Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Senja di penghujung Juli sudah beranjak pergi, berganti gelap malam. Neza duduk termenung di salah satu ruang tunggu terminal Giwangan Yogyakarta. Sebuah koper besar dan tas ransel tergeletak di dekat kakinya. Sudah satu jam lebih, dirinya berada di ruang tunggu bus jurusan luar kota.
Beberapa kali gadis itu memainkan ponsel di tangan, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Raut gelisah dan sedih begitu tampak jelas di wajahnya. Sebentar-sebentar dia bergantian menyilangkan kaki demi membuat dirinya nyaman.
Huft!
Neza mengembuskan napas panjang. Dia berdiri dan bergerak maju beberapa langkah dari bangku. Mata beningnya menyapu segala penjuru terminal. Tak lama kemudian dia kembali duduk sambil memeluk ransel.
“Ya Allah, semoga busnya nggak datang,” lirihnya. Entah ini doa baik atau buruk. Dia hanya berharap malam itu tidak berakhir menyedihkan.
Dari kejauhan, seorang lelaki mendekat ke arah Neza. Di tangannya ada dua botol minuman kemasan. Wajah pemuda itu pun tak kalah sendu, tetapi dia tetap berusaha tersenyum saat tiba di depan kekasihnya.
“Bee, minum dulu,” tawarnya seraya menyerahkan sebotol minuman kepada Neza.
“Aku nggak haus,” jawab Neza dengan ketus.
Lelaki itu mencoba menawarkan sekali lagi, tetapi sang gadis tetap saja menolak minum. Bibirnya manyun sebagai tanda protes karena memang tidak haus dan berharap ada hal lain yang dibahas. Bukan sekadar basa-basi.
“Please, Nda, jangan pergi. Kalau kamu pergi, gimana aku bisa berjuang sendiri di sini?”
Neza meletakkan ransel dari pelukannya, lalu berdiri mendekati lelaki itu sambil meraih tangan sang kekasih. Ya, bukan gadis itu yang hendak bepergian, tetapi hari itu Riyan—kekasihnya—akan berangkat ke Balikpapan. Dia hendak balik ke kota asalnya untuk menemui sang ibu. Rasanya begitu berat bagi Neza, meskipun lelaki itu menjanjikan temu di kemudian hari.
Neza kembali duduk karena tidak juga mendapat jawaban yang diinginkan. Riyan pun menyusulnya. Laki-laki itu ikut duduk dan meletakkan satu minuman yang dia tawarkan di bangku sebelah sang gadis. Dia membuka satu lagi minuman yang masih ada di tangannya dan menegak minuman itu hingga habis separuh.
“Nda, jawab! Dari tadi aku ngajakin ngomong, malah diem aja sih,” gerutu sang gadis.
“Aku kudu jawab apa? Kamu udah ngomongin hal yang sama berpuluh-puluh kali. Apa iya, aku kudu jawab berulang-ulang juga? Mau diulang pun, jawaban dan keputusanku tetap akan sama.”
Riyan menutup botol minuman, lalu meletakkannya berjejer dengan botol lain di bangku. Pandangannya lurus ke depan.
“Bee ... dua tahun aku berusaha merebut hati bapak dan ibumu, tapi apa? Mereka tetap sama, nggak berubah sejak awal ketemu aku. Tetap dingin, tidak menyukaiku. Dua tahun! Aku capek, Bee.”
“Jadi ... kamu nyalahin orang tuaku?”
Riyan kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kembali tentang persoalan yang mereka hadapi. Hubungan dua sejoli ini memang tidak mulus. Orang tua Neza menentang hubungan mereka hanya karena masalah rambut gondrong dengan warna mencolok dan pekerjaan Riyan sebagai musisi.
“Bee, come on, jangan mulai ngambek lagi, deh. Aku capek kalau gini mulu.”
“Memangnya aku nggak capek? Kamu pikir aku nggak mikirin soal ini?” Suara Neza mulai parau karena menahan tangis. “ Kita masih bisa berusaha, Nda, asal kamu bertahan di sini. Tapi ... kalau kamu beneran pergi, semua pasti nggak akan sama lagi. Perjuangan kita seperti sia-sia. Aku nggak akan sanggup berjuang sendirian.” Neza merengek seraya menarik-narik tangan kanan Riyan.
“Stop, Bee! Bukankah kemarin kita udah sepakat? Aku bukan pergi selamanya dari hidupmu. Aku cuma pengin sejenak pulang dan menenangkan diri di sana. Lagian kamu tahu, mama aku sakit dan pengin ketemu aku. Kamu sendiri yang menerima teleponnya kemarin, kan? Aku nggak akan lama.” Suara lelaki itu mulai meninggi.
“Sampai kapan?”