Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Skandal Mertua
3.5
Komentar
6.8K
Penayangan
44
Bab

Lima tahun hidup hanya dengan putrinya, Ratna dikejutkan dengan kehadiran sosok pria yang membuat enggan menikah lagi. Sosok pria yang dikabarkan meninggal akibat kecelakaan lima tahun silam, dan membuat ibu mertuanya membawa salah satu putri kembarnya. Ratna disalahkan atas kecelakaan Erlang dan meninggal dunia. Lalu, saat ini. Ratna kembali berhadapan dengan Erlangga Edward–suaminya. Namun, Erlang sama sekali tidak mengenalnya.

Bab 1 1. Pertemuan

"Mama, aku mohon jangan bawa putriku! Aku sanggup menghidupinya, Ma."

Seorang wanita berparas memikat yang baru saja melahirkan bersimpuh dan memegang kaki wanita lain yang sedang menggendong seorang bayi perempuan baru lahir.

"Jangan egois, kamu! Ini adalah balasan karena kamu telah merebut putraku," hardik wanita dengan usia yang dua kali lipat dengan usianya. Wanita itu menghentakkan kakinya agar ibu dari bayi yang digendongnya melepaskan kakinya.

Setelah lepas, dia pergi dengan cepat agar tidak bisa dikejar.

"Ma.... Aku mohon...!"

Ratna sama sekali tidak menoleh. Dia tak lain adalah mertua dari wanita yang baru saja melahirkan itu. Juga merupakan istri dari Fredi Edward, pemilik perusahaan WANGS GOOD.

Kabar kematian anaknya–Erlangga Edward membuatnya tega memisahkan ibu dan bayi yang baru dilahirkan, yang tak lain adalah cucu dan menantunya.

Sabrina, nama menantu Ratna yang merupakan istri Erlang. Wanita itu masih menangis dan duduk di lantai saat ibu mertuanya sudah tak terlihat. Dua tangannya menyangga badan agar tidak jatuh tengkurap. Sementara kakinya tertekuk pada siku dengkul.

Suster yang tadi bersembunyi langsung keluar dan membawa Sabrina kembali ke kamar setelah Ratna berbelok di pertigaan lorong rumah sakit. Secara tak sengaja, dia melihat drama antara mertua dan menantu secara live setelah kembali mengambil perlengkapan susu formula untuk bayi Sabrina.

Suster ber-name tag Susi itu langsung membantu Sabrina berdiri dan memapah lalu membawanya menuju kamar rawat. Setelah sampai di kamar dia membaringkan Sabrina di kasur brankar.

"Nyonya, sebaiknya istirahat dulu!" ujar Susi lalu beranjak untuk menenangkan bayi di dalam box. Bayi itu menangis sedari tadi, saat saudara kembarannya dibawa oleh Neneknya.

Dengan cekatan, Susi membuat susu untuk bayi yang baru lahir itu. Setelah bayi merah itu tenang dan tidur kembali, Susi berusaha untuk menghibur Sabrina.

Beberapa jam yang lalu, Susi merasa iri pada Sabrina karena mendapatkan mertua seperti Ratna. Sebelum ada kabar kematian Erlangga, Ratna begitu baik dan terlihat sangat menyayangi menantunya. Hingga membuat semua orang yang melihat, termasuk Susi merasa iri. Namun pada detik ini keadaan berubah 180 derajat.

"Nyonya, saya memang kurang tahu dengan permasalahan yang sedang Anda hadapi. Akan tetapi, Nyonya harus semangat. Lihatlah, anak Anda begitu cantik dan masih butuh sosok ibu!" ujar Susi tersenyum. Dia sudah berada di depan Sabrina dan memperlihatkan wajah bayi merah itu.

Sabrina mengusap air matanya, kemudian beralih duduk. "Kamu benar. Aku masih memilikinya di dunia ini."

"Coba, Nyonya gendong!" Susi tersenyum dan mengulurkan bayi itu pada Sabrina.

Bayi mungil nan cantik itu tersenyum di pangkuan ibunya meski terlelap. Sabrina pun ikut tersenyum.

"Senyummu seperti embun di pagi hari yang membasahi tanah gersang. Memperindah bunga dan dedaunan. Karena itu, Mama akan memberimu nama Embun Mentari."

Setelah seminggu, Sabrina dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Karena Sabrina adalah yatim piatu dan tak memiliki sanak saudara di kota ini, dia memutuskan untuk membeli rumah kecil di pinggiran kota menggunakan uang tabungannya semasa kerja.

Sebuah rumah minimalis satu lantai yang memiliki, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, satu ruang tamu dan halaman yang luas menjadi pilihan Sabrina. Dia mendapatkan rumah itu dengan bantuan Susi, karena sebelumnya rumah itu milik tetangga Susi.

Dengan sisa uang membeli rumah, Sabrina memulai usaha membangun toko tanaman hias. Setelah lima tahun toko itu mulai membesar dan ada tiga karyawan.

Begitupun putri Sabrina, Embun Mentari. Bocah yang kerap disapa Tari itu tumbuh menjadi sosok gadis kecil yang imut, lucu dan juga aktif. Tak jarang gadis itu mengganggu karyawan Sabrina di sela pekerjaan.

Karena itu, di tahun ajaran kali ini, Susi menyarankan pada Sabrina untuk memasukkan Tari ke paud.

"Tante Susi...," panggil Tari saat melihat Susi pulang dan memasuki gerbang toko. Saat itu Tari baru saja selesai membuat satu karyawan Sabrina yang bernama Bela mengeluarkan taring.

Susi menyambut Tari dengan merentangkan kedua tangannya. "Euummm, wanginya ponakan Tante yang cantik ini," pujinya sembari mencium rambut Tari.

"Tante juga wangi, sudah mandi 'kah?"

"Belum. Tapi tadi menggunakan sanitizer di seluruh badan Tante, agar tidak ada kuman yang ikut tante dan menular pada Tuan Putri yang cantik ini," gemasnya lalu melepas pelukan dan mencubit hidung Tari yang minimalis.

"Sakit, Tante!" protes Tari mengerucutkan bibirnya mungilnya. Susi tertawa dan menggandeng Tari untuk masuk ke rumahnya.

Kini, mereka sudah berada di dalam rumah Susi. Gadis kecil itu langsung melompat pada sofa ruang tamu seperti biasanya. Sementara Susi melepaskan sepatunya.

"Tante, sekolah paud itu gimana sih?" tanya Tari dengan suara khas anak kecil yang menggemaskan.

"Kamu mau sekolah?" Bukannya menjawab, Susi justru balik bertanya.

Bersamaan dengan dia selesai melepas sepatu. Lalu meletakkan sepatunya di rak sepatu dan menggantung tasnya di tempat penggantungan tas di depan pintu kamar.

"Mama bilang, besok Tari mau dimasukkan ke paud. Tadi tidak sengaja, Tari dengar Mama bicara di telepon." Sudut bibir mungil Tari melengkung ke bawah setelah mengatakan itu.

"Kenapa sedih? Kan bagus kalau Tari sekolah, nanti banyak temannya." Susi yang baru saja selesai meletakkan tasnya kembali menghampiri Tari.

"Tapi... kalau Tari kebelet pipis bagaimana, Tan?" Spontan Susi menepuk jidat.

***

"Asalamuallaikum, Selamat pagi, Bu! Permisi! Saya Sabrina Maharani yang kemarin menghubungi yayasan ini via telepon," sapa Sabrina yang membuat wanita berhijab dan badannya sedikit gempal itu menoleh ke arahnya. Sebelumnya dia terlihat serius menatap laptop di depannya.

"Oh iya, Bu Sabrina . Silahkan duduk!" sambut wanita berpipi chubby dengan pandangan teduh itu.

"Wahh, anak Ibu cantik sekali!" puji wanita bernama lengkap Mulasih itu setelah dia, Sabrina dan Tari duduk di sofa.

"Terima kasih, Bu! Benarkah ini dengan Bu Mulasih selaku pemilik yayasan PAUD RUMAH MUTIARA?"

"Benar Bu Sabrina. Anak–anak biasa memanggil saya Bunda," jawabnya lalu beralih menatap Tari yang sedari tadi menatap lemari kaca berisi banyak piala. Dia mengagumi benda baru yang pertama kali dilihatnya itu.

"Hai anak cantik! Bunda boleh tahu nggak siapa namamu?" Namun Tari tidak menjawab karena fokus menghitung piala dalam hati.

Sabrina menyenggol Tari dan mengisyaratkan kalau Bunda Asih bertanya padanya.

"Ibu gendut mau kenalan dengan saya?" ceplos Tari dengan polosnya dan membuat Sabrina menutup wajahnya menggunakan tas. Ingin sekali rasanya bersembunyi ke dasar bumi.

Sedangkan Bunda Asih tersenyum dan menahan tawa melihat kejujuran anak kecil di depannya. Sama sekali dia tidak tersinggung dengan ucapan Tari.

"Iya, Sayang! Boleh 'kan?"

"Boleh. Namaku Tari, Ibu. Kata Mama nama lengkapku Embun Mentari. Kalau nama Ibu?" Tari balik bertanya.

"Nama saya Asih dan Tari bisa memanggil saya Bunda. Mau 'kan?"

Tari mengangguk.

"Bunda, saya minta maaf ya! Anak saya kalau ngomong memang suka ceplas–ceplos." Sabrina malu dan sungkan karena Tari tadi mengatainya 'gendut'.

"Selamat pagi, Bunda!" sapa seorang anak perempuan kecil dari pintu dan menghentikan Bunda Asih saat hendak menjawab.

Spontan Sabrina ikut menoleh ke arah pintu. Matanya membulat sempurna saat melihat seorang pria di belakang anak kecil itu.

"Mas Erlang?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Wida Wianda

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku