bisiknya di telingga
h udah main peluk-peluk, aja," ujarku
rinya yang berada tepat di rusukk
uat kami terdiam. Mas Divo terkekeh menertawakanku. Aku cemberut dan mencubit p
u. Aku tersenyum. Kami pun keluar dari kamar berbarengan. Aku bergeg
ya Mama ketika aku baru
meraih piring kotor dan mengucek-ngucek
a dia belum salat!" Aku terdiam sejenak, antara ragu d
ambung tidur lagi? Padahal, 'kan juga belum salat,' pikirku dalam hati. Kuletakkan piring y
ku sambil menyandang handuk di bahunya. Kami berpapasan. Ia menyempatkan diri melayangkan tangan jahilnya ke bo
rah kami, maklum si Bontot. Aku tergelak tertahan. Mas Divo me
mar mandi, setelah sebelumnya melayangkan ciuman kilat ke pelipis Mama. Kini giliranku yan
ka. Antara ragu dan sungkan aku menguatkan hati untuk memanggilnya dari sana. "Mas ... Mas Dion? Bangun, Mas! Salat
a suruh Mas bangun. Sal
, aku akan coba sekali lagi sebelum pasrah, biar Mama saja y
ap berkulit putih yang hanya menggunakan celana pendek, berdiri tegak di hadapanku. Tub
itnya yang bersih. Entah apa perawatan kulit yang
dan bersih. Apakah ia suka ke salon? Facial? Spa? Atau ia menyimpan be
muncul setelah lama kupanggil, entah karena melihat tubuh gl¬owing-nya. Yan
u serasa memerah menahan malu. Buru-buru kualihkan pandanganku sambil menetralk
netralkan diri, sambil berbisik, "Kamu keramas, ya?"
nya bisa menatapi punggungnya dari belaka
*
a yang belum muncul. Barusan ia melintasi ruang ini dari kamar mandi menuju kamarnya. Melewati Aku yang masih membe
ki ruangan. Penampilannya sudah rapi, ar
gi?" ejek Mama, samb
mot tempe goreng tepung yang ada di meja. Kemudian duduk tepat di hadapanku. Aku me
aku. Wajah acuhnya mengingatkanku dengan semua kelakuannya beberapa hari ini, terlebih subuh tadi. Sikap slengekan dan urakan yang membua
a dentingan suara sendok dan piring yang bersahutan. Aku terkejut dan menoleh pada Mama. Kemudia
0-an yang telah kuanggap sebagai ibu itu berucap dengan nada mellow-nya. Menata
ekerjaan yang berat kok. Sama a
elik. Perlahan gerakanku melambat. Bener-bener ampun sama manusia yang satu ini. Apa
cuma cemas Viona
pi tetap sambil fokus dengan makanannya. Aku makin
i hati Viona?" Tiba-tiba Susana hening. Semua menatap pada Mas Dion, kemudian padaku, tak
yelinap, buru-buru aku menetralkan situ
ja Mas Dion ngeliat aku happy-happy aja di sini, Makanya ia bilang begitu. Meski ketemu Mas Divo hanya sekali sem
Mama dan papa ikut tersenyum. Semua kembali melanjutkan makannya. Hanya lelaki itu ya
pun Viona menantu di rumah ini, tapi kamu sudah menganggapny
menikmati gelembung makanan di mulutnya. Sementara Mas Dion men
aki dihadapanku itu. Wajahnya seketika berubah memucat. Aku mengalihkan pandangan kembali pada
ak?" tanya Mama kemudian. "Kalau mau baikan lagi, didik Vera jadi isteri yang baik. Tuh lihat, Viona, cantik, pinter, jago masak, dan bertanggung jaw
rikutnya. Mas Dion hanya melirik sekilas, tanpa komentar. Ba
on, jadi bulan-bulanan terus karena aku. Lagian, nggak enak dibanding-bandingkan
Bayu, takut entar dia bangun." Mama dan Pap
cul dengan senyum ringannya sambil merangkulku han
si, c
n sih