Menikah dengan adik suamiku yang dingin itu? Kupikir ia membenciku namun mengapa tak menolak perjodohan kami?
"Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku nampak penuh harap, tepat di hari masa iddahku selesai.
Sesaat aku terpaku dengan pertanyaan yang tidak pernah kusangka-sangka itu. Menikah dengan adik suamiku yang dingin bagai es batu? Oh, yang benar saja. Bahkan sudah hampir empat tahun kami tinggal seatap di rumah Mama, namun bisa dihitung dengan jari kami saling berbicara. Entah, apa salah dan dosaku padanya. Tiap kali bicara padaku, nadanya selalu ketus, raut wajahnya pun tak pernah ramah. Ya, seperti tadi, saat ia menjemputku di makam Mas Arya.
Kupikir kedatangannya laksana pahlawan yang tiba-tiba muncul melindungiku dan Rania dari derasnya air hujan, namun setelah ia bersuara, anggapan itu berubah seketika.
"Sudah kubilang kan, jangan pergi sebelum aku datang!" ujarnya sambil menyerahkan salah satu payung yang digenggam, lalu mengambil alih Rania dari gendonganku.
"Sudah kubilang juga kan, tidak perlu menjemputku, aku bisa kok pergi sendiri!" balasku tak kalah ketusnya. Memang, hanya dia saja yang bisa marah, aku pun bisa!
"Kalau Rania sakit bagaimana? Ceroboh!"
Aku tahu maksudnya baik, tapi, lancang sekali ia bicara kasar padaku, mantan kakak iparnya.
"Mama ada-ada saja." Aku mencoba mencairkan suasana beku diantara kami bertiga dengan tawa kecil. "Nadia belum kepikiran, Ma, soal menikah lagi."
Mama lantas menggeser posisi duduknya mendekatiku. "Kamu masih muda, Nadia," katanya sambil mengusap-usap punggungku. "Sah-sah saja mempunyai pendamping hidup lagi."
"Kamu dan Arman, kan, sudah mengenal lama, keluarga kita juga sudah dekat," sambung Mama lagi.
"Tapi Ma, bukannya Arman juga sudah ada calon-"
"Ah, soal itu bisa dibicarakan," sambar Mama. "Toh, Arman juga belum melamar Sheila. Sudah, tak perlu dijawab sekarang. Tapi paling tidak, kamu dan Arman pertimbangkan permintaan Mama ini, ya."
Mama beranjak, kemudian memanggil Rania yang masih asik bermain dengan Bi Inah di dekat kolam ikan.
☕☕☕
Di mobil, saat perjalanan pulang, aku menanti-nanti reaksi Arman, tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Aku melihat ke arah Arman yang masih fokus menyetir, menerka-nerka apa yang kira-kira ada dalam pikirannya. Aku tahu Arman selalu sulit menolak permintaan Mama. Dulu, ia pernah dapat promosi naik jabatan dari kantor, dengan syarat harus pindah ke kantor pusat di Jakarta. Akan tetapi, karena permintaan Mama, ia tidak mengambil kesempatan itu. Mama berat melepas Arman. Kata Mama, beliau akan kesepian. Apalagi jika nanti aku dan Mas Arya sudah pindah ke rumah sendiri.
Bahkan, saat Mama menjodohkannya dengan Sheila, rekan kerja yang juga merupakan anak dari teman lama Mama, ia pun tak menolak. Lalu sekarang, Mama mau membatalkan perjodohan itu begitu saja? Ah, kasihan sekali Arman.
"Man ...." Tak sabar, aku mencoba membuka obrolan. "Nanti kita cari cara, ya, supaya kamu tetep bisa nikah sama Sheila," kataku seolah memahami kegundahan hatinya.
"Siapa yang mau nikah sama Sheila? Sok tau!" Ia malah menjawab ketus. Rasanya ingin kujitak kepalanya dengan ponsel yang kugenggam, tapi, ah sayang ponselnya.
"Ish, mau dibantuin juga!" gumamku. Setelah itu aku memilih diam tak melanjutkan obrolan, takut sakit hati dengan jawabannya. Lantas, hening menemani perjalanan kami sampai ke rumah.
Rania tertidur ketika kami tiba di rumah. Arman menggendongnya turun dari mobil dan membaringkannya di sofa ruang tamu, kemudian pamit pulang.
Aku merebahkan tubuh di sofa, melepaskan jilbab dan meletakkan sekenanya di atas meja. Kupandangi Rania yang tidur nyenyak. Masih tak menyangka, ia akan kehilangan papanya di usia sekecil ini. Aku tahu rasanya menjadi yatim. Ayahku - kakeknya Rania - meninggal dunia saat aku SMP kelas dua. Setelah itu Ibu bekerja membanting tulang demi memenuhi kebutuhan kami. Membuat kue dan menitipkannya di warung tetangga, termasuk ke kantin sekolahku. Ibu juga membuka usaha jahit kecil-kecilan. Ibu ingin, aku, anak satu-satunya, bisa menjadi sarjana.
Tiga bulan setelah aku menikah, saat mengandung Rania, Ibu pergi menyusul Ayah. Akan tetapi aku bersyukur, wanita yang sangat kucintai itu, masih bisa melihatku wisuda, menikah, bahkan masih sempat mengelus-elus calon cucunya di perutku.
Ditinggal Mas Arya merupakan kehilangan terberat yang kurasakan karena semua berlangsung secara tiba-tiba. Ayah dan Ibu sakit cukup lama sebelum meninggal, sehingga aku sedikit banyak sudah menyiapkan hati untuk kehilangan. Sementara Mas Arya, pagi hari masih terlihat sehat dan ceria seperti biasa. Tak ada sama sekali pertanda. Setelah sarapan nasi goreng buatanku, ia pamit berangkat kantor. Ia hanya bilang, hari itu tak akan pulang ke rumah karena ada keperluan dinas di luar kota. Mas Arya mencium keningku dan bercanda sebentar dengan Rania sebelum pergi. Sore harinya aku mendengar kabar Mas Arya kecelakaan.
Arman ada di samping Mas Arya ketika aku, Mama, dan Rania, tiba di ICU rumah sakit diantar tetangga sebelah rumah. Kulihat Arman membisik-bisikkan sesuatu di telinga Mas Arya sambil menggenggam sebelah tangannya.
Mas Arya membuka mata beberapa saat setelah aku menangis sambil memanggil-manggil namanya kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Mataku kembali basah mengingat itu semua.
"Move on, Nadia, move on!" Aku menyemangati diriku sendiri.
Tiba-tiba, notifikasi pesan Whatsapp di ponselku berbunyi. Rupanya pesan dari Erna, sahabatku semenjak SMA, yang masuk.
"Hey ada lowker yang cocok nih buat kamu."
Ia mengirimkan sebuah link. Beberapa waktu lalu aku memang meminta Erna untuk mencerikan pekerjaan yang cocok buatku. Aku membaca dalam hati informasi dari link yang diberikan Erna.
Walk in Interview. Kafe Mentari membutuhkan marketing communication. Syarat, laki-laki atau perempuan, menguasai sosial media, punya pengalaman minimal setahun di bidang markom, belum menikah.
Aku berhenti membaca sampai di situ. Lalu membalas pesan Erna.
"Apaan cocok? Di persayaratan keempat aku auto gugur."
"Lho, kan, kamu emang belum menikah. Belum menikah lagi :D :D :D"
"Sialan!"
"Tahu nggak, kafe itu punya siapa?"
"Punya siapa? Punya bapakmu?"
"Aaamiin Ya Allah. Punyanya Galang tauk!"
"Galang siapa? Galang penjual gado-gado depan rumah kamu itu?"
"Yeee, itu, mah, Tarjo. Galang. Galang artis itu, lho, yang main sinetron Aroma Cinta."
"Ah, nggak kenal."
"Makanya sesekali nonton inpotainment kek, lambe murah kek, biar nggak kudet. Masih punya fotokopian KTP kamu yang lama?"
"Masih. Kenapa?"
-Bersambung-
Bab 1 Menikah Lagi
03/07/2023
Bab 2 Melamar Kerja
03/07/2023
Bab 3 Diterima
03/07/2023
Bab 4 Reuni
03/07/2023
Bab 5 Ketahuan
03/07/2023
Bab 6 Hari Pertama
03/07/2023
Bab 7 Ipar Rasa Pacar
03/07/2023
Bab 8 Misteri Selembar Foto
03/07/2023
Bab 9 Mak Comblang
04/07/2023
Bab 10 Suka Kamu Dari Dulu
04/07/2023
Bab 11 Cemburu
04/07/2023
Bab 12 Bos Galak
04/07/2023
Bab 13 Karyawan Nyebelin
04/07/2023
Bab 14 Launching Kafe
05/07/2023
Bab 15 Tugas Baru
05/07/2023
Bab 16 Rencana Mama
05/07/2023
Bab 17 Mendadak Basket
05/07/2023
Bab 18 Jangan Jemput Lagi
05/07/2023
Bab 19 Menjadi Asisten Bos Galak
05/07/2023
Bab 20 Hujan Sore Itu
05/07/2023
Bab 21 Jangan Marah
05/07/2023
Bab 22 Rania Sakit
05/07/2023
Bab 23 Kurir Cintaku
05/07/2023
Bab 24 Ungkapan Perasaan
05/07/2023
Bab 25 Pedekate
06/07/2023
Bab 26 Memori Kantin Sekolah
06/07/2023
Bab 27 Lagu Untuk Kamu
06/07/2023
Bab 28 Hari Ayah
09/07/2023
Bab 29 Aku Hamil
10/07/2023
Bab 30 Anak Siapa
12/07/2023
Bab 31 Bukan Orang Lain
14/07/2023
Bab 32 Gosip
15/07/2023
Bab 33 Jujur
16/07/2023
Bab 34 Aku Pergi
17/07/2023
Bab 35 Serangan Mantan
19/07/2023
Bab 36 Dihujat Netijen
20/07/2023
Bab 37 Mohon Ijin, Mas
21/07/2023
Bab 38 Butuh Ketenangan
22/07/2023
Bab 39 Kembali Ke Kantor
23/07/2023
Bab 40 Curahan Hati
29/07/2023