Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
66
Penayangan
10
Bab

Neza Kamania harus menelan kenyataan pahit saat hubungannya dengan Riyan Wardhana, kekasih sekaligus cinta pertamanya, harus kandas karena terhalang restu. Gadis itu terpaksa bertunangan dengan Devan Alindra, pria pilihan orang tuanya. Mendadak, tunangannya menghilang tanpa kabar saat hatinya sudah mulai terbuka dan semua telah dia beri. Luka yang ditorehkan pria itu ternyata seperti sebuah karma baginya. Riyan rupanya masih setia menunggu dan mau menerima sang gadis meski sudah disakiti dan dikhianati. Mereka pun akhirnya balikan. Namun, Devan tiba-tiba kembali muncul dan meminta maaf kepada sang gadis. Siapakah yang akan dipilih Neza? Akankah dia bersatu dengan cinta pertamanya? Ataukah kembali ke pelukan sang tunangan yang ternyata adalah cinta masa kecil gadis itu?

Bab 1 Perpisahan

Senja di penghujung Juli sudah beranjak pergi, berganti gelap malam. Neza duduk termenung di salah satu ruang tunggu terminal Giwangan Yogyakarta. Sebuah koper besar dan tas ransel tergeletak di dekat kakinya. Sudah satu jam lebih, dirinya berada di ruang tunggu bus jurusan luar kota.

Beberapa kali gadis itu memainkan ponsel di tangan, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Raut gelisah dan sedih begitu tampak jelas di wajahnya. Sebentar-sebentar dia bergantian menyilangkan kaki demi membuat dirinya nyaman.

Huft!

Neza mengembuskan napas panjang. Dia berdiri dan bergerak maju beberapa langkah dari bangku. Mata beningnya menyapu segala penjuru terminal. Tak lama kemudian dia kembali duduk sambil memeluk ransel.

"Ya Allah, semoga busnya nggak datang," lirihnya. Entah ini doa baik atau buruk. Dia hanya berharap malam itu tidak berakhir menyedihkan.

Dari kejauhan, seorang lelaki mendekat ke arah Neza. Di tangannya ada dua botol minuman kemasan. Wajah pemuda itu pun tak kalah sendu, tetapi dia tetap berusaha tersenyum saat tiba di depan kekasihnya.

"Bee, minum dulu," tawarnya seraya menyerahkan sebotol minuman kepada Neza.

"Aku nggak haus," jawab Neza dengan ketus.

Lelaki itu mencoba menawarkan sekali lagi, tetapi sang gadis tetap saja menolak minum. Bibirnya manyun sebagai tanda protes karena memang tidak haus dan berharap ada hal lain yang dibahas. Bukan sekadar basa-basi.

"Please, Nda, jangan pergi. Kalau kamu pergi, gimana aku bisa berjuang sendiri di sini?"

Neza meletakkan ransel dari pelukannya, lalu berdiri mendekati lelaki itu sambil meraih tangan sang kekasih. Ya, bukan gadis itu yang hendak bepergian, tetapi hari itu Riyan-kekasihnya-akan berangkat ke Balikpapan. Dia hendak balik ke kota asalnya untuk menemui sang ibu. Rasanya begitu berat bagi Neza, meskipun lelaki itu menjanjikan temu di kemudian hari.

Neza kembali duduk karena tidak juga mendapat jawaban yang diinginkan. Riyan pun menyusulnya. Laki-laki itu ikut duduk dan meletakkan satu minuman yang dia tawarkan di bangku sebelah sang gadis. Dia membuka satu lagi minuman yang masih ada di tangannya dan menegak minuman itu hingga habis separuh.

"Nda, jawab! Dari tadi aku ngajakin ngomong, malah diem aja sih," gerutu sang gadis.

"Aku kudu jawab apa? Kamu udah ngomongin hal yang sama berpuluh-puluh kali. Apa iya, aku kudu jawab berulang-ulang juga? Mau diulang pun, jawaban dan keputusanku tetap akan sama."

Riyan menutup botol minuman, lalu meletakkannya berjejer dengan botol lain di bangku. Pandangannya lurus ke depan.

"Bee ... dua tahun aku berusaha merebut hati bapak dan ibumu, tapi apa? Mereka tetap sama, nggak berubah sejak awal ketemu aku. Tetap dingin, tidak menyukaiku. Dua tahun! Aku capek, Bee."

"Jadi ... kamu nyalahin orang tuaku?"

Riyan kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kembali tentang persoalan yang mereka hadapi. Hubungan dua sejoli ini memang tidak mulus. Orang tua Neza menentang hubungan mereka hanya karena masalah rambut gondrong dengan warna mencolok dan pekerjaan Riyan sebagai musisi.

"Bee, come on, jangan mulai ngambek lagi, deh. Aku capek kalau gini mulu."

"Memangnya aku nggak capek? Kamu pikir aku nggak mikirin soal ini?" Suara Neza mulai parau karena menahan tangis. " Kita masih bisa berusaha, Nda, asal kamu bertahan di sini. Tapi ... kalau kamu beneran pergi, semua pasti nggak akan sama lagi. Perjuangan kita seperti sia-sia. Aku nggak akan sanggup berjuang sendirian." Neza merengek seraya menarik-narik tangan kanan Riyan.

"Stop, Bee! Bukankah kemarin kita udah sepakat? Aku bukan pergi selamanya dari hidupmu. Aku cuma pengin sejenak pulang dan menenangkan diri di sana. Lagian kamu tahu, mama aku sakit dan pengin ketemu aku. Kamu sendiri yang menerima teleponnya kemarin, kan? Aku nggak akan lama." Suara lelaki itu mulai meninggi.

"Sampai kapan?"

"Bee ... berangkat juga belum." Riyan menghembuskan napas panjang.

"Nda, kamu sayang aku nggak, sih?"

"Astaga, Bee! Kalau nggak sayang, untuk apa aku bertahan selama dua tahun ini? Udah aku bilang, 'kan, dari awal kita ketemu, aku pengin nikah sama kamu." Riyan mengusap wajahnya dengan kasar. "Udah, aku nggak mau lagi kita berdebat lagi! Pokoknya kamu percaya sama aku, aku bakal cepet balik ke sini dan melamarmu." Nada bicara Riyan melembut kembali.

Mata Neza berkaca-kaca. Dia tidak mampu lagi berkata-kata. Rasa sesak makin mendesak rongga dadanya. Ada sedih dan haru yang menjadi satu dan sulit diungkapkan. Perlahan tangannya melepas lengan Riyan yang sedari tadi dia pegang erat.

Suasana di antara kedua sejoli itu mendadak hening untuk beberapa saat. Di waktu yang sama, petugas terminal mengatakan bahwa bus tujuan Surabaya sudah datang dan akan langsung berangkat sebentar lagi.

Riyan bergegas menenteng tas ransel. Bus yang terlambat itu sudah tiba, dia tidak ingin tertinggal.

"Udah, dong, Bee. Jangan mewek! Masak pacarnya mau pergi ditangisin. Pamali!"

Riyan berdiri di depan Neza. Tangan kanannya mengusap pucuk kepala sang kekasih yang mulai tergugu. "Tunggu aku! Aku udah janji, percayalah, aku segera kembali. Dah, aku berangkat. Salam buat Bapak dan Ibu. Tiati kalau pulang nanti."

Masih saja, meskipun ditentang dan tidak disukai, Riyan selalu menitipkan salam untuk kedua orang tua Neza. Meskipun dia tahu, sang kekasih belum tentu menyampaikan kepada mereka.

"Aku nggak nangis, kok, Nda. Ini tadi cuma kelilipan," kilah gadis itu seraya menghapus air mata yang sempat jatuh. "Nda tiati, ya. Jangan lupa berkabar kalau udah sampai." Dia berusaha tersenyum dan menahan genang di pelupuk matanya. Berpura-pura tegar, padahal rasa sesak dalam dada makin menyeruak.

Perlahan laki-laki itu berjalan mundur sambil menarik hendel koper. Dia menjauh dan makin jauh. Hatinya juga menahan pedih. Namun, demi masa depan, dia berusaha membuang jauh perasaan itu. Hanya sebuah senyuman yang bisa dia tinggalkan bersama harapan kepada sang kekasih.

Neza hanya mampu memandang kepergian Riyan dengan tatapan sayu, meski bibirnya terus mengukir lengkung termanisnya. Bulir bening pun akhirnya luruh bersamaan dengan keberangkatan bus yang membawa pergi sang kekasih melewati lorong depan ruang tunggu tempat Neza masih tergugu.

Titip hatiku, Nda. Cepat balik, batin Neza sambil memejamkan mata. Rasanya ada yang hilang, entah apa, sulit untuk dijelaskan.

Dengan gontai Neza berjalan ke tempat sepeda motornya diparkir. Dia pun melaju bersama kuda besi kesayangan, membelah jalanan. Ringroad Selatan Kota Yogyakarta tidak biasanya sesepi ini, padahal baru lepas Isya', seolah-seolah turut menggambarkan hatinya yang kini sendiri. Namun, gadis itu tidak peduli. Tangan kanannya terus saja menarik tuas gas sekencang mungkin menuju suatu tempat. Taman Paseban.

Di taman inilah, gadis itu menghentikan laju motornya. Perlahan, dia pindah duduk di bangku taman. Diangkatnya kedua kaki, ditekuk di depan tubuhnya, lalu dibenamkan wajahnya di atas kedua lengan yang bertumpu pada lutut. Sedetik kemudian, genangan bening yang sedari tadi dia tahan, luruh bersama dengan turunnya gerimis.

"Kenapa harus begini, Nda? Kenapa? Plis, balik! Plis!"

Hujan mulai lebat, tetapi Neza tidak beranjak sedikit pun dari bangku itu. Dia biarkan kesedihannya terurai bersama air yang mengguyur alam semesta selama hampir setengah jam. Tiba-tiba gadis itu merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi air hujan mengenai tubuhnya. Perlahan, dia menengadah. Seseorang telah berdiri di sampingnya tanpa dia sadari dan sedang mengulurkan payung di atas Neza.

"Ka-kamu?"

"Pulang! Tak baik malam-malam main hujan. Kamu bisa sakit," ucap lelaki itu.

Lelaki itu meriah tangan kanan Neza dan meletakkan gagang payung di genggaman gadis itu. Entah mengapa dia menuruti ucapan lelaki itu, padahal sebenarnya masih ingin menyendiri di sana.

Tepat pukul sembilan, Neza sampai di rumah dengan pakaian yang masih agak basah. Dia membuka pintu garasi dan perlahan memasukkan sepeda motornya. Tiba-tiba lampu garasi menyala.

"Dari mana kamu, jam segini baru pulang?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku