Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia Gubuk Belakang Rumah Mertua

Rahasia Gubuk Belakang Rumah Mertua

Khanna

5.0
Komentar
7.2K
Penayangan
40
Bab

Fira dan Ubay sudah lama tidak bertemu dengan Bu Diyah. Dia adalah mertua Fira. Saat akan pergi ke rumahnya, Fira dan Ubay selalu dilarang. Alasannya tidak jelas. Mereka akhirnya nekat datang ke sana dengan harapan akan bersenang-senang bersama. Namun, banyak kejadian aneh yang menimpa. Bu Diyah melarang mereka masuk ke gubuk di belakang rumah. Sebenarnya ada rahasia apa yang Bu Diyah sembunyikan?

Bab 1 Part 1

"Nda, minggu besok apa jadi ke rumah ibu?" tanya mas Ubay.

Dia suamiku. Sedangkan namaku Fira. Kita berdua berada di dapur. Dia duduk di belakangku, tepatnya di meja makan. Aku sedang memasak mumpung jagoan kecilku terlelap tidur.

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah enam sore, sudah hampir maghrib tapi Arsya-putraku belum juga bangun. Dia tidur dari jam setengah empat tadi. Mungkin dia kelelahan habis main dengan teman-temannya.

"Jadi dong, Yah. Kita sudah lama lho, nggak ke sana. Sejak aku hamil Arsya, kita belum pernah bertemu sama ibu lagi. Apa kamu nggak kangen, Yah?"

Aku memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan.

"Kangen sih pasti, Nda. Tapi ibu 'kan yang menyuruh kita nggak main ke rumahnya. Apa lebih baik kita menuruti apa kata ibu saja?"

"Yah ... kok ngomong gitu sih? Kita sudah lima tahun lho nggak main ke sana. Apa kamu nggak kasihan sama ibu? Mungkin di sana beliau sangat kesepian. Bapak juga udah lama meninggal. Ibu pasti ingin ketemu sama kita dan cucunya, Yah. Apa kamu tega, Arsya dari bayi nggak pernah lihat neneknya lho, Yah."

Aku terpaksa menghentikan pekerjaan untuk sesaat dan melihat mas Ubay.

"Bukan begitu, Nda. Ibu 'kan sudah nggak tinggal di rumah yang dulu. Semenjak bapak meninggal beliau pindah ke rumah yang ada di desa terpencil. Ibu juga sering titip pesan sama paman, kalau kita dilarang pergi ke sana. Mangkanya, aku nggak pernah ajak Bunda ke sana lagi."

Perkataan mas Ubay memang benar. Namun, rasanya tak tega jika harus seperti itu terus. Aku rasa ibu mertua pun ingin melihat anak-anak dan cucunya, tapi entah apa alasannya kami dilarang untuk mengunjungi beliau. Aku pun sebenarnya ingin membawa beliau untuk tinggal di rumah ini bersama kami. Namun, beliau menolak.

"Tapi Yah ... aku kasihan sama ibu. Sekali-kali kita kasih kejutan nggak apa-apa 'kan? Pasti beliau akan sangat bahagia."

Aku kembali sibuk dengan wajan penggorengan.

"Bunda yakin, mau tetap ke sana? Kalau ibu justru nggak suka kita ke sana gimana, Nda?"

Mas Ubay berkata seolah enggan datang ke rumah ibu. Padahal beliau adalah ibu kandungnya sendiri dan kami khususnya mas Ubay tidak pernah ada konflik besar yang terjadi. Jadi, kenapa mas Ubay sepertinya mempersulit kedatangan kami ke rumah beliau?

"Ayah, kamu kenapa sih? Beliau 'kan ibu kandungmu, Yah? Kenapa kamu seolah malas menemui beliau. Jangan gitu dong, Yah. Nggak baik."

Terpaksa, aku kembali memalingkan badan dan menatap mas Ubay dengan tatapan tak suka. Keningku mengerut agar dia tahu perasaanku.

Mas Ubay yang kutatap sedemikian rupa hanya bergeming. Mungkin dia merasa bersalah. Karena ekspresinya seperti itu, aku kembali menyibukkan diri dengan masakanku yang tak kunjung usai.

"Kita silaturahmi sama ibu, Yah. Aku yang mantunya saja kangen, masa Ayah yang anak kandungnya sendiri biasa saja. Jangan begitu dong, Yah ... Arsya juga pasti ingin bertemu sama neneknya. Kasihan kalau sampai ibu sudah nggak ada di dunia kita baru menyesal. Nggak mau begitu 'kan, Yah?"

Ocehan di mulutku tak mau berhenti. Padahal tadi aku sudah melihat ekspresi bersalah dari wajah mas Ubay. Namun, aku masih saja belum puas jika hanya berdiam diri mengetahui suami sendiri yang enggan datang ke rumah ibunya. Bagiku itu salah.

Bagaimana pun orang tua yang kadang menyebalkan, mereka tetap orang yang sangat berjasa di hidup kita. Apalagi seorang ibu yang merawat kita dari dalam kandungan sampai bisa berdiri tegak menyongsong dunia. Sepertinya durhaka jika sampai melupakan jasanya begitu saja.

"Nda, masaknya nggak selesai-selesai? Dari tadi aku sudah menunggu di depan lho. Biasanya Bunda nyamperin kalau sudah selesai masak, ini kok lama banget. Sudah hampir maghrib, jadi aku masuk saja nemuin Bunda di dapur."

Bibirku yang belum lama terdiam, dikagetkan dengan suara seseorang yang sangat kukenal. Kumatikan kompor dan memalingkan badan melihat seseorang yang baru saja berbicara padaku.

Aku kaget saat melihat mas Ubay berdiri di ambang pintu pembatas dan berjalan perlahan menuju ke tempatku berdiri. Sepertinya mas Ubay baru datang dari arah depan. Padahal dari tadi dia sedang duduk di meja makan yang jauh dari sana. Kami pun berbicara panjang lebar, tapi kenapa mas Ubay terlihat seperti baru saja datang?

Beberapa kali mataku melihat ke arah meja makan yang belum lama ini diduduki olehnya. Namun sekarang dia sudah berada di dekatku berjalan dari arah depan. Padahal meja makan ada di sisi sebelah kanan ruangan ini, sedangkan pintu pembatas ada di sisi sebaliknya.

"Yah, dari tadi kamu duduk di sana 'kan?"

Aku menunjuk ke meja makan.

Kini giliran mas Ubay yang mengerutkan keningnya.

"Maksud kamu apa, Nda?"

"Iya, tadi 'kan kita bicara membahas soal pergi ke rumah ibu. Kamu duduk di sana 'kan?"

Aku kembali memastikan.

"Apaan sih, Nda? Aku baru datang ke sini lho?" ucapnya seraya menatapku aneh.

"Ayah nggak usah iseng ya sama Bunda. Dari tadi kita berbicara lho, Yah. Kamu kayak nggak mau pergi gitu ke rumah ibu. Aku protes dong sama kamu. Terus sekarang kamu mau isengin aku, Yah? Kamu nggak terima sama ucapanku?"

"Bunda, jangan aneh-aneh deh. Aku dari tadi di depan nungguin kamu selesai masak tapi lama banget nggak kelar-kelar. Aku susul saja ke sini. Dan lagi, aku nggak pernah ngomong kalau aku nggak mau pulang ke rumah ibu. Padahal aku sudah kengen banget sama beliau. Mana mungkin aku ngomong begitu sama kamu, Nda. Kamu kecapekkan kali, butuh istirahat biar nggak ngehalu gitu, Nda."

"Yah! Jangan iseng ya! Kamu dari tadi duduk di sana kok!"

Aku kembali menunjuk ke tempat duduknya tadi.

"Aku nggak mungkin salah, Yah. Jelas-jelas kamu duduk di sana ngobrol sama aku. Ayah jangan iseng, sok-sokan akting datang dari arah depan!"

"Bunda ini aneh. Aku baru saja datang ke sini sudah dituduh macam-macam," ucapnya seraya mencomot masakanku dan pergi mengambil piring.

"Tadi kamu duduk di sana, Yah. Nggak mungkin aku salah lihat. Kita ngobrol juga kok."

Aku tak mau kalah.

"Nda ...."

Arsya memanggilku dari kamar.

"Itu Nda, Arsya udah bangun. Kamu itu ada-ada saja. Sebelum pergi ke rumah ibu, kamu harusnya istirahat dulu, Nda. Perjalanan kita panjang lho, Nda. Aku lapar, mau makan dulu."

"Ah Ayah, aku tuh nggak mungkin salah lihat," dengusku sambil pergi ke kamar jagoan kecilku.

"Padahal jelas-jelas kami mengobrol, tapi kenapa mas Ubay kayak nggak tau apa-apa. Aneh banget sih," gumamku seraya berjalan menemui Arsya di kamarnya.

"Nda ...."

Kembali Arsya memanggilku.

"Iya Sayang. Bunda datang."

"Nda ... hiks!"

Aku segera mendatangi Arsya yang tiba-tiba saja menangis. Tak biasanya dia bangun tidur seperti ini.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Khanna

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.8

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku