Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Adisti? Ke ruangan saya sebentar" ucap Seorang Pria berusia 25 tahun berbicara dengan nada datar, lalu setelahnya berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya lagi.
Adisti mengerutkan alis, dia lalu menoleh ke arah temannya yang terduduk di sampingnya. "Kenapa ya?"
Shera menaikkan kedua bahunya tak tahu. "Mau ngelamar kali, dia kan suka sama kamu."
"Ck!" Adisti berdecak kesal.
"Lah? Kenapa? Dia kan ganteng, kaya, posisi dia di sini juga oke. Paket lengkap loh! Kenapa ga mau?" tanya Shera.
"Perempuannya banyak! Kalo aku sama dia, aku bisa dipoligami!" jawab Adisti seraya bergidik ngeri.
"Yang penting kan ganteng terus kaya!"
"Ganteng itu relatif! Kaya ga selamanya! Kalo dia punya istri banyak, terus jatuh miskin? Gimana? Cerai gitu? Nikah itu bukan permainan!"
"Iya dah iya! Gini amat debat sama orang pinter," ucap Shera.
"Ck! Terus ini kenapa? Kok aku dipanggil ya?" tanya Adisti lagi.
"Kamu buat salah?"
"Perasaan sih enggak, tapi ya udahlah … aku samperin dulu," ucap Adisti bangun dari duduknya dan berjalan ke arah ruangan atasannya.
Tok tok tok.
"Masuk," ucap Seorang Pria dari dalam ruangan.
Adisti menarik handle pintu dan mendorongnya pelan. "Pak Ryan tadi panggil saya? Kenapa, Pak?" tanya Adisti.
"Duduk dulu," ucap Ryan.
Adisti lalu duduk dan menatap atasannya.
"Oke … to the point aja ya, jadi sekretaris saya kan bulan depan resign, jadi saya mau … kamu yang gantiin dia," ucap Ryan.
"Hm? Saya? Jadi sekretaris Bapak?" Adisti balik bertanya sambil menunjuk dirinya.
"Iya, kamu gantiin Dinda, jadi sekretaris saya," ucap Ryan lagi.
"Kenapa harus saya? Kenapa gak yang lain aja? Saya kerja di sini juga baru tiga bulan loh, Pak. Saya juga gak punya pengalaman jadi sekretaris," ucap Adisti.
"Ya karena saya mau kamu jadi sekretaris saya dan mau kamu yang gantiin Dinda, masalah punya pengalaman atau enggak ya itu urusan nanti, kamu bisa sambil belajar. Lagian gimana mau punya pengalaman kalau belum dicoba," ucap Ryan.
Adisti menatap atasannya itu dengan sangat serius, entah mengapa dia merasa dan berpikir kalau atasannya itu memang sengaja memilihnya agar bisa jauh lebih dekat dengannya. Apalagi dia sering mendengar orang-orang sering membicarakannya. Mereka bergosip dan mengatakan kalau atasannya itu menyukainya.
"Saya gak mau ah, Pak. Saya udah nyaman banget sama posisi saya yang sekarang, udah tau juga kerjaan saya itu apa aja. Selain saya gak punya pengalaman di bidang itu, saya juga gak mau punya tanggung jawab yang besar, jadi sekretaris kan tanggung jawabnya besar."
"Ya gak pa-pa, biar wawasan kamu juga jauh lebih luas," ucap Ryan.
"Kenapa gak Shera aja sih, Pak? Dia kerja di sini udah lama kan? Dia juga jauh lebih pinter, lebih cerdas, cekatan juga dan yang paling penting dia itu mudah beradaptasi dengan orang-orang yang baru dia kenal. Beda sama saya, Pak. Saya orangnya gak bisa so kenal so deket! Bahasa sekarangnya SKSD, saya juga orangnya pemalu. Saya bahkan baru bisa beradaptasi di sini hampir dua bulan. Terus sekarang harus jadi sekretaris Bapak? Aduh … yang ada saya bikin malu perusahaan nanti," ucap Adisti.
"Hmmm … gini deh, kamu coba aja dulu tiga bulan, gimana?"
Adisti tersenyum paksa. "Kayaknya dia emang sengaja banget pengen aku yang jadi sekretarisnya," batin Adisti berucap.
"Gimana? Oke?" tanya Ryan lagi.
Adisti menggelengkan kepala. "Enggak, Pak. Saya gak mau," ucap Adisti.
"Hmm … oke …." Ryan mengangguk pelan dan terlihat kecewa.
"Udah kan ya, Pak? Saya udah boleh keluar?" tanya Adisti.
Rian mengangguk pelan mengiyakan, Adisti lalu bangun dari duduknya dan keluar dari ruangan Ryan.
***
Pukul 15.55
"Adisti? Ke ruangan saya sebentar, ada yang mau saya omongin," ucap Ryan lalu berbalik dan kembali ke ruangannya lagi.
"Astaghfirullahaladzim, ini orang! Gak liat jam apa gimana sih? Gak liat apa kalau ini udah mau jam pulang," gumam Adisti.
"Sabar," ucap Shera tersenyum miris.
"Jam di ruangan dia mati atau mata dia yang rabun sih? Gak paham sama jalan pikirannya," ucap Adisti menggerutu kesal.
"Sabar ya, udah jalannya kayak begitu," ucap Shera seraya mengelus lengan Adisti.
"Ck!" Adisti berdecak kesal, dia lalu bangun dari duduknya dan berjalan menghentakkan kaki ke arah ruangan Ryan.