Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Terhalang Baju Loreng

Cinta Terhalang Baju Loreng

Wida Wianda

5.0
Komentar
47
Penayangan
7
Bab

Septia Sillaila, seorang wanita yang terjebak dua belenggu kehidupan. Pertama, ia terjebak oleh pernikahan toxic. Keluarga suaminya dan suaminya sendiri pun selalu memberikan racun pada mentalnya. Alan Yanuar Arifin, seseorang dari masa lalunya yang datang kembali dan menawarkan untuk keluar dari keluarga toxic itu dan memulai kehidupan baru. Septia menolak karena ingin mempertahankan rumah tangganya, meskipun dalam hati dia sangat ingin kembali pada Alan. Akibat penolakan Septia, Alan memilih untuk pergi menjauh. Yakni bertugas ke Lebanon untuk kembali melupakan Septia yang kedua kalinya. Hingga pada akhirnya hubungan Septia dan Helmi tetap kandas karena Helmi sudah tiga kali mentalaknya Akankah Septia dan Alan dapat bersatu? Kuy ikuti ceritanya sampai selesai !

Bab 1 1. Kembali Bertemu

"Sekarang, aku talak kamu!" tegas Helmi pada Septia yang baru saja selesai masa nifas.

Wanita yang baru saja melahirkan itu hanya menangis sesenggukan tanpa bisa berkata apapun. Dia memegangi perut yang kram dan kepalanya yang terbentur siku dinding kayu.

"Dasar, cengeng!" umpat Helmi lagi saat Septia sudah bangun dari jatuhnya.

Hati lelaki itu tidak ada perasaan iba sedikitpun pada istrinya yang sebulan lalu melahirkan anaknya.

Seakan mengerti saat ibunya disakiti, bayi yang masih kecil itu menangis kencang. Septia tertatih-tatih menghampiri putranya yang dibaringkan di kasur tak jauh dari mereka bertengkar.

Asal muasal mereka bertengkar karena Helmi memaksa Septia untuk pulang ke rumah Ibunya Helmi–mertua Septia–Heni.

Septia menolak karena dirinya merasa belum siap untuk kembali ke sangkar mertua, karena Septia butuh proses pemulihan lebih dari sebulan akibat pendarahan pasca melahirkan.

Helmi pergi ke kamar setelah marah pasa Septia. Sedangkan Septia bingung karena bayi kecil bernama Syarif Albian itu tidak mau menyusu padanya, sehingga Salwa–Ibu Septia datang menghampiri mereka.

"Dari tadi kok nangis ada apa toh, Ti?" tanya Salwa yang agak keras pada Septia yang menghapus air matanya.

"Nggak tahu, Buk. Bian nggak mau nenen," jawab Septia yang berusaha menyembunyikan kalau dirinya nangis.

"Gitu aja nggak pecus!"

Hati Septi semakin sakit akibat makian ibunya.

"Tidak usah, Bu! Sekarang udah mau nenen kok," tolak Septi saat Salwa hendak merebut Bian darinya.

Ajaibnya, bocah itu berhenti menangis saat Salwa memaki Septia.

"Yaudah, ibu mau ke dapur lagi! Jangan sampai nangis kejer lagi!" Salwa memberi peringatan yang membuat hati Septi kembali teriris.

"Ya Allah, kuatkan hamba!" lirih Septi lalu beristighfar sebanyak mungkin agar hatinya kembali tenang.

"Yang, aku minta maaf!" cicit Helmi tiba-tiba berada di belakang Septi yang masih menyusui Bian.

"Ya," jawab Septi malas.

"Pliss, aku minta maaf! Jangan marah lagi ya!?"

Septia tersenyum smirk, karena ucapan Helmi. "Bukankah tadi dia yang marah?" batinnya.

"Iya."

Helmi berpindah dan duduk di depan Septia. Namun, Septia sama sekali tidak peduli atau memperhatikan Helmi. Rasa malas dan jijik masih bersarang di hatinya.

"Kok cuek sih, masih marah ya?"

"Enggak."

"Tuh kan cuek! Coba lihat aku!"

"Aku mau menidurkan Bian."

Septia merasa ilfiel dengan suaminya yang selalu begitu saat meminta maaf. Terkesan labil dan kekanakan menurut Septia. Bagaimana tidak? Setiap marah dia akan mengumpat dan meng–absen siswa-siswi kebun binatang. Tak jarang, Helmi juga mendorong Septia agak keras. Seperti scene film perundungan anak sekolah. Sering kali meminta maaf, tak. jarang juga dia mengulanginya kembali.

"Udah dong, Yang! Aku minta maaf, aku janji besok tidak aku ulangi!" Helmi masih terus merengek seperti anak kecil yang meminta es krim pada ibunya.

"Aku tidak marah kok, Mas. Percuma juga aku marah kan? Nanti aku stres dan Bian tidak mendapat cukup asi dariku."

"Kalau begitu aku mau pulang ya!? Nggak enak aku disini nggak membantu pekerjaan Bapak."

"Terserah."

"Nanti pamitkan pada Ibu dan Bapak ya! Biasa buat alasan ada acara mendadak."

Lagi-lagi Septia tersenyum smirk dengan tingkah laku suaminya. "Hmmm."

Tanpa rasa bersalah, Helmi keluar begitu saja tanpa pamit pada mertuanya. Air mata Septia kembali menerobos keluar tanpa bisa dicegah.

"Sabar, Septi!" gumannya sembari ngelonin Bian karena Bian masih nenen.

Tak berselang lama, Septia ikutan tidur tanpa sengaja.

Lima menit kemudian.

"Septi...! Septi...!" teriak Salwa dari ruang tamu.

"Astagfirullah, aku ketiduran!" Septi mengucek matanya dan beralih melihat Bian yang masih terlelap.

"Iya, Buk. Ada apa?" jawab Septi setelah berada di sekat tempatnya dan Bian tidur tadi.

Jantung Septia mendadak berhenti sejenak melihat seseorang yang duduk di kursi dekat Salwa.

"Ini, Alan datang," ujar Salwa ramah pada Septia yang masih terkejut. Pikirannya berputar kembali ke masa dimana dia masih sekolah.

"Tia, ayo naik! Kenapa malah bengong?

"Eh, iya, Al."

Wajah Septia merona kepergok memandangi wajah Alan yang membuat hatinya berdesir. Buru-buru Septia naik ke motor Alan.

"Sudah, Al," ujarnya setelah berada di atas motor supri x123 milik Alan. Alan segera memakai helmnya kembali dan menghidupkan si supri.

Di perjalanan menuju sekolah, Alan yang justru banyak bicara karena Septia masih malu.

"Aku antar sampai sekolahmu ya?"

"Enggak usah, Al! Aku turun di pertigaan melinjo aja."

"Kenapa?"

"Nggak papa, sih. Aku ingin jalan kaki dari sana sampai sekolahku."

"Baiklah! Tapi kenapa tadi kamu memandangku seperti itu, Tia?" tanya Alan yang membuat Septia berpura-pura tidak mendengarnya.

"Apa? Aku tidak dengar, Al."

"Haisssht, kamu udah mulai mencintaiku ya?"

"Ehh, mana ada? Aku hanya kaget aja kegantengan-mu naik dua puluh persen."

"Benarkah? Apakah karena aku mengubah gaya rambut sesuai keinginanmu?"

"Ya, itu alasan pertama sih."

"Lalu alasan kedua apa?"

"Alasan kedua karena memang kamu aslinya tampan kalau sedikit rapi. Coba saja kamu perhatikan penampilanmu mulai sekarang. Ups!" Septia segera membekap mulutnya. "Ck! Kenapa aku malah memujinya?" batin Septi lalu mengetuk dahinya pelan.

Alan tersenyum melihat tingkah Septia dari kaca spion. "Siap! Alasan ketiga?"

"Ehh, nggak ada! Kamu jangan geer ya! Aku memujimu bukan berarti aku cinta sama kamu."

Alan tertawa terbahak-bahak karena Septia tidak pandai berbohong. Tangan Septia auto mencubit perut Alan hingga mengadu kesakitan. "Aaauuuww!"

"Rasain! Kenapa kamu malah tertawa? Kamu ngejek ya?" geram Septia yang berulang kali mencubit perut bergantian dengan lengan Alan.

"Stop, Tia! Nanti kalau kita jatuh bagaimana?" rintih Alan yang lenggat-lenggot seperti cacing kepanasan. "Aku tahu! Kamu sengaja karena ingin kecelakaan denganku kan? Seperti Romeo dan Juliet yang mengakhiri hidup bersama?"

Bukannya berhenti justru Septia sangat keras dan menahan cubitan di perut Alan hingga Alan memilih berhenti di tepi jalan.

"Kenapa berhenti?" tanya Septia yang memasang wajah garang. Namun dia berhenti mencubit Alan. Cubitan yang sangat keras dan lama tadi adalah cubitan terakhir.

"Aku nggak mau mati konyol karena kamu jiwit, Ti. Aku masih ingin mengejar cita-citaku untuk hidup bahagia dan menua bersamamu."

"Ck! Simpan gombalanmu di saku! Siapa tahu nanti bisa buat beli bakso. Sekarang ayo jalan lagi, waktunya udah mepet, Al!"

Alan kembali menjalankan motornya. Namun, keheningan kembali terjadi karena waktu tinggal sedikit lagi membuat Alan takut terlambat, gerbang sekolahnya juga Septia ditutup. Sekolah mereka pun berjarak cukup jauh.

Di sekolah Septia.

"Makasih ya, Al!"

"Ini tidak gratis, Tia."

"Ck! Kamu perhitungan banget. Berapa?" gerutu Septia sembari mencari uang di sakunya. "Katanya cinta?" gumannya yang masih di dengar Alan.

"Bayarannya bukan uang, tapi kamu harus putus dengan Kevin dan berpacaran denganku!"

Spontan Septia kembali mencubit Alan. Lalu dengan tatapan maut dia meninggalkan Alan di depan gerbang sekolahnya.

"Aku akan menunggumu mengatakannya sendiri, Tia," guman Alan sembari memandang Septia melangkah masuk gerbang sekolah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Wida Wianda

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku