Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ketika Mertua Ikut Campur

Ketika Mertua Ikut Campur

Khanna

4.9
Komentar
20.8K
Penayangan
95
Bab

Rumah tangga Salwa bersama Lutfan penuh drama akibat mertua yang sukanya ikut campur. Ibu mertuanya sengaja memasukan wanita lain sebagai pembantu di rumah mereka. Namun, keduanya sangat mencurigakan. Ada rencana tersembunyi yang mereka lakukan. Apa rencana itu? Apakah hubungan antara Salwa dan Lutfan akan baik-baik saja?

Bab 1 Dibangunkan Ibu Mertua

Dalam sebuah pernikahan hal utama yang diminta adalah sebuah kebahagiaan.

Namun apalah daya, jika sebagai seorang istri tugasnya hanya patuh dan taat kepada seorang suami. Bahkan disaat posisi suami yang diharuskan untuk merawat serta serumah dengan kedua orang tuanya. Istri sekali lagi harus mengekor dibawah titah sang suami. Meski ke dua mertua terlihat baik hati, tapi ada saatnya posisi sebagai menantu tetap tak sesuai di mata mereka, tentu saja seorang menantu harus pandai-pandai memilih sikap.

Pada akhirnya kenyaman seutuhnya tidak akan pernah didapat oleh seorang istri tersebut. Syukur jika dia kuat dan tidak merasa depresi.

Lebih baik mengontrak daripada harus serumah dengan mertua. Rasa nyaman belum tentu didapat oleh seorang istri dengan mertua yang tinggal serumah dengannya.

***

Tok, tok, tok!

Pagi buta, pintu kamarku sudah riuh karena seseorang mengetuknya.

“Salwa! Ayo bangun! Sholat subuh lalu masak!” Suara perempuan terdengar dari balik pintu kamarku. Aku mencoba membuka mata perlahan.

Tok, tok, tok!

Ketukan pintu semakin keras terdengar.

“Salwa, Lutfan! Bangun!” Kembali suara itu terdengar memanggil-manggil nama kami.

Aku terperanjat dan segara bangun, tak lupa kugoncangkan tubuh mas Lutfan yang masih tertidur di sebelahku untuk membangunkannya.

“Mas, bangun Mas.” Mas Lutfan hanya melihat sesaat dan kembali terpejam.

“Ya ampun! Salwa, bangun! Kamu mau masak ‘kan?”

Suara dibalik pintu semakin lantang terdengar. Suara itu milik ibu mertuaku. Sudah berulang kali kami katakan agar tidak membangunkan sepagi ini. Namun tetap saja beliau melakukannya.

Ya, sekarang baru saja selesai adzan subuh, sekitar pukul setengah lima. Bagi kami jam segitu masih sangat pagi, mengingat toko tempat usaha dibuka sekitar pukul delapan.

“Mas, bangun Mas. Ibu sudah membangunkan kita.” Aku masih berusaha untuk membangunkan mas Lutfan.

“Biarin aja. Masih pagi banget. Masih ngantuk.” Dengan enteng mas Lutfan mengatakannya.

Tok, tok, tok!

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kini semakin kencang.

“Iya, Bu!” Segera kulontarkan kalimat tersebut, sebelum suara beliau kembali terdengar di telingaku.

“Mas, bangun! Ibumu setiap pagi kenapa begini sih! Aku capek diatur-atur terus, Mas! Mas, bangun!”

Pagi buta begini sudah membuatku selalu saja naik darah. Sudah sering diperingatkan, jika akan membangunkan kami kira-kira pukul lima saja. Lumayan ‘kan setengah jam untuk tambahan waktu kita tidur. Toh, kegiatan kita di toko mulai jam delapan. Masih banyak waktu dari jam lima sampai jam delapan.

Memang susah jika masih serumah dengan orang tua. Masih ada yang mengatur kehidupan kami. Paling enak saat sudah berumah tangga, ketika sudah hidup mandiri tanpa harus ada campur tangan orang tua. Dengan berat hati, aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktivitas.

“Mas, bangun! Kalau ga bangun-bangun, aku bakalan marah sama kamu, Mas!” Dengan susah payah dan ancaman, akhirnya mas Lutfan bangkit juga dari tidurnya.

***

Kami menikah sekitar setengah tahun yang lalu. Selama itu kami berkomitmen untuk menunda kehamilan untuk memajukan usaha toko terlebih dulu.

Kami masih tinggal serumah dengan orang tua. Mas Lutfan adalah anak tunggal. Orang tuanya menginginkan agar dia beserta istrinya tetap tinggal bersama.

Rumahnya memang besar, tak ayal karena memang mas Lutfan terlahir dari keluarga berada. Namun, sebenarnya sebagai istri, aku tidak setuju dengan usul mereka. Tapi mau bagaimana lagi, mas Lutfan tentu tidak akan menolak usul orang tuanya itu. Dan pada akhirnya, kami benar-benar tinggal serumah dengan mereka. Hal itu kami lakukan hanya untuk membuat mereka merasa bahagia.

“Kamu seharusnya dibiasakan bangun pagi, Wa. Kamu harus bisa mencontohkan kedisplinan untuk anak-anakmu kelak. Kamu mau ‘kan anak-anakmu menjadi orang yang sukses?”

Ibu mertua sudah mulai menasihatiku. Kami sedang di dapur untuk memasak sarapan. Jam di dinding baru menunjukan pukul lima. Di luar pun masih sangat gelap.

“Iya Bu.”

“Untung Ibu masih sehat, masih ada yang membangunkanmu. Kalau Ibu sudah tidak ada, siapa coba yang akan membangunkan kalian. Kalian ini sama-sama susah dibangunkan.”

Beliau masih saja mengoceh, kupingku sudah mulai panas dibuatnya. Jika ibu sudah tidak ada, mungkin aku akan bahagia. Aku akan malakukan semua hal sesuka hati tanpa ada yang mengusik dan berisik mengomentari. Eh, astaghfirullah, pikiran macam apa ini?

“Iya Bu, tapi kami dibangunin jam lima saja, Bu. Masih banyak waktu juga ‘kan? Biar kita punya tambahan waktu tidur, Bu. Mumpung kami belum punya anak. Boleh ya, Bu?” Perlahan aku memberikan usul.

“Ibu ‘kan tadi baru saja ngomong kalau kamu harus belajar disiplin. Jadi kalau punya anak sudah terbiasa. Ada Ibu ini yang selau membangunkan kalian. Kalian harus terbiasa bangun pagi.”

Sebenarnya hatiku bergemuruh, ingin sekali pergi dari sini. Jika setiap hari harus mendengarkan semua ucapannya seperti ini, bisa-bisa aku gila sendiri. Tidak ada rasa nyaman tersemat di dalam rumah ini. Selalu saja diatur padahal aku sudah semakin dewasa dan sudah berumah tangga. Seharusnya aku bebas sesuka hatiku, seperti orang lain diluaran sana. Mereka terlihat sangat bahagia, bebas terserah mereka mau melakukan apa saja.

‘Kenapa ibu selalu semaunya sendiri sih! Aku juga mau bebas seperti yang lain.’ Aku hanya bisa berbicara di dalam hati, kami masih sibuk di dapur membuat sarapan bersama.

Aku ibarat burung dalam sangkar. Tidak bisa sesuka hati terbang kesana-kemari. Sungguh malang nasibku ini. Bangun tidur saja sudah ada yang siap untuk membangunkan. Dari pagi sampai ke pagi lagi sudah ada yang siap mengatur tentang segala kegiatan yang akan kulakukan.

Padahal aku jarang membantah perkataan beliau, tapi kenapa beliau selalu saja ikut campur rumah tanggaku. Dasar menyebalkan.

'Seharusnya aku dan mas Lutfan punya rumah sendiri. Tak mewah pun tak apa, yang penting hidupku nyaman bisa bebas sesuka hati. Atau mengontrak barang sepetak pun tak masalah. Aku capek setiap hari ada yang mengatur dan mengomentari,’ rintihku dalam hati.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Khanna

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku