"Sekarang katakan! Mana hadiahnya?" tagih Luna. "Menikahlah denganku!" kini giliran tawa Luna yang pecah. "Mas, nggak lucu tauk! Haha, prank kamu nggak mempan di aku." Luna tetap saja tertawa, meskipun hatinya juga dag-dig-dug mengharapkan. Sebenarnya Luna pun berharap perkataan Reza tidak merupakan sebuah candaan, tapi ia segera menepis harapan itu. Gadis itu tahu diri. Kasta, harta dan tahta telah menjadi tabir cintanya kepada Reza. Reza merogoh sesuatu di saku jas hitamnya, lalu ia melipat kedua lututnya dan bertumpu pada telapak kaki. Reza membuka sebuah kotak yang bertengger sebuah cincin berlian di dalamnya. Sederhana namun elegan. "Salsabiluna Dewi, maukah kau menikah denganku?" Ya, Reza melamar Luna. Seketika tubuh Luna kaku dan tangganya menjadi dingin. "Aku serius, Luna. Baiklah akan aku ulangi sekali lagi! Salsabiluna Dewi, maukah kamu menjadi teman hidupku untuk menggapai surga?"
"Salsabiluna Dewi, maukah kau menikah denganku?" Reza berjongkok mengenggam satu tangan Luna yang dingin. Satu tangganya lagi ia gunakan untuk menahan rambutnya yang terbang menutupi wajahnya.
Ombak laut yang mengulung-gulung dan pohon kelapa yang melambai mengisyaratkan kepada Luna agar menerima lamaran lelaki di depannya.
Pria berusia 28 tahun, dengan pesonanya yang mampu memikat banyak gadis cantik di kantornya tengah melamar Luna. Anggota wajah yang proposional, tinggi tubuhnya 185cm, dan warna kulit kuning langsat khas Indonesia merupakan seorang CEO di 'MAYOTTE ENTERPRISES'.
Sedangkan Luna adalah gadis biasa yang mampu meluluhkan hati Reza. Wajah ovalnya di hiasi lesung pipi saat tersenyum dan giginya yang gingsul terlihat begitu menawan. Luna bekerja sebagai office girl di perusahaannya yang dipimpin. Keduanya sudah cukup lama dekat, karena kedekatan itulah, benih-benih cinta mulai tumbuh.
Kesederhanaan, kelembutan dan sikap Luna yang unik-lah perlahan menumbuhkan benih dalam hati Reza. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi gadis itu sadar akan tabir cintanya yang begitu kokoh dan keras.
"Sadarlah, Luna! Dia CEO sedangkan kamu hanya ob disini, dia menolongmu bukan berarti dia mencintaimu."
Reza memang sering menunjukkan perhatiannya kepada para karyawannya, tapi dengan Luna beda-lebih spesial. CEO muda itu memiliki sikap yang lembut dan Ramah kepada karyawannya, tidak seperti para CEO-CEO di dalam novel.
"Imut banget! Gemesh, aku tuh." Luna ingin mencubit pipi seorang anak kecil berbadan gembul di sebuah foto berbingkai di meja kerja Reza.
Luna berniat menyampaikan terima kasihnya kepada Reza yang kemarin belum sempat ia ucapkan, dia masuk keruangan Reza dengan membawa secangkir kopi racikannya. Namun dia tak mendapati Reza di ruangan itu.
"Hmzt!"
Jantung Luna hampir copot dan foto yang di pegangnya terjatuh.
"Ouups!" tangan Luna refleks menutup mulutnya.
"Kamu!? Beraninya menyentuh barang–barangku!"
"Ma–maaf, Pak! Saya tidak sengaja, lagian Bapak juga ngagetin saya. Kan jadinya jatuh."
"Dasar!" Reza mengisyaratkan Luna agar pindah dari posisinya berdiri agar Reza bisa lewat dan duduk di kursi kebanggaannya.
"Itu, Pak. Saya buatkan kopi, saya sangat berterima kasih dengan Bapak! Dan untuk soal ini, saya minta maaf! Saya janji nanti kalau udah gajian saya ganti figura Bapak!" ujar Luna menunjuk kopi. Luna takut melihat ekspresi Reza yang garang.
"Katanya Pak Reza orang yang lembut, tapi... Huft, dia kasar sekali," batin Luna.
"Sudah ngomongnya? Kenapa jadi ngelamun?" Luna gelagapan.
"Eng–enggak kok, Pak."
Reza masih saja menatap Luna, ada perasaan berbeda semenjak bertemu gadis absurd itu.
"Sruuppttt! Enak." Reza kembali meneguk kopi buatan Luna. Sementara membersihkan pecahan kaca.
"Besok dan seterusnya, setiap hari kamu harus buatin aku kopi! Ok!" Reza kembali memperhatikan Luna.
Luna mendongak memandang Reza, menampakkan raut protes.
"Imut banget kamu, Lun," batin Reza, "Kenapa memandangku seperti itu!"
"Tapi, Pak! Pekerjaanku banyak waktu pagi."
"Siapa suruh kamu menyentuh barang–barangku? Itu sebagai ganti karena kamu merusak foto kesayanganku, titik!" tegas Reza semakin membuat Luna tak berkutik.
"Lagian siapa suruh tadi kamu membuatkan aku kopi," tambah Reza pelan, Luna pun mendengarnya seperti omongan tak jelas.
Hal itulah yang membuat Luna dan Reza semakin dekat. Setiap hari Luna keruangan Reza untuk sekedar mengantar kopi. Pernah sekali Luna meminta temannya yang juga ob mengantarkan kopi untuk Reza, justru Reza mengancam akan memecatnya jika tidak Luna sendiri yang mengantarnya.
Maksud sebenarnya adalah itu hanya trik Reza agar setiap hari bisa melihat wajah Luna yang imut, menurutnya.
Hari ke hari dengan kedekatannya dengan Reza, Luna mulai menunjukan keahliannya tanpa sengaja ia perlihatkan. Reza meminta Luna untuk melanjutkan kuliahnya dengan biaya dari Reza.
Awalnya Luna menolak, dan bukan seorang Reza Wijaya jika menyerah begitu saja dengan penolakan Luna. Segala cara ia lakukan agar Luna mau melanjutkan kuliahnya.
Luna adalah gadis cerdas, ia hidup sebatang kara. Ayahnya meninggal saat usianya belia, ibunya menyusul tiga bulan tepat saat Luna mendapat surat kelulusan SMA–nya.
Banyak sekali beasiswa yang mengantri untuk Luna, akan tetapi ia berfikir panjang untuk melanjutkan pendidikannya. Ibunya sakit keras saat itu, dan Luna memilih untuk bekerja saja.
Masa lalu Luna yang diungkit Reza mampu menggoyahkan hati Luna untuk kuliah.
"Woyyyy! Bengong aja, Bill. Kenapa?" Billun, panggilan sayang Reza untuk Luna.
"Apaan sih, Mas!? Hobi banget kamu buat jantungku olahraga," jawab Luna dengan ekspresi yang membuat Reza ingin mencubit pipinya.
"Udah lama nunggunya?"
"Enggak kok, baru satu windu aku nunggu kamu."
"Ish. Semakin gemes tahu nggak?!" Reza tak tahan mencubit pipi Luna yang chubby.
"Aauuww." satu pukulan pelan dari Luna mengenai lengan Reza.
"Dahlah, ayo berangkat!"
"Kemana?"
"Kamu lupa? Jalan aja dulu, nanti kalau udah sampai pasti ingat." Luna semakin mengimutkan wajahnya yang tanpa disengajanya.
Ya, memang imut wajah Luna, gadis berusia 22 tahun yang sebentar lagi akan wisuda itu masih memiliki wajah seperti anak SMA.
"Oh ya, Mas! Nanti kalau aku sudah wisuda, kamu mau nggado apa?" tanya Luna mengawali obrolannya saat sudah berada di mobil.
"Ada deh!? Kamu maunya apa?"
"Aku sih berharap, status magangku di perusahaan kamu jadi karyawan tetap. Hihi." Semenjak Luna kuliah lalu magang, Reza mengangkatnya menjadi sekretarisnya.
"Gampang, akan aku kabulkan! Tapi aku punya satu hadiah lagi untukmu." Spontan Luna menoleh ke Reza dengan mimik wajah tanda tanya besar.
"Nanti kalau udah sampai aku kasih tahu hadiahnya," ujar Reza seakan ngerti dengan maksud Luna.
Luna memutar wajah dan celingukan melihat ke kursi mobil bagian belakang. Reza hanya tersenyum melihat tingkah Luna. Namun tetap fokus mengemudi.
"Polos banget," lirih Reza.
"Apa kamu bilang, Mas? Kamu mau ngasih aku mobil?"
"Hah? Hahaha," tawa Reza pecah seketika.
"Kuping kamu kayaknya perlu diservis deh, Lun. Aku bilangnya 'polos banget' tapi nyantolnya di kupingmu mobil, hahahaha. Nggak nyambung banget." Reza terus saja tertawa.
"Ha-ha-ha, terus aja ketawa. Kan aku ngucap mobil biar kamu jujur tadi bilang apa, kirain bilang hadiahnya. Eh, ternyata malah ngejek aku." Luna mengerucutkan bibirnya yang tipisnya.
Hampir satu jam perjalanan mereka, dan kini mereka sudah sampai. Reza memarkirkan mobilnya dan mengajak Luna menuju hamparan pasir yang sebelahnya genangan air besar. Pantai.
"Ah ya, aku ingat sekarang!? Kamu tadi malam mengajakku mantai. Hihi." Luna terkikik geli dengan dirinya sendiri yang pelupa. Reza kembali mengeluarkan senyumannya yang bisa membuat kadar gula naik.
"Sekarang katakan! Mana hadiahnya?" tagih Luna.
"Menikahlah denganku!" kini giliran tawa Luna yang pecah.
"Mas, nggak lucu tauk! Haha, prank kamu nggak mempan di aku." Luna tetap saja tertawa, meskipun hatinya juga dag-dig-dug mengharapkan.
Sebenarnya Luna pun berharap perkataan Reza tidak merupakan sebuah candaan, tapi ia segera menepis harapan itu. Gadis itu tahu diri. Kasta, harta dan tahta telah menjadi tabir cintanya kepada Reza.
Reza merogoh sesuatu di saku jas hitamnya, lalu ia melipat kedua lututnya dan bertumpu pada telapak kaki. Reza membuka sebuah kotak yang bertengger sebuah cincin berlian di dalamnya. Sederhana namun elegan.
"Salsabiluna Dewi, maukah kau menikah denganku?" Ya, Reza melamar Luna.
Seketika tubuh Luna kaku dan tangganya menjadi dingin.
"Aku serius, Luna. Baiklah akan aku ulangi sekali lagi! Salsabiluna Dewi, maukah kamu menjadi teman hidupku untuk menggapai surga?"
Buku lain oleh Wida Wianda
Selebihnya